Pada sebagian riwâyah Nabi mencegah para sahabat agar tidak mengkhatamkan Al-Qurân kurang dari tiga hari. Namun, kebanyakan ulama menilai hal tersebut sebagai afdhaliyyah, bukan larangan yang bersifat haram. Sehingga apabila kita menilik kehidupan para ulama Salaf, baik dari kalangan Sahabat ataupun generasi setelahnya, maka kita akan dapati bahwa mereka ternyata mengkhatamkan Al-Qurân kurang dari tiga hari. Bahkan, tidak sedikit di antara mereka yang bisa mengkhatamkannya lebih dari satu kali dalam sehari.
Al-Imâm An-Nawawiy merangkum kisah-kisah tersebut dalam kitab At-Tibyān Fî Âdâbi Hamalatil Qurān sebagai berikut:
ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﺤﺎﻓﻆ ﻋﻠﻰ ﺗﻼﻭﺗﻪ ﻭﻳﻜﺜﺮ ﻣﻨﻬﺎ ﻭﻛﺎﻥ اﻟﺴﻠﻒ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻢ ﻟﻬﻢ ﻋﺎﺩاﺕ ﻣﺨﺘﻠﻔﺔ ﻓﻲ ﻗﺪﺭ ﻣﺎ ﻳﺨﺘﻤﻮﻥ ﻓﻴﻪ
“Hendaknya seorang penuntut ilmu Al-Qurân menjaga dan memperbanyak tilâwah Al-Qurân. Para ulama salaf (semoga Allâh meridhai mereka semua) memiliki kebiasaan yang berbeda-beda dalam kadar mengkhatamkan Al-Qurân.”
ﻓﺮﻭﻯ اﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺩاﻭﺩ ﻋﻦ ﺑﻌﺾ اﻟﺴﻠﻒ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻢ ﺃﻧﻬﻢ ﻛﺎﻧﻮا ﻳﺨﺘﻤﻮﻥ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺷﻬﺮﻳﻦ ﺧﺘﻤﺔ ﻭاﺣﺪﺓ, ﻭﻋﻦ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺷﻬﺮ ﺧﺘﻤﺔ ﻭﻋﻦ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻋﺸﺮ ﻟﻴﺎﻝ ﺧﺘﻤﺔ, ﻭﻋﻦ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺛﻤﺎﻥ ﻟﻴﺎﻝ ﻭﻋﻦ اﻷﻛﺜﺮﻳﻦ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺳﺒﻊ ﻟﻴﺎﻝ, ﻭﻋﻦ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺳﺖ, ﻭﻋﻦ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺧﻤﺲ, ﻭﻋﻦ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺃﺭﺑﻊ, ﻭﻋﻦ ﻛﺜﻴﺮﻳﻦ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺛﻼﺙ, ﻭﻋﻦ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻟﻴﻠﺘﻴﻦ
Ibn Abî Dâwûd meriwayatkan dari beberapa Salaf (semoga Allâh meridhai mereka semua) bahwasanya mereka dahulu mengkhatamkan Al-Qurân setiap dua bulan sekali, dan sebagian yang lain sebulan sekali, sebagian yang lain mengkhatamkannya sepuluh hari sekali, ada yang delapan hari sekali, dan kebanyakan di antara mereka mengkhatamkannya tujuh hari sekali. Ada pula yang mengkhatamkan enam hari sekali, lima hari sekali, empat hari sekali, dan banyak para ulama yang mengkhatamkannya tiga hari sekali, juga yang mengkhatamkan dua hari sekali.”
ﻭﺧﺘﻢ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻭﻟﻴﻠﺔ ﺧﺘﻤﺔ, ﻭﻣﻨﻬﻢ ﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﻳﺨﺘﻢ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻭﻟﻴﻠﺔ ﺧﺘﻤﺘﻴﻦ, ﻭﻣﻨﻬﻢ ﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﻳﺨﺘﻢ ﺛﻼﺛﺎ ﻭﺧﺘﻢ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﺛﻤﺎﻥ ﺧﺘﻤﺎﺕ ﺃﺭﺑﻌﺎ ﺑﺎﻟﻠﻴﻞ ﻭﺃﺭﺑﻌﺎ ﺑﺎﻟﻨﻬﺎﺭ
“Sebagian di antara mereka mengkhatamkan Al-Qurân sekali dalam setiap malamnya, ada yang sehari semalam dua kali, tiga kali, bahkan ada juga yang mengkhatamkannya delapan kali: empat kali di waktu malam dan empat kali pada siang harinya.”
ﻓﻤﻦ اﻟﺬﻳﻦ ﻛﺎﻧﻮا ﻳﺨﺘﻤﻮﻥ ﺧﺘﻤﺔ ﻓﻲ اﻟﻠﻴﻞ ﻭاﻟﻴﻮﻡ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﻋﻔﺎﻥ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻭﺗﻤﻴﻢ اﻟﺪاﺭﻱ ﻭﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺟﺒﻴﺮ ﻭﻣﺠﺎﻫﺪ ﻭاﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭﺁﺧﺮﻭﻥ
“Di antara yang mengkhatamkan Al-Qurân sekali dalam sehari semalam adalah: ‘Utsmân ibn ‘Affân, Tamîm Ad-Dâriy, Sa’îd ibn Jubayr, Mujâhid, Asy-Syâfi’iy, dan lainnya.”
ﻭﻣﻦ اﻟﺬﻳﻦ ﻛﺎﻧﻮا ﻳﺨﺘﻤﻮﻥ ﺛﻼﺙ ﺧﺘﻤﺎﺕ ﺳﻠﻴﻢ ﺑﻦ عتر ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﺿﻲ ﻣﺼﺮ ﻓﻲ ﺧﻼﻓﺔ ﻣﻌﺎﻭﻳﺔ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ،وقاص أهل مصر، فرﻭﻯ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺩاﻭﺩ ﺃﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻳﺨﺘﻢ ﻓﻲ اﻟﻠﻴﻠﺔ ثلاث ﺧﺘﻤﺎﺕ
“Adapun yang mengkhatamkannya tiga kali: Sulaym (atau Sulaymân) bin ‘Itr, hakim Mesir pada masa pemerintahan Mu’âwiyah (semoga Allâh meridhainya). Abû Bakr ibn Abî Dâwûd meriwayatkan bahwa Sulaym mengkhatamkan Al-Qurân tiga kali setiap malamnya.”
ﻭﺭﻭﻯ ﺃﺑﻮ ﻋﻤﺮ اﻟﻜﻨﺪﻱ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﻓﻲ ﻗﻀﺎﺓ ﻣﺼﺮ ﺃﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻳﺨﺘﻢ ﻓﻲ اﻟﻠﻴﻠﺔ ﺃﺭﺑﻊ ﺧﺘﻤﺎﺕ
“Adapun Abû ‘Umar Al-Kindiy menyebutkan dalam kitabnya “Fî Qudhâti Mishra” bahwa Sulaym mengkhatamkan Al-Qurân sebanyak empat kali dalam satu malam.”
ﻗﺎﻝ اﻟﺸﻴﺦ اﻟﺼﺎﻟﺢ ﺃﺑﻮ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺴﻠﻤﻲ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺳﻤﻌﺖ اﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﺎ ﻋﺜﻤﺎﻥ اﻟﻤﻐﺮﺑﻲ ﻳﻘﻮﻝ ﻛﺎﻥ اﺑﻦ اﻟﻜﺎﺗﺐ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻳﺨﺘﻢ ﺑﺎﻟﻨﻬﺎﺭ ﺃﺭﺑﻊ ﺧﺘﻤﺎﺕ ﻭﺑﺎﻟﻠﻴﻞ ﺃﺭﺑﻊ ﺧﺘﻤﺎﺕ ﻭﻫﺬا ﺃﻛﺜﺮ ﻣﺎ ﺑﻠﻐﻨﺎ ﻣﻦ اﻟﻴﻮﻡ ﻭاﻟﻠﻴﻠﺔ
“Seorang syaikh yang shalih, Abû ‘Abdirrahmân As-Sulamiy (semoga Allâh meridhainya) berkata: “Saya telah mendengar Asy-Syaikh Abû ‘Utsmân Al-Maghribiy berkata: Ibn Al-Kâtib mengkhatamkan Al-Qurân empat kali pada waktu siang dan empat kali pada waktu malam.” Ini merupakan riwâyah khataman yang paling banyak yang kami temukan dalam waktu sehari semalam.”
ﻭﺭﻭﻯ اﻟﺴﻴﺪ اﻟﺠﻠﻴﻞ ﺃﺣﻤﺪ اﻟﺪﻭﺭﻗﻲ ﺑﺈﺳﻨﺎﺩﻩ ﻋﻦ ﻣﻨﺼﻮﺭ ﺑﻦ ﺯاﺩاﻥ ﻋﻦ ﻋﺒﺎﺩ اﻟﺘﺎﺑﻌﻴﻦ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺃﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻳﺨﺘﻢ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓﻴﻤﺎ ﺑﻴﻦ اﻟﻈﻬﺮ ﻭاﻟﻌﺼﺮ ﻭﻳﺨﺘﻤﻪ ﺃﻳﻀﺎ ﻓﻴﻤﺎ ﺑﻴﻦ اﻟﻤﻐﺮﺏ ﻭاﻟﻌﺸﺎء, ويختمه فيما بين المغرب والعشاء ختمتين وشيئا. وكانو يؤخرون العشاء ﻓﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﻳﻤﻀﻲ ﺭﺑﻊ اﻟﻠﻴﻞ
“As-Sayyid Al-Jalîl Ahmad Ad-Dawraqiy meriwayatkan dengan sanadnya dari Manshûr ibn Zâdân dari para ahli ibadah Tâbi’în (semoga Allâh meridhainya): “Bahwa ia mengkhatamkan Al-Qurân sekali pada waktu antara Zhuhur dan Ashar, sekali pada waktu antara Maghrib dan Isya (di luar Ramadhan) dan dua khataman lebih beberapa juz pada bulan Ramadhan. Dahulu mereka (para salaf) pada bulan Ramadhan biasa mengakhirkan shalat Isya hingga lewat seperempat malam.”
ﻭﺭﻭﻯ ﺃﺑﻮ ﺩاﻭﺩ ﺑﺈﺳﻨﺎﺩﻩ اﻟﺼﺤﻴﺢ ﺃﻥ ﻣﺠﺎﻫﺪا ﻛﺎﻥ ﻳﺨﺘﻢ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓﻴﻤﺎ ﺑﻴﻦ اﻟﻤﻐﺮﺏ ﻭاﻟﻌﺸﺎء, ﻭﻋﻦ ﻣﻨﺼﻮﺭ ﻗﺎﻝ ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻲ اﻷﺯﺩﻱ ﻳﺨﺘﻢ ﻓﻴﻤﺎ ﺑﻴﻦ اﻟﻤﻐﺮﺏ ﻭاﻟﻌﺸﺎء ﻛﻞ ﻟﻴﻠﺔ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ
“Diriwayatkan oleh Ibn Abî Dâwûd dengan sanad shahih bahwa dahulu Mujâhid mengkhatamkan Al-Qurân setiap malam di bulan Ramadhan pada waktu antara Maghrib dan Isya.
Dan dari Manshûr ia berkata: “Dahulu ‘Aliy Al-Azdiy mengkhatamkan Al-Qurân pada waktu antara Maghrib dan Isya setiap malam pada bulan Ramadhan.”
ﻭﻋﻦ ﺇﺑﺮاﻫﻴﻢ ﺑﻦ ﺳﻌﺪ ﻗﺎﻝ ﻛﺎﻥ ﺃﺑﻲ ﻳﺤﺘﺒﻲ ﻓﻤﺎ ﻳﺤﻞ ﺣﺒﻮﺗﻪ ﺣﺘﻰ ﻳﺨﺘﻢ اﻟﻘﺮﺁﻥ
“Diriwayatkan dari Ibrâhîm ibn Sa’d ia berkata: “Ayahku duduk ihtiba”, dan beliau tidak melepaskan selendangnya hingga mengkhatamkan Al-Qurân.”
ﻭﺃﻣﺎ اﻟﺬﻱ ﻳﺨﺘﻢ ﻓﻲ ﺭﻛﻌﺔ ﻓﻼ ﻳﺤﺼﻮﻥ ﻟﻜﺜﺮﺗﻬﻢ ﻓﻤﻦ اﻟﻤﺘﻘﺪﻣﻴﻦ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﻋﻔﺎﻥ ﻭﺗﻤﻴﻢ اﻟﺪاﺭﻱ ﻭﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺟﺒﻴﺮ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻢ ﺧﺘﻤﺔ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺭﻛﻌﺔ ﻓﻲ اﻟﻜﻌﺒﺔ
“Adapun untuk yang mengkhatamkan Al-Qurân dalam satu rakaat shalat, maka tidak terhitung jumlahnya disebabkan banyaknya para ulama yang melakukannya, di an
taranya” ‘Utsmân ibn Affân, Tamîm Ad-Dâriy, dan Sa’îd ibn Jubayr yang mengkhatamkannya pada satu rakaat di Ka’bah.”
ﻭﺃﻣﺎ اﻟﺬﻳﻦ ﺧﺘﻤﻮا ﻓﻲ اﻷﺳﺒﻮﻉ ﻣﺮﺓ ﻓﻜﺜﻴﺮﻭﻥ ﻧﻘﻞ ﻋﻦ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﻋﻔﺎﻥ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻭﻋﺒﺪ اﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ ﻭﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺛﺎﺑﺖ ﻭﺃﺑﻲ ﺑﻦ ﻛﻌﺐ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻢ ﻭﻋﻦ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻣﻦ اﻟﺘﺎﺑﻌﻴﻦ ﻛﻌﺒﺪ اﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ ﻳﺰﻳﺪ ﻭﻋﻠﻘﻤﺔ ﻭﺇﺑﺮاﻫﻴﻢ ﺭﺣﻤﻬﻢ اﻟﻠﻪ
“Begitupun yang mengkhatamkan Al-Qurân satu pekan sekali maka jumlahnya sangat banyak, di antaranya ‘Utsmân ibn Affân, Abdullâh ibn Mas’ûd, Zayd ibn Tsâbit, dan Ubay bin Ka’b. Banyak juga dari kalangan tâbi’în seperti Abdurrahmân bin Yazîd, ‘Alqamah, dan Ibrâhîm (semoga Allâh merahmati mereka semua).”
[Selesai kutipan]Kisah-kisah di atas merupakan rangkuman dari apa yang diriwayatkan para ulama dalam kitab-kitab mereka. Sebagian di antaranya diperselisihkan keshahihannya dan sebagai di antaranya disepakati keshahihannya.
Apabila anda tidak percaya dengan kisah-kisah tersebut disebabkan anda telah meneliti sanadnya, dan anda menilai bahwa di dalam sanadnya terdapat kelemahan, maka itu adalah hak anda. Namun, apabila anda beranggapan bahwa kisah-kisah tersebut merupakan kisah-kisah dusta yang sengaja disampaikan para ulama, maka menuduh para ulama sepakat berdusta jelas merupakan fitnah yang sangat keji dan sangat tercela.
Apabila kita menilai bahwa kisah-kisah tersebut tidak mungkin terjadi, maka hakikatnya hal tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan dan ketidakmampuan kita semata. Karena sungguh para ulama yang shalih telah diberikan keistimewaan berupa keberkahan dan karamah sehingga mereka bisa melakukan apa yang tidak bisa dilakukan menurut keumuman manusia.
Adapun kita mengambil pelajaran dari kisah-kisah tersebut berupa kesungguhan para ulama dalam beribadah dan berinteraksi dengan Al-Qurân, yang penting kita berusaha untuk optimal, adapun hasilnya kita serahkan pada Allâh. Wallahu a’lam.
Ust. Muhammad Laili Al-Fadhli