Hukum Menyolatkan Jenazah di Dalam Masjid

Hukum Menyolatkan Jenazah di Dalam Masjid

Fikroh.com – Pertanyaan, Bolehkah menyolatkan jenazah di masjid? karena ada sebuah hadits yang melarang hal tersebut. Sehingga teman saya pernah menyalahkan perbuatan ini serta mencelanya. Mohon penjelasannya.

Jawaban:

Menyalahkan dan mengkritik suatu pendapat sah-sah saja, asalkan ilmiyyah dan pendapat yang dikritik terbukti salah atau lemah. Namun, jangan terburu-buru untuk menyalahkan pendapat orang lain. Disamping sifat terburu-buru itu berasal dari syetan, sebagaimana dinyatakan oleh Nabi kita Muhammad –shollallahu ‘alaihi wa sallam-, bisa jadi pendapat yang kita salahkan justru yang benar.

Masih terlalu banyak kitab para ulama’ yang belum dibaca. Masih terlalu banyak ikhtilaf (perselisihan) ulama’ yang belum diketahui. Masih terlalu banyak dalil yang belum sampai. Masih terlalu banyak dalil yang belum bisa dipahami dengan benar. Masih terlalu banyak wajhul istidal (sisi pendalilan) dari dalil-dalil yang luput dari perhatian. Masih terlalu banyak ilmu-ilmu alat yang belum kita kuasai dengan benar. Masih terlalu banyak para guru yang belum diambil ilmunya. Dan ….dan….dan….masih banyak lagi.

Menyolatkan jenazah di masjid termasuk perkara yang diperbolehkan. Telah diriwayatkan dari Aisyah –rodhiallohu ‘anha- beliau berkata :

أَنَّهَا لَمَّا تُوُفِّيَ سَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ أَرْسَلَ أَزْوَاجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنْ يَمُرُّوا بِجَنَازَتِهِ فِي الْمَسْجِدِ، فَيُصَلِّينَ عَلَيْهِ، فَفَعَلُوا فَوُقِفَ بِهِ عَلَى حُجَرِهِنَّ يُصَلِّينَ عَلَيْهِ أُخْرِجَ بِهِ مِنْ بَابِ الْجَنَائِزِ الَّذِي كَانَ إِلَى الْمَقَاعِدِ، فَبَلَغَهُنَّ أَنَّ النَّاسَ عَابُوا ذَلِكَ، وَقَالُوا: مَا كَانَتِ الْجَنَائِزُ يُدْخَلُ بِهَا الْمَسْجِدَ، فَبَلَغَ ذَلِكَ عَائِشَةَ، فَقَالَتْ: مَا أَسْرَعَ النَّاسَ إِلَى أَنْ يَعِيبُوا مَا لَا عِلْمَ لَهُمْ بِهِ، عَابُوا عَلَيْنَا أَنْ يُمَرَّ بِجَنَازَةٍ فِي الْمَسْجِدِ، «وَمَا صَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى سُهَيْلِ ابْنِ بَيْضَاءَ إِلَّا فِي جَوْفِ الْمَسْجِدِ»

“Ketika Sa’d bin Abi Waqash meninggal dunia, para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan orang-orang agar membawa jenazahnya ke masjid untuk dishalatkan (di situ). Permintaan tersebut mereka penuhi, maka dibawalah jenazah tersebut ke muka kamar para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mereka shalatkan. Kemudian dibawa kembali keluar melalui pintu jenazah yang berhubungan dengan tempat duduk. Tidak berapa lama kemudian sampailah kabar kepada para istri nabi bahwa orang-orang banyak mencela perbuatan mereka itu. Mereka berkata, “Jenazah tidak boleh dibawa ke masjid.” Ucapan orang banyak itu sampai pula kepada Aisyah. Maka Aisyah pun berkata, “Alangkah cepatnya orang-orang mencela apa yang tidak mereka ketahui. Mereka mencela kami membawa jenazah ke masjid. Padahal tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menshalatkan Suhail bin Baidla` kecuali di dalam masjid.” [HR. Muslim: 973].

Sisi pendalilan dari hadits di atas adalah bahwa Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- sendiri pernah menyolatkan jenazah Suhail bin Baidla’ di dalam masjid. Jikalau perkara ini tidak boleh, tentu nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- tidak akan melakukannya.

Dalam suatu kaidah di sebutkan bahwa :

المثبت مقدم على النافي

“Orang yang menetapkan lebih didahulukan atas orang yang meniadakan”.

Aisyah –rodhiallohu ‘anha- menetapkan, bahwa nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- pernah menyolatkan jenazah Suhail bin Baidla’ di dalam masjid. Sedangkan sebagian sahabat yang lain mengingkari hal ini. Maka pendapat Aisyah, lebih diutamakan dari pendapat yang lain. Karena seorang yang menetapkan sesuatu, berarti dia memiliki ilmu yang tidak ada pada diri orang-orang yang meniadakan.

Al-Imam An-Nawawi –rohimahullah- berkata :

وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ دَلِيلٌ لِلشَّافِعِيِّ وَالْأَكْثَرِينَ فِي جَوَازِ الصَّلَاةِ عَلَى الْمَيِّتِ فِي الْمَسْجِدِ وممن قال به أحمد واسحاق قال بن عَبْدِ الْبَرِّ وَرَوَاهُ الْمَدَنِيُّونَ فِي الْمُوَطَأِ عَنْ مالك وبه قال بن حبيب المالكى

“Di dalam hadits ini terdapat dalil bagi Al-Imam Asy-Syafi’i dan mayoritas ulama’ dalam perkara bolehnya menyolatkan mayyit di dalam masjid. Dan yang termasuk berpendapat dengan hal ini diantaranya Ahmad, dan Ishaq. Ibnu Abdil Barr berkata : dan hal ini (pendapat ini) diriwayatkan dari Madaniyyun di dalam Muwaththo’ dari Malik. Ibnu Habib Al-Maliki juga berpendapat dengan hal ini”. [Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim Ibni Hajjaj : 7/40].

Al-Imam Ahmad bin Al-Husain Al-Baihaqi –rohimahullah- (wafat : 458 H) berkata :

وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ عَائِشَةَ وَمَنْ بَقِيَ مِنْ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّهُنَّ أُمِرْنَ بِذَلِكَ، وَأَنَّ مَنْ عَابَ ذَلِكَ لَمْ يَكُنْ لَهُ عِلْمٌ أَكْثَرَ مِنْ أَنَّهُ لَمْ يَرَ النَّاسَ يَصْنَعُونَ ذَلِكَ، وَحِينَ رَوَتِ الْخَبَرَ لَمْ يَحْتَجَّ عَلَيْهَا أَحَدٌ بِالنَّسْخِ، وَتَرْكِ الْمُبَاحِ مُدَّةً لَا يَدُلُّ عَلَى النَّسْخِ مِنْ غَيْرِ رِوَايَةٍ مِمَّنْ تَرَكَهُ أَوْ مِنْ غَيْرِهِمْ، وَلَيْسَ فِي الْخَبَرِ أَنَّ بَعْضَ الصَّحَابَةِ أَنْكَرَ ذَلِكَ، وَحِينَ تُوُفِّيَ سَعْدٌ، كَانَ قَدْ ذَهَبَ أَكْثَرُ الصَّحَابَةِ،

“Di dalamnya terdapat dalil, sesungguhnya Aisyah dan yang tersisa dari para istri Nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- semuanya diperintahkan untuk melakukan hal itu (menyolatkan jenazah Sa’ad bin Abi Waqqosh di masjid). Dan seorang yang mencela hal itu, tahunya para sahabat tidak berpendapat untuk melakukan hal itu karena minimnya ilmu yang ada padanya. Saat dia (Aisyah) meriwayatkan hadits di atas, tidak ada seorangpun yang menhujjahinya dengan naskh (telah dihapus hukum sholat jenazah di masjid). Ditinggalkannya suatu perbuatan mubah dalam kurun waktu tertentu, tidaklah menunjukkan kepada penghapusan hukum tanpa adanya riwayat dari orang yang meninggalkannya atau selain mereka. Dalam hadits di atas tidak ada keterangan sesungguhnya sebagian para sahabat mengingkari hal itu dan saat meninggalnya Sa’ad, mayoritas sahabat berpendapat untuk menyolatkannya di masjid”. [Ma’rifatus Sun
an Wal Atsar : 2/320].

Ada sebagian golongan yang melarang menyolatkan jenazah di masjid berdasarkan hadits dari Abu Huroiroh –rodhiallohu ‘anhu- yang berbunyi :

مَنْ صَلى على جنازة في المسجد فلا شيء له

“Barang siapa yang menyolatkan jenazah di masjid, maka tidak ada sesuatu (pahala) baginya”.

Saya (penulis) berkata: hal ini bisa dijawab dari beberapa sisi:

Pertama :

Hadits di atas dikeluarkan oleh Abu Dawud no: 3191 dengan sanad : Ali bin Muhammad telah menceritakan kepada kami, (dia berkata) Waki’ telah menceritakan kepada kami, dari Ibnu Abi Dzi’b, dari Sholih maula At-Tauamah dari Abu Huroiroh.

Sholih Maula At-Tauamah dinyatakan oleh Ibnu Hajar –rohimahullah- dalam “At-Taqrib” : “shoduq ikhtilath” (jujur tapi bercampur hafalannya di akhir umurnya)”. Dan beliau telah bersendiri dalam meriwayatkan hadits ini.

Al-Imam An-Nawawi –rohimahullah- berkata :

أَنَّهُ ضَعِيفٌ لَا يَصِحُّ الِاحْتِجَاجُ بِهِ قَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ هَذَا حَدِيثٌ ضَعِيفٌ تَفَرَّدَ بِهِ صَالِحٌ مَوْلَى التَّوْأَمَةِ وَهُوَ ضَعِيفٌ

“Sesungguhnya hadits tersebut lemah, tidak sah digunakan untuk berdalil. Ahmad bin Hambal berkata : Ini hadits lemah, Sholih Maula At-Tauamah telah bersendiri dan ia rowi yang lemah”.

Kedua :

Riwayat yang masyhur dan telah diteliti oleh para ahli tahqiq dari Sunan Abu Dawud tidak berbunyi sebagaimana di atas. Akan tetapi dengan lafadz :

وَمَنْ صَلَّى عَلَى جِنَازَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ

“Barang siapa yang menyolatkan jenazah di masjid, maka tidak ada sesuatu atasnya”.

Makna “tidak ada sesuatu atasnya” : Tidak ada dosa atasnya. Dengan kata lain : tidak mengapa atau boleh. Jika riwayat dengan lafadz seperti ini, maka tidak ada pertentangan sama sekali dengan riwayat Aisyah di atas.

Ketiga :

Seandainya telah pasti dengan riwayat “Tidak ada sesuatu baginya”, maka harus ditakwil dengan “Tidak ada sesuatu atasnya”, untuk mengkompromikan hadits ini dengan hadits Hadits Aisyah. Sebagaimana firman Alloh :

وان أسأتم فلها

“Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri”.[QS. Al-Isro’ : 7].

Makna kata “Falaha” artinya “Fa’alaiha”.

Keempat :

Sesungguhnya hadits di atas dibawa kepada kemungkinan kurangnya pahala bagi orang yang menyolatkan jenazah di masjid karena ia langsung kembali ke rumah dan tidak mengikutinya sampai ke kuburan karena ia kehilangan pahala mengikuti jenazah sampai ke kuburan dan menghadiri penguburannya.

Keempat jawaban di atas merupakan jawaban dari Al-Imam An-Nawawi –rohimahullah- dalam “Syarh Shohih Muslim” : 7/40 .

Menurut hemat kami, jawaban keempat merupakan jawaban yang paling baik dan paling kuat dalam rangka untuk mengkompromikan hadits Aisyah dengan hadits Abu Huroiroh. Karena hadits Abu Huroiroh di atas adalah hadits yang hasan. Karena Ibnu Abi Dzi’b mengambil riwayat hadits ini dari Sholih maulat Tau’amah sebelum ikhtilath (bercampur hafalannya).

Dalam “At-Taqrib” di sebutkan oleh Ibnu Hajar-rohimahullah- :

صدوق اختلط بآخره قال ابن عدي: لا بأس برواية القدماء عنه كابن أبي ذئب وابن جريج

“(Sholih maula Tau’amah) seorang yang jujur akan tetapi telah bercampur hafalannya di akhir umurnya. Ibnu ‘Adi mengatakan : Tidak mengapa riwayat orang-orang lama darinya seperti Ibnu Abi Dzi’b dan Ibnu Juraij”.

Ibnul Qoyyim –rohimahullah- berkata :

وهذا الحديث حسن فإنه من رواية ابن أبي ذئب عنه وسماعه منه قديم قبل اختلاطه فلا يكون اختلاطه موجبا لرد ما حدث به قبل الاختلاط

“Hadits ini hasan, karena dari riwayat Ibnu Abi Dzi’b darinya (Sholih Maula At-Tauamah). Dan sama’ beliau (riwayat beliau) dari sholih riwayat lama sebelum bercampurnya hafalan beliau. Maka bercampurnya hafalan beliau tidaklah mewajibkan untuk menolak haditsnya yang sebelum bercampur hafalannya”. [Zadul Ma’ad lewat perantara Ats-Tsamarul Mustathob : 2/768].

Oleh karenanya, hadits ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rohimahullah-. Beliau juga cenderung untuk mengkompromikan dua hadits di atas yang sekilas bertentangan. Beliau –rohimahullah- berkata :

فالحق أن إدخال الجنازة إلى المسجد والصلاة فيه جائز بدون كراهة لكن لم يكن ذلك من عادته عليه الصلاة والسلام بل الغالب عليه الصلاة عليها خارج المسجد فهو أولى

“Yang benar, sesungguhnya memasukkan jenazah ke masjid dan disholatkan di dalamnya merupakan perkara yang boleh, akan tetapi bukan merupakan adat beliau-shollallahu ‘alaihi wa sallam-. Bahkan secara umum beliau menyolatkan jenazah di luar masjid dan ia lebih utama”. [Ats-Tsamrul Mustathob : 2/768].

Kesimpulan :

Menyolatkan jenazah di masjid hukumnya boleh. Akan tetapi kurang afdhol. Yang lebih afdhol, menyolatkannya di mushola (tanah lapang) yang dekat dengan kuburan. Namun jika tidak ada tanah lapang, maka jenazah disholatkan di masjid atau di rumah duka lebih utama.

Oleh: Abdullah bin Abdurrahman Al-Jirani

About semar galieh

Check Also

Bolehkah Mengakikahi Diri Sendiri Setelah Dewasa?

Fikroh.com – Sebelumnya perlu untuk diketahui, bahwa akikah hukumnya sunah muakadah (sunah yang ditekankan), bukan …