Hukum Berkurban Untuk Orang Yang Telah Meninggal

Hukum Berkurban Untuk Orang Yang Telah Meninggal

Fikroh.com – Berkurban pada asalnya disyari’atkan bagi orang yang masih hidup. Sebagaimana hal ini telah dimaklumi bersama. Adapun pahalanya, maka akan diperoleh bagi yang berkurban dan keluarganya, baik yang masih hidup ataupun telah meninggal. 

Pada kasus lain seseorang semasa hidupnya tidak mampu untuk berkurban hingga wafatnya. Sedang anggota keluarga berinisiatif berkurban dengan niat untuknya apakah hal ini dibolehkan?

Adapun masalah berkurban bagi orang yang telah meninggal dunia, maka disini ada tiga perincian:

[1]. Orang yang telah meninggal dunia di masa hidupnya mewasiatkan sebagian hartanya untuk berkurban. Maka dalam kondisi ini, wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikan wasiat tersebut. sebagaimana firman Alloh Ta’ala :

مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا

“Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya”. [QS. An-Nisa’: 12].

[2]. Berkurban dengan mengunakan harta dari orang yang telah meninggal dunia tersebut. Maka ini juga boleh dan pahalanya sampai kepadanya. Karena harta tersebut merupakan hasil jerih payah dari usaha yang dia lakukan di masa hidupnya. Seakan-akan dia berkurban ketika masih hidup.

[3]. Orang yang masih hidup berkurban dengan hartanya sendiri untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat darinya. Misalnya seorang anak berkurban diatasnamakan ibu/bapkanya yang telah meninggal dunia. Atau seorang berkurban diatasnamakan orang lain (bukan bapak/ibunya).

Dalam masalah ini terjadi silang pendapat di kalangan para ulama’. Pendapat yang rajih (kuat), hal ini diperbolehkan dan pahalanya akan sampai kepada orang yang telah meninggal. Ini merupakan pendapat jumhur ulama’ (mayoritas para ulama’). Karena berkuban termasuk jenis sedekah. Sehingga meniatkan suatu sedekah kepada orang yang telah meninggal dunia itu diperbolehkan dan pahalanya sampai kepadanya. Hal ini berdasarkan beberapa dalil, diantaranya : Dari Aisyah –rodhiallohu ‘anha- beliau berkata :

أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ، أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا؟ قَالَ: «نَعَمْ تَصَدَّقْ عَنْهَا

“Sesungguhnya ada seorang laki-laki berkata : Sesungguhnya ibuku mendadak meninggal dunia ( dalam kondisi tidak sempat berwasiat ). Aku berprasangka, seandainya beliau sempat berbicara, beliau akan sedekah. Maka apakah beliau akan mendapat pahala jika aku bersedekah untuknya ? maka nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab : Ya, maka sedekahlah untuknya”. [HR. Al-Bukhari : 3/197 dan Muslim : 3/81 dan lafadz di atas lafadz Al-Bukhari]

Al-Imam An-Nawawi –rohimahullah- berkata :

وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ أَنَّ الصَّدَقَةَ عَنِ الْمَيِّتِ تَنْفَعُ الْمَيِّتَ وَيَصِلُهُ ثَوَابُهَا وَهُوَ كَذَلِكَ بِإِجْمَاعِ الْعُلَمَاءِ وَكَذَا أَجْمَعُوا عَلَى وُصُولِ الدُّعَاءِ وَقَضَاءِ الدِّينِ بِالنُّصُوصِ الْوَارِدَةِ فِي الْجَمِيعِ

“Di dalam hadits ini terdapat dalil, sesungguhnya sedekah untuk mayit itu bermanfaat untuk mayit tersebut dan pahalanya akan sampai kepadanya dan yang demikian itu dengan ijma’ ( kesepakatan ) para ulama’. Demikian juga mereka telah bersepakat akan sampainya do’a dan pelunasan hutang dengan dasar dalil-dalil yang telah datang dalam semua hal ini”. [Syarh Shohih Muslim : 7/90].

Al-Imam Ibnu Hajar –rohimahullah- berkata :

وَفِي حَدِيثِ الْبَابِ مِنَ الْفَوَائِدِ جَوَازُ الصَّدَقَةِ عَنِ الْمَيِّتِ وَأَنَّ ذَلِكَ يَنْفَعُهُ بِوُصُولِ ثَوَابِ الصَّدَقَةِ إِلَيْهِ وَلَا سِيَّمَا إِنْ كَانَ مِنَ الْوَلَدِ وَهُوَ مُخَصِّصٌ لِعُمُومِ قَوْلِهِ تَعَالَى وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى وَيَلْتَحِقُ بِالصَّدَقَةِ الْعِتْقُ عَنْهُ عِنْدَ الْجُمْهُورِ خِلَافًا لِلْمَشْهُورِ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ

“Di dalam hadits yang telah disebutkan dalam bab ini terdapat beberapa faidah, (diantaranya) : bolehnya sedekah untuk orang yang telah meninggal dunia. Dan sesungguhnya hal itu akan memberi manfaat baginya dengan sampainya pahala sedekah kepadanya. Terlebih jika hal itu terjadi dari seorang anak (kepada orang tuanya). Hadits ini menjadi mukhoshshish (dalil yang mengkhususkan) firman Alloh Ta’ala : Dan sesungguhnya manusia tidak akan mendapatkan kecuali apa yang dia usahakan sendiri. Dan mengikuti hukum sedekah ini, yaitu memerdekakan budak untuk mayit menurut pendapat jumhur ulama’ lain halnya pendapat yang masyhur dari Malikiyyah”. [Fathul Bari : 5/309].

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz –rohimahullah- :

أما الأضحية عن الميت، فإن كان أوصى بها في ثلث ماله مثلاً، أو جعلها في وقف له، وجب على القائم على الوقف أو الوصية تنفيذها، وإن لم يكن أوصى بها، ولا جعل لها وقفا، وأحب إنسان أن يضحي عن أبيه أو أمه أو غيرهما، فهو حسن، ويعتبر هذا من أنواع الصدقة عن الميت، والصدقة عنه مشروعة في قول أهل السنة والجماعة.

“Adapun berkurban untuk orang yang telah meninggal, maka jika orang tersebut mewasiatkan kurbanya tersebut dari sepertiga hartanya misalnya, atau dia menjadikan wakaf baginya, maka wajib untuk menunaikan wakaf atau wasiat tersebut. Dan jika dia tidak memasiatkan atau tidak menjadikan wakaf terhadap kurban tersebut, kemudian seorang insan ingin berkurban untuk bapak atau ibunya atau selain kedua yang telah meninggal, maka ini perkara yang baik. Ini tergolong dari jenis sedekah. Untun mayit. Dan sedekah untuk mayit merupakan perkara yang disayri’atkan dalam pendapat Ahlu Sunnah Wal Jama’ah”. [Majmu’ Fatawa : 16/238].

Simak fatwa Syaikh Bin Baz tentang hukum kurban untuk orang yang sudah meninggal:

About semar galieh

Check Also

Bolehkah Mengakikahi Diri Sendiri Setelah Dewasa?

Fikroh.com – Sebelumnya perlu untuk diketahui, bahwa akikah hukumnya sunah muakadah (sunah yang ditekankan), bukan …