Salah satu tatacara sholat yang sudah maklum diketahui adalah tatkala membaca bacaan-bacaan dzikir baik yang sifatnya wajib maupun yang sunnah dalam sholat, hukumnya asalnya adalah melafazkannya dengan lisan. Imam Nawawi dalam kitabnya ”al-Adzkaar” (ha;. 13, cet. Daarul Fikr) berkata :
اعلم أن الأذكار المشروعة في الصلاة وغيرها، واجبة كانت أو مستحبة لا يحسب شيء منها ولا يعتد به حتى يتلفظ به بحيث يسمع نفسه إذا كان صحيح السمع لا عارض له.
“Ketahuilah bahwa dzikir-dzikir yang disyariatkan dalam sholat dan selainnya, baik yang sifatnya wajib maupun yang sunnah, tidaklah itu dianggap atau diperhitungkan, sampai ia mengucapkannya dengan suara yang dapat didengarnya sendiri, jika sehat pendengarannya dan tidak ada hal yang menghalanginya”.
Termasuk juga adalah takbir-takbir dalam sholat, masih di kitab yang sama beliau Rahimahullah berkata (hal. 42) :
واعلم أنه لا يصحّ التكبير ولا غيره من الأذكار حتى يتلفظ بلسانه بحيثُ يُسمعُ نفسَه إذا لم يكن له عارض
“Ketahuilah bahwasanya tidaklah shahih takbir dan juga dzikir-dzikir lainnya, sampai ia melafazhkan dengan lisannya yang mana dapat didengar oleh dirinya sendiri, jika tidak ada hal yang menghalanginya”.
Demikian juga sudah diketahui bersama bahwa Takbirotul Ihram adalah salah satu rukun sholat menurut mayoritas para ulama, dimana ia memulai diharamkannya aktivitas lain, selain gerakan sholat, tatkala sudah diucapkan takbir ini, sebagaimana disebutkan dalam hadits :
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“Pembuka sholat adalah bersuci, pengharamnya adalah takbirotul Ihram dan penghalalnya adalah salam” (HR. 4 ahli hadits, selain Nasa’i, dishahihkan oleh al-albani).
Berdasarkan pernyataan diatas bahwa takbir baru dianggap sah ketika diucapkan dengan lisan dan minimalnya adalah dengan suara yang dapat didengar oleh dirinya sendiri, adapun jika kurang dari itu, maka dianggap tidak sah takbirnya yang otomatis tidak sah juga sholatnya, kecuali memang bagi mereka yang memiliki udzur seperti bisu dan tuli. Imam Yahya bin Abil Khoir (w. 558 H) Rahimahullah –salah satu ulama Syafi’iyyah- dalam kitabnya “al-Bayaan fii Madzhab al-Imam asy-Syafi’i” (II/169, cet. Daar al-Minhaaj) menyebutkan :
وأقله: أن يسمع نفسه، وإن كان أقل من ذلك. . لم يعتد به؛ لأن ذلك ليس بتكبير، بل هو حديث نفس.
“(bacaan takbirnya) minimal adalah dengan suara yang dapat didengar oleh dirinya sendiri, adapun jika kurang dari itu, maka tidaklah diperhitungkan, karena itu bukan takbir, tapi bersitan jiwa”.
Kemudian khusus bagi Imam disunnahkan untuk mengeraskan bacaan takbirnya. Al-Imam asy-Syafi’i (w. 204 H) Rahimahullah dalam kitabnya “al-Umm” (I/123) mengatakan :
وَأُحِبُّ لِلْإِمَامِ أَنْ يَجْهَرَ بِالتَّكْبِيرِ
“aku menyukai bagi sang Imam untuk mengeraskan bacaan takbirnya..”.
Hal tersebut berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dan selainnya sampai kepada Sa’id bin al-Harits bahwa beliau berkata :
اشْتَكَى أَبُو هُرَيْرَةَ – أَوْ غَابَ – فَصَلَّى بِنَا أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ ” فَجَهَرَ بِالتَّكْبِيرِ حِينَ افْتَتَحَ الصَّلَاةَ، وَحِينَ رَكَعَ، وَحِينَ
قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، وَحِينَ رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السُّجُودِ، وَحِينَ سَجَدَ، وَحِينَ قَامَ بَيْنَ الرَّكْعَتَيْنِ حَتَّى قَضَى صَلَاتَهُ عَلَى ذَلِكَ “، فَلَمَّا صَلَّى، قِيلَ لَهُ: قَدِ اخْتَلَفَ النَّاسُ عَلَى صَلَاتِكَ، فَخَرَجَ فَقَامَ عِنْدَ الْمِنْبَرِ، فَقَالَ: أَيُّهَا النَّاسُ وَاللهِ مَا أُبَالِي اخْتَلَفَتْ صَلَاتُكُمْ أَوْ لَمْ تَخْتَلِفْ، ” هَكَذَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي “
“…Abu Sa’id al-Khudri Rodhiyallahu ‘anhu mengimami sholat kami, lalu beliau mengeraskan bacaan takbir ketika mulai sholat (Takbirotul Ihrom)…., lalu beliau berdiri berkata : …”demikianlah aku melihat Nabi Sholallahu ‘alaihi wa Salaam mengerjakan sholat” (haditsnya dishahihkan al-Albani, Syu’aib Arnauth dan selainnya).
Adapun bagi makmum, maka mereka membacanya dengan pelan dengan kadar sebagaimana yang telah disebutkan diatas. Imam Syafi’i Rahimahullah dalam kitabnya diatas, melanjutkan :
وَلِلْمَأْمُومِ ذَلِكَ كُلُّهُ إلَّا الْجَهْرَ بِالتَّكْبِيرِ فَإِنَّهُ يُسْمِعُهُ نَفْسَهُ وَمَنْ إلَى جَنْبِهِ إنْ شَاءَ لَا يُجَاوِزُهُ
“(saya suka).. bagi makmum bertakbir dengan cara tersebut, kecuali dalam masalah mengeraskan, karena ia cukup membacanya dengan suara yang didengar oleh dirinya sendiri atau orang yang disampingnya jika mau, tidak boleh lebih dari ini..”.
Imam al-Albani Rahimahullah dalam kitabnya “Ashlu Sifat Sholat Nabi” (I/191, cet. Maktabah al-Ma’aarif) memberikan faedah yang sangat berharga bahwa bacaan takbirotul Ihram makmum hendaknya dilakukan setelah Imam selesai bertakbir, berdasarkan hadits Abu Huroiroh Rodhiyallahu ‘anhu secara marfu’ dari Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa Salaam bahwa Beliau bersabda :
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا، وَلَا تُكَبِّرُوا حَتَّى يُكَبِّرَ
“Sesungguhnya Imam itu dijadikan untuk diikuti, jika sang Imam bertakbir, maka kalian pun ikut bertakbir, dan janganlah kalian bertakbir hingga Imam selesai bertakbir…”. (HR. Abu Dawud dan selainnya, dishahihkan al-Albani).
Asy-Syaikh al-Albani Rahimahullah mengatakan bahwa huruf faa dalam perkataan “fakabbiruu” adalah untuk “ta’qiib” yaitu memberikan faedah urutan, artinya kalian bertakbir setelah Imam selesai bertakbir, apalagi dikuatkan dengan lafadz setelahnya : “dan janganlah kalian bertakbir hingga Imam selesai bertakbir”. Lalu asy-Syaikh menukil penjelasan Al Hafidz Ibnu Hajar yang mengatakan seperti itu untuk menguatkan faedah ini.
Timbul pertanyaan, jika Imam tidak menjaharkan bacaan takbirotul ihrom, apakah sah sholat Imam?, jawabannya sudah disiapkan oleh Imam Syafi’i yang masih melanjutkan dalam ucapannya yang kami nukil diatas :
وَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ الْإِمَامُ وَلَا الْمَأْمُومُ وَأَسْمَعَاهُ أَنْفُسَهُمَا أَجْزَأَهُمَا وَإِنْ لَمْ يُسْمِعَاهُ أَنْفُسَهُمَا لَمْ يَجْزِهِمَا وَلَا يَكُونُ تَكْبِيرًا مُجْزِئًا حَتَّى يُسْمِعَاهُ أَنْفُسَهُمَا
“Dan jika Imam tidak mengeraskan suara takbir, tidak pula makmum, namun masing-masing hanya bersuara yang didengar oleh dirinya masing-masing, maka sah sholatnya, namun jika tidak bersuara yang didengar oleh dirinya sendiri, maka tidak sah sholatnya dan takbir tidak sah sampai masing-masing melafazkannya dengan suara yang didengar oleh diri mereka masing-masing”.
Kemudian jika memang k
arena suatu hal suara Imam lemah, entah karena sakit atau sebab lainnya, maka dianjurkan makmum dibelakangnya untuk mengeraskan suara agar didengar oleh makmum lainnya. Imam al-Albani Rahimahullah dalam kitabnya diatas (I/187) berkata :
فإن كان ضعيف الصوت لمرض أو غيره؛ فالسنة أن يجهر المؤذن أو غيره من المأمومين جهراً يُسمع الناس؛ كما كان يفعل أبو بكر الصديق رضي الله عنه بحضرته صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – كما هو مذكور في الأصل -. وهذا مما لا خلاف فيه؛ كما قال النووي في ” المجموع ” (3/398) ، وفيه ما سيأتي.
وأما التبليغ وراء الإمام لغير حاجة – كما اعتاده كثير من الناس في زماننا في شهر رمضان – حتى في المساجد الصغيرة؛ فهو غير مشروع باتفاق العلماء، كما حكاه أعلم الناس بأقوالهم، وهو شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله في ” الفتاوى ” (1/69 – 70و107) ؛ وذلك لأن بلالاً رضي الله عنه لم يكن يبلغ خلف النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هو ولا غيره، ولم يكن يبلغ خلف الخلفاء الراشدين؛ ولهذا صرح كثير من العلماء أنه مكروه، ومنهم من قال: تبطل صلاة فاعله. وهذا موجود في مذهب مالك، وأحمد، وغيرهما.
“Jika Imam suaranya lemah karena sakit atau selainnya, maka sunnah bagi makmum baik tukang azan atau selainnya untuk mengeraskan bacaannya kepada makmum lainnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar ash-Shadiq Rodhiyallahu ‘anhu tatkala Nabi Sholallahu ‘alaihi wa Salaam menghadiri sholat (pada saat Beliau sakit menjelang wafatnya), ini adalah perkara yang tidak ada perselisihan pendapatnya padanya, sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi “al-Majmuu’ (III/398).
Adapun mengeraskan bacaan Imam tanpa ada keperluan, sebagaimana yang biasa dilakukan banyak orang pada zaman kita ini pada bulan Ramadhan – walaupun di masjid kecil juga-, maka ini tidak disyariatkan berdasarkan kesepakatan para ulama, sebagaimana dinukil oleh orang yang paling tahu pendapat para ulama, yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah dalam fatwanya (I/69-70 dan 107).
Hal ini karena Bilaal Rodhiyallahu ‘anhu tidak menyambungkan takbir dibelakang Nabi Sholallahu ‘alaihi wa Salaam dan tidak juga selainnya, begitu juga tidak ada yang melakukan hal tersebut dibelakang Imam sholat dari kalangan khulafaur rasyidin. Oleh sebab itu, banyak para ulama yang dengan tegas mengatakan hal tersebut makruh, sebagian mereka mengatakan batal sholatnya, namun melemahkannya. Penjelasan Ini terdapat didalam mazhab Malik, Ahmad dan selainnya”.
Selanjutnya adalah bagaimana jika makmum mengeraskan bacaan takbirotul ihrom ini, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang dengan suara yang membuat tidak nyaman makmum lainnya?, asy-Syaikh Mahmuud Muhammad Khithoob mengecam keras perbuatan ini, kata beliau dalam kitabnya “ad-Diin al-Khoolish” (II/135) :
ويكره له الجهر أزيد من ذلك (ومن البدع) السيئة ما يفعله كثير ممن استحكم عليهم تلبيس إبليس من الجهر بالتكبير والتهويش على المصلين فقد عدلوا فى ذلك عن المشروع وجانبوا المنقول عن الرسول صلى الله عليه وسلم، وصاروا يرفعون أصواتهم بالتكبير ويردد أحدهم التحريمة ويلتوى حتى كأنه يحاول أمراً فادحا، أو يتسوغ أُجاجا مالحا
“Dibenci untuk mengeraskan bacaan lebih dari itu, diantara bid’ah yang buruk adalah apa yang dilakukan oleh orang yang terkena tipu daya iblis dengan mengeraskan bacaan takbir dan menimbulkan polemik diantara jamaah sholat. Mereka berpaling dari yang disyariatkan dan yang dinukil dari Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa Salaam, sehingga membuat mereka mengangkat suara takbir dan mengulang-ngulanginya, seolah-olah itu adalah perkara yang sangat sulit…”.
Oleh sebab itu, mari instropeksi dirinya masing-masing, apakah selama ini dirinya telah melaksanakan sholat sesuai dengan tuntunan Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa Salaam.
Narasumber: Ust. Abu Sa’id Neno Triyono