Fikroh.com – Ada beberapa barang yang termasuk barang ribawi, yaitu suatu barang yang apabila dibarter (ditukar) bisa terjadi riba di dalamnya. Perkara ini sangat penting untuk kita ketahui bersama karena barang-barang tersebut ada disekitar kita. Dengan kita mengetahuinya, insya Alloh kita bisa terhindar dari riba.
Telah diriwayatkan dari Ubadah bin Ash-Shomit –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata, Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ، فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ، إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, tidak mengapa jika dengan takaran yang sama, dan sama berat serta tunai. Jika jenisnya berbeda, maka juallah sesuka hatimu asalkan dengan tunai dan langsung serah terimanya.” (HR. Muslim : 1587).
Dari hadits di atas dapat kita ketahui, bahwa barang ribawi itu ada enam macam yang dibagi menjadi dua kelompok :
[1]. Emas dan perak [2]. Gandum, jewawut, kurma, garam.Para ulama’ sepakat, sesungguhnya illat ( sebab hukum ) dari dua kelompok di atas berbeda. Illat pada kelompok pertama bukanlah illat pada kelompok kedua. Sebagaimana dinyatakan oleh asy-syaikh Alu Bassam –rohimahullah- :”Para ulama’ telah bersepakat, sesungguhnya illat pada emas dan perak, bukanlah illat yang terdapat pada empat jenis setelahnya (gandum, jewawut, kurma, dan garam).” (At-Taisir : 562 cet. Maktabah Al-Irsyad dan Ibnu Hazm th. 2004).
Namun setelah itu mereka berselisih pada jenis illat dari masing-masing kelompok. Kami akan beberkan penetapan illat pada masing-masing kelompok menurut pendapat yang paling rajih ( kuat ) diantara para ulama’. Agar lebih mudah dipahami oleh para pembaca sekalian.
Ilat (sebab) hukum riba pada jenis pertama adalah : ats-tsaminah (sesuatu yang memiliki nilai tinggi). Ini merupakan pendapat dari jumhur ulama’, seperti Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad dalam suatu riwayat. Hal ini berdasarkan beberapa alasan, diantaranya :
Dengan penelitian, sesungguhnya ilat yang terdapat pada emas dan perak adalah suatu ilat yang tidak bisa mengarah kepada harta yang lain. Tandanya bisa dilihat pada jual beli sistem salam. Dimana untuk emas dan perak tidak bisa dilakukan dengan sistem salam.
Nilai yang tinggi pada emas dan perak, merupakan sifat yang memiliki kesesuaian.Ø
Syaikhul IslamIbnu Taimiyyah –rohimahullah- berkata :
وَالْأَظْهَرُ أَنَّ الْعِلَّةَ فِي ذَلِكَ هُوَ الثمنية؛ لَا الْوَزْنُ كَمَا قَالَهُ جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ ….وَالتَّعْلِيلُ بالثمنية تَعْلِيلٌ بِوَصْفٍ مُنَاسِبٍ؛ فَإِنَّ الْمَقْصُودَ مِنْ الْأَثْمَانِ أَنْ تَكُونَ مِعْيَارًا لِلْأَمْوَالِ يَتَوَسَّلُ بِهَا إلَى مَعْرِفَةِ مَقَادِيرِ الْأَمْوَالِ وَلَا يَقْصِدُ الِانْتِفَاعَ بِعَيْنِهَا. فَمَتَى بِيعَ بَعْضُهَا بِبَعْضٍ إلَى أَجَلٍ قُصِدَ بِهَا التِّجَارَةُ الَّتِي تُنَاقِضُ مَقْصُودَ الثمنية
“Yang tampak, sesungguhnya ilat (sebab pengharaman riba) pada hal itu (emas dan perak) adalah karena “termasuk sesuatu yang memiliki nilai tinggi”, bukan “timbangan” sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Jumhur ulama’….dan penetapan ilat dengan “nilai tinggi” (pada emas dan perak), adalah penetapan ilat dengan sifat yang sangat sesuai. Karena sesungguhnya yang diinginkan dari “nilai tinggi”, untuk menjadi standard (ukuran) bagi berbagai harta, dimana dengannya menjadi perantara untuk mencapai pengetahuan kadar berbagai harta, tidak diinginkan untuk memanfaatkan dzatnya.” (Majmu’ Fatawa : 29/473).
Adapun illat pada jenis kedua adalah : makanan dan kadar (bisa ditakar dan ditimbang). Ini merupakan pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad bin Hambal. Bahkan Ibnu Qudamah menyatakan bahwa hal ini merupakan pendapat dari jumhur ulama’ (mayoritas ulama’).
Hal ini berdasarkan riwayat dari Busr bin Sa’id dia bercerita :
عَنْ مَعْمَرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، أَنَّهُ أَرْسَلَ غُلَامَهُ بِصَاعِ قَمْحٍ، فَقَالَ: بِعْهُ، ثُمَّ اشْتَرِ بِهِ شَعِيرًا، فَذَهَبَ الْغُلَامُ، فَأَخَذَ صَاعًا وَزِيَادَةَ بَعْضِ صَاعٍ، فَلَمَّا جَاءَ مَعْمَرًا أَخْبَرَهُ بِذَلِكَ، فَقَالَ لَهُ مَعْمَرٌ: لِمَ فَعَلْتَ ذَلِكَ؟ انْطَلِقْ فَرُدَّهُ، وَلَا تَأْخُذَنَّ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ، فَإِنِّي كُنْتُ أَسْمَعُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: «الطَّعَامُ بِالطَّعَامِ مِثْلًا بِمِثْلٍ»، قَالَ: «وَكَانَ طَعَامُنَا يَوْمَئِذٍ الشَّعِيرَ»، قِيلَ لَهُ: فَإِنَّهُ لَيْسَ بِمِثْلِهِ، قَالَ: «إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُضَارِعَ
“Dari Ma’mar bin Abadullah, bahwa dia pernah menyuruh pelayannya dengan membawa satu sha’ tepung ini, kemudian dia berkata, “Juallah ini lalu tukarlah dengan gandum yang masih kasar.” Lalu pelayannya pergi dan mengambil lebih dari satu sha’ gandum, ketika Ma’mar datang dia memberitahukan kepadanya, maka Ma’mar berkata, “Kenapa kamu lakukan hal itu! Pergilah dan kembalikan gandum itu, janganlah kamu mengambilnya kecuali dengan takaran yang sama. Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Makanan dengan makanan harus sebanding.” Ma’mar berkata lagi, “Saat itu makanan kami adalah gandum.” Lalu dikatakan kepadanya, “Hal itukan tidak sama jenisnya?” dia menjawab, “Sesungguhnya saya khawatir jika hal itu mendekati praktek ribawi.” (HR. Muslim: 1592).
Dalam hadits di atas disebutkan “makanan” dan “harus semisal”. Dan persamaan kadar di sini akan terwujud dengan dua hal, yaitu ditakar atau ditimbang.
Ibnu Qudamah –rohimahullah- berkata :
والحاصل أن ما اجتمع فيه الكيل والوزن والطعم من جنس واحد ففيه الربا رواية واحدة كالأرز والدخن والذرة والقطنيات والدهن والخل واللبن واللحم ونحوه وهذا قول أكثر أهل العلم قال ابن المنذر : هذا قول علماء الأمصار في القديم والحديث
“Kesimpulannya, sesungguhnya sesuatu yang terkumpul di dalamnya (sifat) bisa ditakar, bisa ditimbang, dan berupa makanan, dari jenis yang satu, maka bisa terjadi riba. Ini perkara yang disepakati. Seperti beras, jewawut, biji kacang, minyak, cuka, daging, dan yang semisal dengannya. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama’. Ibnul Mundzir berkata: ini pendapat ulama’ seluruh negeri dahulu dan sekarang.” (Al-Mughni: 4/135)
Maka segala sesuatu yang memiliki illat dari salah satu dari dua jenis di atas, termasuk barang ribawai. Kita ambil contoh uang di masa kita sekarang ini. Maka ia termasuk barang ribawi karena memiliki illat “sebagai barang berharga” sebagaimana emas dan perak. Ini contoh untuk jenis pertama.
Adapun u
ntuk contoh kedua, misalnya beras, jagung, kacang tanah, kedelai dll. Semua ini dan semisalnya, memiliki illat seperti jenis kedua, yaitu : makanan yang bisa ditakar dan ditimbang. Seperti beras, pertama ia makanan dan cara memperjual-belikannya dengan ditimbang atau ditakar. Maka ia termasuk barang ribawi.
Untuk contoh barang yang bukan ribawi misalnya: semangka. Walaupun dia makanan, namun ia dijual belikan tidak dengan ditimbang, akan tetapi dengan bijian. Contoh lain paku. Walaupun cara memperjualbelikannya dengan ditimbang, namun ia bukan makanan. Maka paku tidaklah termasuk barang ribawi.
Demikian penjelasan tentang barang ribawi. Untuk beberapa penjelasan tentang kaidah-kaidah seputar riba, insya Alloh akan kami jelaskan pada artikel selanjutnya. Kami sarankan kepada pembaca sekalian untuk mengikuti dan membaca artikel kelanjutannya, agar pemahaman dalam masalah riba ini bisa sempurna. Barokallohu fiikum.
Abdullah bin Abdurrahman Al-Jirani