Fikroh.com – Memang benar bahwa media sosial (Medsos) tidak dikenal pada zaman Nabi, begitu juga zaman sahabat, namun apakah lantas dengan tidak adanya sarana medsos pada zaman Nabi, kemudian jika ada yang mengumumkan kematian di medsos termasuk perbuatan bid’ah?
Kami tidak memiliki pemikiran orang-orang yang mempelajari ilmu-ilmu dasar islam seperti kaedah fiqih dan ushul fiqih akan mengatakan secepat itu bahwa ini adalah perbuatan bid’ah. Medsos adalah hanya sekedar sarana, maka dalam kaedah fiqih disebutkan bahwa :
الوسائل لها أحكام المقاصد
“sarana itu sesuai dengan hukum tujuannya.”
al-Imam Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam kitabnya ‘Ushul min Ilmi Ushul” mengatakan :
فوسائل المأمورات مأمور بها، ووسائل المنهيات منهي عنها
“sehingga sarana yang diperintahkan maka ia pun diperintahkan dan sarana yang dilarang, maka ia dilarang juga.”
Untuk penerapannya dalam masalah yang kita bahas, maka mengumumkan kematian, yang dalam istilah fiqih an-Na’i, baik secara lansung maupun melalui sarana medsos, kalau kita bagi secara garis besar ada 3 jenis sebagai berikut :
1. Na’i (mengumumkan kematian) yang terlarang yang dahulu dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah, yaitu dengan memamerkan prestasi-prestasi si mayyit yang isinya kadang tidak sesuai dengan kenyataan dan membangkitkan kesedihan agar mereka meraung-raung akan kepergiannya dengan berkeliling ke masyarakatnya.
Al-‘Allamah Jalaluddin al-Mahaliy rahimahullah -dari kalangan ulama Syafi’i- dalam Syarahnya terhadap Minhaaj-nya Nawawi, ketika mengomentari hadits Khudzaifah radhiyallahu anhu yang berkata :
«سَمِعْت رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يَنْهَى عَنْ النَّعْيِ»
“aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang dari Na’i.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Imam Tirmidzi-pent.)
Al-Mahallaiy rahimahullah berkata :
وَمُرَادُهُ نَعْيُ الْجَاهِلِيَّةِ لَا مُجَرَّدُ الْإِعْلَامِ بِالْمَوْتِ
“yang dimaksud adalah na’i jahiliyyah, bukan sekedar pengumuman kematian.”
2. Na’i yang disyariatkan, maka ini hukumnya sunnah, bahkan bisa menjadi wajib, yaitu mengumumkan kematian kepada kerabat dan handai taulan agar melaksanakan fardhu kifayah terhadap mayit, semisal memandikan, mensholati dan mengkafaninya. al-Imam al-Albani rahimahullah dalam kitabnya “Ahkamul Jana`iz” (hal. 32, al-Maktabul Islamiy, point no. 23), berkata :
ويجوز إعلان الوفاة إذا لم يقترن به ما يشبه نعي الجاهلية وقد يجب ذلك إذا لم يكن عنده من يقوم بحقه من الغسل والتكفين والصلاة عليه ونحو ذلك
“Boleh mengumumkan kematian, jika tidak dibarengi dengan apa yang menyerupai na’i (pengumuman) jahiliyyah, bahkan ini menjadi wajib jika tidak ada yang melaksanakan haknya mayyit, seperti pemandiannya, pengkafanan dan mensholatinya serta semisalnya.”
Beliau dan para ulama lainnya rahimahumullah berdalil dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu yang berkata :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نعى النجاشي في اليوم الذي مات فيه، خرج إلى المصلى، فصف بهم وكبر أربعا
“Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam na’i (mengumumkan) wafatnya raja Najasyi, lalu keluar ke lapangan, lalu menata shaff dan (mensholatinya) dengan 4 takbir.” (Muttafaqun alaih).
Kemudian para ulama membawakan juga hadits Anas bin Malik radhiyallahu anhu yang berkata :
أن النبي صلى الله عليه وسلم نعى زيدا، وجعفرا وابن رواحة، قبل أن يأتيهم خبرهم
“Bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam na’i (mengumumkan) wafatnya Zaid, Ja’far, dan Ibnu Rawaahah radhiyallahu anhum, sebelum berita mereka (yang berasal dari pembawa berita) sampai kepada kaum muslimin.” (HR. Bukhari).
Al-Imam Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits Khudzaifah juga berkata :
لا بأس بأن يعلم الرجل قرابته وإخوانه بموت الشخص
“Tidak mengapa untuk memberitahu kematian seseorang kepada kerabatnya dan saudaranya.”
3. Pengumuman kematian sekedar memberitahukan kepada kaum Muslimin lainnya agar mereka juga ikut mendoakan jenazah, karena barangkali yang wafat merupakan orang yang dikenal oleh yang diberikan beritanya atau setidaknya sebagai sesama Muslim saling mendoakan dan memintakan ampunan kepada yang wafat. al-Imam al-Kasaaniy rahimahullah -salah satu pembesar ulama Hanafiyyah- dalam kitabnya “Bada’i’u ash-shonaa’i’u” berkata :
وَلَا بَأْسَ بِإِعْلَامِ النَّاسِ بِمَوْتِهِ مِنْ أَقْرِبَائِهِ وَأَصْدِقَائِهِ وَجِيرَانِهِ لِيُؤَدُّوا حَقَّهُ بِالصَّلَاةِ عَلَيْهِ ، وَالدُّعَاءِ وَالتَّشْيِيعِ….
“Tidak mengapa mengumumkan kematian kepada kerabat, kawan-kawan dan tetangganya, untuk menunaikan hak-haknya dengan salat, BERDOA DAN MEMBERIKAN SYAFAAT UNTUKNYA…”
Al-‘Allamah Ibnu Jibriin rahimahullah bahkan lebih jelas lagi fatwanya terkait hal ini, dimana beliau berkata :
لا بأس بنشر الخبر عن وفاة بعض الأشخاص المشهورين بالخير والصلاح ، ليحصل الترحم عليهم والدعاء لهم من المسلمين ، ولكن لا يجوز مدحهم بما ليس فيهم ، فإنَّ ذلك كذب صريح
“tidak mengapa menyebarkan khabar wafatnya seseorang yang masyhur dengan kebaikan, agar dapat doa rahmat dari kaum Muslimin, namun tidak boleh memuji-mujinya dengan sesuatu yang tidak ada padanya, karena ini adalah kedustaan yang nyata.”
(kedua fatwa diatas berasal dari faedah islamqa).
Mungkin kita dapat berdalil dengan kisah yang masyhur antara Umar bin Khathab radhiyallahu anhu yang pada waktu itu menjabat khalifah dengan Abu Ubaidah radhiyallahu anhu sebagai gubernurnya untuk wilayah Syam, ketika wabah Tha’un melanda Syam, maka Umar menulis surat kepadanya agar cepat-cepat meninggalkan Syam dan kembali ke Madinah, namun Abu Ubaidah lebih memilih tetap tinggal disana, maka ketika balasan ini sampai kepada Umar, beliau pun menangis tersedu-sedu, sehingga orang-orang pun mengatakan, “apakah Abu Ubaidah sudah wafat?”, maka Umar menjawab, “belum”, namun dengan firasatnya bahwa tidak lama lagi maut akan menjemput Abu Ubaidah dan benar saja tidak berselang lama datang berita kematian Abu Ubaidah radhiyallahu anhumaa.
Dari kisah tersebut diambil faedah bahwa menyampaikan berita kematian adalah hal yang lumrah, sekalipun tidak mesti hanya bagi yang akan mengurusi jenazahnya sebagaimana lazimnya, namun pihak-pihak yang berkepentingan dapat diberitahukan, setidaknya untuk menyampaikan doa atau ada hak dan kewajiban yang perlu diselesaikan.
Darul Ifta Mesir pernah ditanya dengan pertanyaan berikut :
ما حكم نشر صور الموتى ع
لى مواقع التواصل الاجتماعي، بنية دعاء المتابعين له بالرحمة والمغفرة؟
“Apa hukum menyebarkan foto mayit di medsos dengan tujuan agar followernya mendoakan rahmat dan ampunan (untuknya)?.
Asy-Syaikh Muhammad Wasâm -direktur lembaga fatwa – menjawab :
لا مانع شرعًا فليس هناك في الشرع ما يمنع مثل هذا، فالوسائل لها أحكام المقاصد
“Tidak terlarang secara syariat, disana tidak ada dalil yang melarang melakukan semisal ini, karena sarana itu dihukumi sesuai dengan tujuannya.” -selesai-.
Namun sebagai catatan, menyebarkan foto jenazah ada pembicaraan sebagian ulama terkait dengannya. Wallahu A’lam.
Abu Sa’id Neno Triyono