Hamas Itu Menyimpang, Shalahudin Al Ayyubi Itu Quburiyyun

Dunia Muslim
Hamas Itu Menyimpang, Shalahudin Al Ayyubi Itu Quburiyyun

Fikroh.com – Sebagian wahhabi, salafi, dan madkhali begitu gampang menilai sesat para ulama, panglima besar umat, dan menihilkan mahakarya mereka.

Salah seorang mereka berkata: “Sholahuddin Al-Ayyubi adalah seorang quburi.”

Maka saya katakan: “Anda salah. Sholahuddin Al-Ayyubi tak pernah menjadi seorang quburi. Justru dia adalah seorang jihadi.”

Para fuqoha dan huffazh besar dari kalangan hanabilah justru menjadi bagian dari pasukan Sholahuddin Al-Ayyubi. 

Ibnu Qudamah penulis Al-Mughni yang terkenal diberbagai madzhab, Ibnu Abi Umar penulis Asy-Syarhul Kabiir, Dhiyauddin penulis  Al-Ahaadiits Al-Mukhtaaroh, Bahauddin Abu Muhammad penyarah Al-Muqni’ dan Al-‘Umdah, dan Abdul Ghoni penulis Al-Kamaal Fii Asmaa Ar-Rijaal berjihad di bawah komando Sulthan Sholahuddin Al-Ayyubi. 

Ibnul Munajja At-Tanukhi Al-Hanbali juga menjadi tangan kanan Sholahuddin dan penasehatnya dalam pembebasan Baitul Maqdis. 

Mereka semua adalah kibar ulama madzhab hanbali. Ulama-ulama besar bukan kelas Robi’ Al-Madkholi dan Muhammad Roslan. Ahlul jihad. Penggerak amar makruf nahi munkar. Penulis kitab-kitab yang bermanfaat dan dimanfaatkan selama berabad-abad. Dan akidahnya semuanya atsariyyah. Dan mereka berjihad bersama Sholahuddin Al-Ayyubi yang asy’ari. 

Jadi, Sholahuddin Al-Ayyubi adalah seorang jihadi. Dia habiskan waktunya dan hidupnya buat jihad. Itulah sifat yang seharusnya dilekatkan padanya. 

Perkara Sholahuddin Al-Ayyubi seorang asy’ari bukan berarti Robi’ Al-Madkholi dan Muhammad Roslan lebih mulia dari upilnya. 

Beberapa hari ini mereka baik yang di Arab dan Indonesia mengatakan: “Jihad Palestina takkan menang karena manhaj dan aqidah Hamas menyimpang.”

Ucapan itu adalah ucapan yang jauh dari benar. Sebab ukuran kemenangan sangat komplek. Ada yang berbentuk material dan ada yang bersifat spiritual. 

Kemenangan material paling sekadar mendapat tanah dan ghonimah. 

Tapi kemenangan spiritual lebih tinggi dari itu. Kemenangan jenis ini membuat pemiliknya tak takut mati karena berjihad, memandang rendah dunia yang fana dan lebih cinta akhirat yang baqo, mampu menepis godaan syahwat dan berlari mengejar kenikmatan akhirat. Inilah kemenangan yang hakiki. 

Banyak pejuang-pejuang Islam sebelum bi’tsah muhammadiyyah yang gugur sebagai syuhada. 

Ash-habul Ukhdud justru gugur di parit-parit membara kaum musyrikin. Apakah mereka kalah? Sama sekali tidak. Justru mereka menang. Dalam standar bumi mereka kalah. Tapi dalam standar langit justru mereka menang. 

Banyak nabi dan rosul yang tak dapat tamkin dalam perjuangannya. 

Nabi Musa sebagai kaliimullah, termasuk ulul ‘azmi, nabi paling besar dari Bani Israil sampai wafatnya tak dapat tamkin. Apakah Nabi Musa kalah? Tidak. Justru beliau menang dalam standar langit.

Jadi, kemenangan yang hakiki adalah ketika kita mau melaksanakan perintah Allah Ta’ala dan kita mampu menyingkirkan rayuan dunia yang fana` dan rendah. 

Kemudian masalah akidah. Saya sepakat bahwa akidah adalah hakikat paling besar dalam kehidupan. Akidah adalah qodhiyyah kubro. Dan akidah adalah mihwar dalam pertarungan dan perjuangan melawan kebathilan. 

Dari dahulu, sejak puluhan tahun lalu, saya selalu menyampaikan begitu dalam kajian saya.

Maka, meluruskan akidah harus selalu dilakukan. Namun saya tak sependapat jika dikatakan yang boleh jihad hanya orang yang sudah benar akidahnya seratus karat. 

Simpulan mereka adalah simpulan yang bersifat utopia. Utopia adalah sesuatu yang di mimpikan dan dikehendaki tetapi tidak mungkin jadi kenyataan. 

Jamaahnya Nabi Musa ‘alaihissalam saja masih ada yang akidahnya menyimpang. Ada diantara mereka setelah binasanya Firaun yang berkata: 

يَا مُوسَى اجْعَل لَّنَا إِلَٰهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ

“Wahai Musa! Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).”

Jamaahnya Rosulullah SAW juga tak semua mencapai tingkatan Abu Bakar dan Umar. Ada diantara mereka yang melakukan kekeliruan kemudian bertaubat. Dan ada juga diantara mereka yang pemahamannya dalam juziyyah akidah keliru seperti kasus Dzatu Anwath–terlepas masih baru masuk Islam–,  kemudian diluruskan Rosulullah SAW.

Para shohabat adalah generasi manusia paling baik secara mutlak. Namun kekeliruan tetap ada pada mereka. Maka bagaimana dengan generasi Hamas yang lahir di masa pudarnya cahaya Islam?

Karena itu, membangun jamaah malaikat adalah mustahil. Utopia. Tak beda dari utopianya Karl Marx. 

Selain itu, masalah akidah bukan sekadar masalah asma dan sifat, bertawassul dengan orang sholih, dan saddur rihaal. 

Kalau dalam beberapa bab itu mereka keliru–ini pun harus ditahqiq lagi—bukan berarti dalam dalam ushul akidah dan bab-babnya yang lain juga keliru. 

Dan kekeliruan mereka yang bersifat juziyyah itu in sya Allah diampuni oleh Allah Ta’ala karena jihad, ribath, dan pembelaan mereka pada tempat suci yang diagungkan agama.

Siapa yang menyimpulkan bahwa orang yang mahir asma dan sifat serta jago membantah kelompok-kelompok bid’ah kemudian dengan itu berhak mendapatkan kemenangan dan kekuasaan di bumi sesungguhnya dia keliru. Dan simpulannya jauh dari kenyataan.

Tak usah jauh-jauh. Kerajaan Bani Saud pertama bisa dihancurkan Turki Utsmani. Dan kepala rajanya Abdullah bin Saud dibawa ke Istanbul Turki.

Ust. Hafidin Ibnu Luthfi