Fikroh.com – Tanggal kedelapan dari bulan Dzulhijjah, dinamakan oleh para ulama dengan hari tarwiyah. Sebenarnya terkait puasa hari tarwiyah, maka ini masuk kedalam pembahasan kami terdahulu tentang dianjurkannya puasa pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah yakni yang dimaksud tanggal 1 sampai 9 Dzulhijjah, karena tanggal 10 Dzulhijjah adalah hari raya Idhul Adha yang dilarang berpuasa padanya.
Terkait puasa pada hari Tarwiyah yaitu tanggal 8 Dzulhijjah, maka dalam kitab “al-Maushû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah” (XXVIII/91) dikatakan :
اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى اسْتِحْبَابِ صَوْمِ الأَْيَّامِ الثَّمَانِيَةِ الَّتِي مِنْ أَوَّل ذِي الْحِجَّةِ قَبْل يَوْمِ عَرَفَةَ
“Para ulama fiqih bersepakat atas dianjurkannya puasa 8 hari mulai dari awal Dzulhijjah sampai sebelum hari Arafah (tanggal 8 Dzulhijjah).”
Kemudian lanjut mereka :
قَال الْحَنَابِلَةُ: وَآكَدُهُ الثَّامِنُ، وَهُوَ يَوْمُ التَّرْوِيَةِ. وَصَرَّحَ الْمَالِكِيَّةُ: بِأَنَّ صَوْمَ يَوْمِ التَّرْوِيَةِ يُكَفِّرُ سَنَةً مَاضِيَةً.
وَصَرَّحَ الْمَالِكِيَّةُ، وَالشَّافِعِيَّةُ: بِأَنَّهُ يُسَنُّ صَوْمُ هَذِهِ الأَْيَّامِ لِلْحَاجِّ أَيْضًا. وَاسْتَثْنَى الْمَالِكِيَّةُ مِنْ ذَلِكَ صِيَامَ يَوْمِ التَّرْوِيَةِ لِلْحَاجِّ.
“Hanabilah berpendapat lebih dikuatkan anjurannya berpuasa pada tanggal 8-nya, yaitu hari Tarwiyah.
Malikiyyah dengan tegas mengatakan bahwa puasa Tarwiyah dapat menghapus dosa satu tahun yang lalu.
Malikiyyah dan Syafi’iyyah juga menegaskan dianjurkannya puasa pada 8 hari awal Dzulhijjah tersebut kepada jamaah haji juga, namun Malikiyyah mengecualikannya (satu hari) yaitu berpuasa tarwiyah bagi jamaah haji (tidak dianjurkan dan makruh hukumnya bagi jamaah haji, pent.).” -selesai-.
Terkait pernyataan Hanabilah bahwa puasa tarwiyah lebih kuat anjurannya adalah setelah puasa arafah, karena arafah telah disepakati oleh para ulama akan kuatnya anjuran berpuasa padanya sebagaimana yang telah kami bahas, terkait dengan pelaksanaan puasa pada 9 hari awal bulan Dzulhijjah. Alasan mereka adalah sebagaimana ditegaskan oleh Malikiyyah terkait ganjaran puasa tarwiyah itu dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu.
Akan tetapi kaedah dalam agama kita bahwa menetapkan keutamaan atau ganjaran sekian-sekian termasuk juga azab atau siksa dalam agama kita, semuanya ini harus berlandaskan wahyu dari Al-Kitab dan as-Sunnah.
Adapun hadits yang berbicara tentang keutamaan khusus puasa tarwiyah yang dikatakan dapat menghapus dosa setahun yang lalu, maka telah ditakhrij dengan baik oleh Imam al-Albani rahimahullah dalam kitabnya “Irwâ` al-Ghalîl” (no. 956), lafazh haditsnya adalah dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhumâ bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
صومُ يومِ الترويةِ كفارةُ سنةٍ
“Puasa hari tarwiyah itu penghapus dosa setahun (yang lalu).”
Al-Imam al-Albani rahimahullah menilainya sebagai hadits PALSU karena beliau berhasil menemukan hadits ini secara bersanad dalam riwayat “Musnad Firdaus” (II/248) :
مِنْ رِوَايَةِ أَبِى الشَّيْخِ عَنْ عَلِى بْنِ عَلِى الحِمْيرى عَنْ الكَلْبِى عَنْ أَبِى صَالِحٍ عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ بِهِ.
Penyakit utama ada pada al-Kalbiy yang nama aslinya adalah Muhammad bin as-Sâ`ib, Al Hafizh Ibnu Hajar menilainya sebagai perawi yang tertuduh sebagai pendusta, Imam Sufyan ats-Tsauriy salah satu ulama yang membongkar aksinya memalsukan hadits, sehingga akhirnya ia mengaku sendiri kepada Imam Sufyan ats-Tsauriy :
كل ما حدثتك عن أبى صالح فهو كذب
“Semua apa yang aku riwayatkan haditsnya kepadamu dari Abu Shâlih adalah dusta.”
Dan dalam sanad ini, ia meriwayatkan dari Abu Shâlih, kemudian kata Imam al-Albani, perawi yang meriwayatkan dari al-Kalbiy si tukang dusta ini, yaitu Ali bin Ali al-Himyari, maka Ibnu Abi Hatim menyebutkan biografinya, tanpa ada penilaian jarh maupun ta’dil kepadanya, sehingga ia tergolong perawi majhul.
Kesimpulannya, bahwa puasa Tarwiyah itu masuk kedalam disyariatkannya berpuasa pada sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah. Adapun keutamaan khususnya yang dikatakan dapat menghapus dosa setahun, maka ini dipalsukan atas nama Nabi shallallahu alaihi wa sallam, sehingga tidak layak dijadikan pegangan, bahkan oleh mereka yang berpendapat hadits dhoif dapat digunakan dalam fadhoil amal, karena hadits ini palsu atau setidaknya sangat dhoif, sehingga tidak masuk kriteria hadits dhoif yang boleh diklaim sebagai fadhoil amal.
Penulis: Abu Sa’id Neno Triyono