Fikroh.com – Baitul Maqdis atau Al-Quds adalah tempat keagamaan yang dimuliakan dan diagungkan dalam syariat Islam.
Sebutan sebagai tanah suci (al ardh al muqoddas) langsung disematkan oleh Allah Ta’ala melalui lisan Nabi Musa ‘alaihissalam:
يا قومي ادخلوا الأرض المقدسة
“Wahai kaumku, masuklah ke tanah suci…” (QS. Al-Maidah: 21)
Di Baitul Maqdis ada Masjid Al-Aqsho yang menjadi tempat isronya Nabi shollallaahu ‘alaihi wassalam. Di sana Nabi shollallaahu ‘alaihi wassalam mengimami sholat para nabi dan rosul ‘alaihimush-sholaatu wassalaam.
Masjid Al-Aqsho juga menjadi kiblat pertama umat Islam. Nabi shollallaahu ‘alaihi wassalam dan para shohabat rodhiyallaahu ‘anhum pernah sholat dengan menghadap ke Masjid Al-Aqsho selama enam belas bulan. Al-Barro` bin ‘Azib rodhiyallaahu ‘anhu berkata:
صلينا مع النبيِّ نحو بيت المقدسِ ستةَ عشرَ شهرًا، أو سبعةَ عشرَ شهرًا
“Kami bersama Nabi shollallaahu ‘alaihi wassalam pernah sholat menghadap Baitul Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh belas bulan.” (HR. Muttafaqun ‘Alaihi)
Masjid Al-Quds juga satu dari tiga masjid yang umat Islam disyariatkan melakukan perjalanan kesana buat ibadah.
لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد: المسجد الحرام، ومسجد الرسول صلى الله عليه وسلم، ومسجد الأقصى
“Tidak boleh dilakukan perjalanan kecuali kepada tiga masjid; Masjidil Harom, Masjid Rosulullah shollallaahu ‘alaihi wassalam, dan Masjid Al-Aqsho.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Baitul Maqdis juga menjadi tempat ribath dan jihad sejak dahulu sampai hari kiamat. Nabi shollallaahu ‘alaihi wassalam bersabda:
لا تزال طائفة من أمتي على الدين ظاهرين، لعدوهم قاهرين، لا يضرهم من خالفهم إلا ما أصابهم من لأواء، حتى يأتيهم أمر الله. وهم كذلك”، قالوا: يا رسول الله وأين هم؟ قال: “ببيت المقدس وأكناف بيت المقدس
“Akan selalu ada sekelompok orang dari umatku yang memperjuangkan agama, mereka mengalahkan musuh mereka, dan tak membahayakan mereka orang-orang yang menyalahi mereka kecuali kesulitan-kesulitan yang menimpa mereka sampai datang ketetapan Allah kepada mereka sedangkan mereka dalam keadaan seperti itu. Para shohabat bertanya, “Wahai Rosulullah, dimanakah mereka?” beliau menjawab, “Mereka berada di Baitul Maqdis dan daerah-daerah sekitar Baitul Maqdis.” (HR. Ahmad dan Thobroni. Al-Haitsami berkata: rijalnya tsiqot)
Melihat banyaknya nash-nash agama dan syariat tentang keutamaan Baitul Maqdis sudah seharusnya setiap muslim hatinya punya keterikatan yang kuat dengannya, selalu membelanya, serta berpartisipasi membebaskannya sesuai kemampuannya.
Adapun kaum munafikin mereka tak punya kepedulian pada Baitul Maqdis. Dan mereka takkan dapat kemuliaan buat membela dan membebaskannya.
Baitul Maqdis dan daerah-daerah disekitarnya telah menjadi daerah ribath dan jihad sejak tujuh puluh tiga tahun silam.
Pusat jihad dan perlawanan sejak tiga dekade ada di Gaza. Dan Gaza adalah termasuk daerah disekitarnya Baitul Maqdis.
Firqoh madkholiyyah dan roslaniyyah yang sesat dan menyesatkan menolak membela Baitul Maqdis dan para mujahidin serta rakyat Gaza yang tengah berjihad.
Sikap itu adalah salah satu bentuk kesesatan mereka dan cerminan kebodohan mereka yang akut tentang agama.
Imam madzhab kami Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahullah membimbing kaum muslimin bila melihat kaum kafir dan kaum ahli bid’ah berperang kemana memberikan keberpihakan? Syaikh Islam berkata:
ولو قُدِّر أن المسلمين ظلمة فسقة، ومظهرون لأنواع من البدع التي هي أعظم من سب علي وعثمان؛ لكان العاقل ينظر في خير الخيرَيْن وشر الشريْن. ألا ترى أن أهل السنة وإن كانوا يقولون في الخوارج والروافض وغيرهما من أهل البدع ما يقولون!!، لكن لا يعاونون الكفار على دينهم، ولا يختارون ظهور الكفر وأهله على ظهور بدعة دون ذلك…؟!
“Kalau diperkirakan kaum muslimin berstatus sebagai orang lalim dan fasik, menampakkan berbagai bentuk kebid’ahan yang lebih besar dari mencela Ali dan Utsman, tetaplah orang yang berakal melihat pada kebaikan diantara dua kebaikan serta kejelekan diantara dua kejelekan. Tidakkah kamu lihat bahwa ahlussunnah walaupun punya penilaian sendiri pada kaum khowarij, rofidhoh, dan ahlibid’ah-ahlibid’ah yang lain, tetapi mereka tidak pernah membantu kaum kafir buat menghancurkan agama mereka, serta tak memilih menguatnya kekafiran dan orang kafir atas menguatnya bid’ah yang tingkatnya di bawah kekafiran.” (Minhaajus Sunnah: jilid 6 halaman 375)
Kepada orang yang memusuhi dirinya dari kalangan asy’ariyyah Ibnu Taimiyyah menegaskan:
أنا أحب لهم أن ينالوا من اللذة والسرور والنعيم ما تقر به أعينهم، وأن يفتح لهم من معرفة الله وطاعته والجهاد في سبيله ما يصلون به إلى أعلى الدرجات
“Saya senang mereka mendapat kesenangan, kebahagiaan dan kenikmatan yang menyejukkan mata mereka. Juga dibukakan bagi mereka ilmu ma’rifatullah, ketaatan pada-Nya, dan jihad dijalan-Nya yang dengan semua itu mereka mencapai derajat paling tinggi disisi Allah.” (Majmuu’ Al-Fatawa: jilid 29 halaman 41)
Bukan saja pada ulama asy’ariyyah Ibnu Taimiyyah bersikap baik bahkan pada raja Siprus yang kafir pun ia juga bersikap baik yang menunjukkan agungnya Islam dan hasil tarbiyahnya:
نحن قوم نحب الخير لكل أحد، ونحب أن يجمع الله لكم خير الدنيا والآخرة
“Kami adalah satu kaum yang mencintai kebaikan buat semua orang. Kami suka Allah memberikan kebaikan dunia dan akhirat buat kalian.” (Majmuu’ Al-Fataawa: jilid 28 halaman 615)
Bandingkan sikapnya Ibnu Taimiyyah dengan sikapnya firqoh madkholiyyah dan roslaniyyah. Sungguh yang satu adalah hasil dari iman dan ilmu. Sedang yang kedua adalah hasil kenifakan dan kebodohan.
Kepada Al-Qodhi Ibnu Makhluf yang sering menzhaliminya Ibnu Taimiyyah menegaskan sikapnya:
وأنا والله من أعظم الناس معاونةً على إطفاء كل شر فيها وفي غيرها، وإقامة كل خير، وابن مخلوف لو عمل مهما عمل، والله ما أقدر على خير إلا وأعمله معه، ولا أعين عليه عدوه قط .. فإني أعلم أن الشيطان ينزغ بين المؤمنين ولن أكون عونا للشيطان على إخواني المسلمين
“Demi Allah saya adalah orang yang sangat membantu manusia buat memadamkan segala bentuk keburukan padanya dan selainnya. Begitupun dalam menegakkan segala bentuk kebaikan. Ibnu Makhluf sekalipun melakukan segala hal yang merugikanku, namun demi Allah tidaklah saya mampu melakukan kebaikan padanya niscaya akan saya lakukan padanya, dan saya takkan mau membantu musuhnya untuk me
ncelakakannya.. Sesungguhnya saya tahu bahwa setan telah menanamkan bibit permusuhan diantara kaum mukminin. Dan saya tak mau membantu setan buat mencelakakan saudara sendiri dari kalangan muslim.” (Majmuu’ Al-Fataawa: jilid 3 halaman 271)
Salah Hamas dan pejuang-pejuang Palestina pada firqoh madkholiyyah dan roslaniyyah apa? Pernah mereka dipenjarakan? Pernah mereka ditembak? Pernah mereka mengambil harta mereka?
Kalau ada salafi di Gaza yang membuat kacau, memecah belah kaum muslimin, mengundang Israel agar menyerang, serta bekerja buat kepentingan orang luar, kemudian dihukum Hamas maka hal yang wajar. Sebab Palestina adalah darul harb dan semua hukum perang dalam syariat Islam berlaku di sana.
Ketika Sultan Al-Malik An-Nashir mau menghukum musuh-musuhnya Ibnu Taimiyyah justru melarangnya:
إذا قتلت هؤلاء لا تجد بعدهم مثلهم، ومن آذاني فهو في حلٍّ وأنا لا أنتصر لنفسي
“Jika tuan membunuh mereka semua maka tuan takkan dapatkan setelah mereka orang-orang seperti itu lagi. Siapa yang menyakiti saya maka saya sudah halalkan. Dan saya tak mencari kemenangan buat diri pribadi.”
Karena itu, kita mengingatkan firqoh madkholiyyah dan roslaniyyah bahwa perbuatan kalian yang menikam Hamas dari belakang masuk dalam ucapan Imam Abu Hayyan Al-Andalusi dalam Al-Bahrul Muhiith:
وَمَنْ تَوَلَّاهُمْ بِأَفْعَالِهِ دُونَ مُعْتَقَدِهِ وَلَا إِخْلَالٍ بِإِيمَانٍ فَهُوَ مِنْهُمْ فِي الْمَقْتِ وَالْمَذَمَّةِ، وَمَنْ تَوَلَّاهُمْ فِي الْمُعْتَقَدِ فَهُوَ مِنْهُمْ فِي الْكُفْرِ
“Barangsiapa berwala` pada orang-orang kafir dengan perbuatannya tanpa menyamai keyakinannya serta tak melakukan sesuatu yang merusak keimanan, dia termasuk dari mereka yang dimurkai dan dicela. Dan siapa yang berwala` pada mereka karena faktor keyakinannya maka dia termasuk dari mereka dalam kekafirannya.
Oleh: Hafidin Achmad Luthfie