Fikroh.com – Jika telah masuk sepuluh hari awal bulan Dzul Hijjah, maka seorang yang hendak berkurban dilarang untuk memotong kuku dan rambut sampai hewan kurbannya disembelih. Baik kuku kaki atau tangan. Baik rambut kepala, atau kumis, atau bulu ketiak, atau bulu sekitar kemaluan, atau bulu tubuh.
Hal ini berdasarkan hadits nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- yang diriwayatkan dari Ummu Salamah –rodhiallohu ‘anha-, beliau berkata, Rosulullah –shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
«إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ، وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ، فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا»
“Jika telah tiba sepuluh (dzul Hijjah) dan salah seorang dari kalian hendak berkurban, maka janganlah mencukur rambut atau memotong kuku sedikitpun.” [HR. Muslim : 1997 dan selainnya].
Lantas larangan di dalam hadits di atas, larangan makruh atau larangan haram? di sini para ulama’ berbedap pendapat. Ada yang berpendapat haram, dan ada yang berpendapat makruh. Akan tetapi yang benar dalam masalah ini, bahwa larangan pada hadits di atas larangan makruh, dan tidak sampai derajat haram. Ini merupakan pendapat jumhur ulama’, diantara mereka Abu Hanifah, Malik bin Anas dan Asy-Syafi’i.
Kenapa larangan ini kita bawa kepada makna makruh ? padahal ada suatu kaidah bahwa : “asal suatu larangan itu bermakna haram, sampai ada dalil lain yang memalingkannya kepada makna lain.”
Jawab : kaidah tersebut benar. Hadits di atas juga datang dengan lafadz larangan karena menggunakan huruf Laa Nahiyyah (Laa yang bermakna larangan). Sehingga asal maknanya memberikan faidah haram.
Akan tetapi hadits di atas telah dipalingkan maknanya kepada makruh dengan riwayat Aisyah –rodhiallohu ‘anha-
كُنْتُ أَفْتِلُ قَلَائِدَ هَدْيِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيَّ ثُمَّ يَبْعَثُ بِهَا وَمَا يُمْسِكُ عَنْ شَيْءٍ مِمَّا يُمْسِكُ عَنْهُ الْمُحْرِمُ حَتَّى يُنْحَرَ هَدْيُهُ
“Aku pernah mengalungkan tanda hewan kurban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kedua tanganku, lalu beliau mengirimnya (ke tanah haram). Sesudah itu, beliau tidak lagi menahan diri dari sesuatu, sebagaimana seorang muhrim (sedang ihram) menjauhkan diri daripadanya. Demikianlah hingga beliau menyembelih hewan kurbannya.” [HR. Al-Bukhari : 5566 dan Muslim : 1321 dan lafadz di atas lafadz Muslim].
Sisi pendalilan dari hadits di atas, terdapat pada ucapan Aisyah –rodhiallohu ‘anha- yang berbunyi : “Sesudah itu, beliau tidak lagi menahan diri dari sesuatu, sebagaimana seorang muhrim (sedang ihram) menjauhkan diri daripadanya. Demikianlah hingga beliau menyembelih hewan kurbannya.” Dalam kalimat ini, Aisyah menyatakan tidak ada larangan, atau pantangan tertentu sampai hewan itu disembelih.
Sehingga hadits Aisyah ini, sebagai pemaling larangan memotong kuku dan rambut yang termaktub dalam hadits Ummu Salamah, kepada makna makruh. Dalam rangka mengkompromikan dua dalil yang sekilas bertentangan. Ada suatu kaidah yang berbunyi : “Mengamalkan dua dalil, itu lebih baik daripada menelantarkan/membuang salah satu dari keduanya.”
Hadits Ummu Salamah melarang memotong kuku dan rambut, sedang hadits Aisyah tidak ada larangan sama sekali. Maka keduanya dikompromikan menjadi larangan makruh. Sehingga keduanya tetap dipakai. Larangan dalam hadits Ummu Salamah kita bawa kepada larangan makruh. Sedangkan hadits Aisyah menunjukkan tidak adanya larangan, karena sesuatu yang makruh, masih boleh untuk dilakukan. Sehingga seolah-olah tidak ada larangan. Hal ini terjadi dengan metode qiyas masalah kurban kepada masalah al-hadyu. Makna al-hadyu adalah : apa yang dihadiahkan (disembelih) kepada al-haram berupa onta atau sapi, atau kambing.
Saya berkata : Dan qiyas dalam masalah ini adalah qiyas yang shohih. Karena telah terjadi persamaan illat (sebab hukum) pada keduanya.
Al-Imam An-Nawawi –rohimahullah- berkata :
واختلف العلماء فيمن دخلت عليه عشر ذى الحجة وأراد أن يضحى….وقال الشافعي وأصحابه هو مكروه كراهة تنزيه وليس بحرام…. قال الشافعي البعث بالهدى أكثر من ارادة التضحية فدل على أنه لا يحرم ذلك وحمل أحاديث النهى على كراهة التنزيه
“Para ulama’ berselisih pendapat pada diri seorang yang hendak berkurban dan telah masuk sepuluh awal bulan Dzul Hijjah (tentang masalah larangan memotong kuku dan rambut)… Asy-Syafi’i dan para sahabatnya berpendapat bahwa hal itu makruh dan bukan haram….. Asy-Syafi’i berkata: pengiriman al-hadyu (dalam hadits Aisyah di atas) lebih banyak/lebih kuat dari sekedar kehendak untuk kurban. Maka hal ini menunjukkan sesungguhnya hal itu tidak diharamkan. Sedangkan hadits-hadits larangan dibawa kepada makna makruh.” [Syarh Shohih Muslim: 5/146].
Simak juga pembahasan masalah ini pada referensi berikut: At-Tamhiid karya Ibnu Abdil Barr: 17/235, Ma’alimus Sunan: 2/196, Al-Mughni: 9/346, Zaadul Ma’ad: 7/489 dan selainnya.
Jika hukumnya makruh, maka barang siapa yang memotong kuku atau rambutnya ketika hendak berkurban saat telah masuk sepuluh hari awal bulan Dzul Hijjah, maka kurbannya tetap sah. Walaupun afdholnya ditinggalkan, agar ibadah kurannya lebih sempurna.
Demikian pembahasan masalah ini. semoga bermanfaat untuk kita semua. Barokallohu fiikum.
Abdullah bin Abdurrahman Al-Jirani