Kisah Musa dan Khidir Alaihimussalam
Oleh: Abu Bakar Ibn Ghazali Al-Kailandari
فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا ﴿ ٦٥ ﴾ ( الكهف: ٦٥ )
“ Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. ” ( Qs. Al-Kahfi: 65 )
Pada suatu ketika Nabi Musa sedang berkumpul dengan bani Israil dalam suatu majlis kemudian seseorang bertanya kepada Nabi Musa, “ adakah yang lebih cerdas daripada anda? ” Nabi Musa menjawab, “ tidak ada ”. Allah ﷻ mencela jawaban tersebut karena Nabi Musa tidak mengembalikan segala pengetahuan kepada-Nya. Allah berfirman, “ temuilah seorang hamba kami yang tinggal di pertemuan dua lautan, yakni laut Rum dan Persia, dia lebih pandai darimu ”.
Musa bertanya, “ Ya Rabb, bagaimana caranya agar aku bisa bertemu dengannya? ” Maka Allah ﷻ berfirman, “ Bawalah seekor ikan yang kamu masukkan ke dalam suatu wadah, di mana ikan itu menghilang maka di situlah hamba-Ku itu berada. ” Maka Musa berangkat bersama Yusya’ bin Nun untuk bertemu dengan abdi Allah tersebut.
Setelah lama menempuh perjalanan, mereka pun sampai di pesisir laut dan beristirahat dekat sebuah batu besar sampai mereka tertidur. Tiba-tiba ikan yang berada di wadah melompat ke laut dengan cara yang aneh disaksikan oleh Yusya’ yang saat itu terjaga. Ikan itu telah mati namun dapat melompat keluar dan menggali lubang agar ia sampai ke laut. Allah ﷻ menahan arus air demi untuk jalannya ikan itu, sehingga pada air itu tampak seperti terowongan. Tetapi Yusya’ lupa untuk mengabarkan kejadian itu kepada Musa sehingga mereka terus melanjutkan perjalanan setelah cukup beristirahat.
Di pagi harinya Musa meminta pembantunya itu membawakan bekal mereka, saat itulah Yusya ingat tentang ikan yang lompat ke laut. Ia mengatakan bahwa ikan itu melompat dari wadah ke laut dengan cara yang unik, tetapi ia lupa memberi tahu Musa. Musa berkata, “ itulah tempat yang kita cari! ”. Musa dan Yusya’ bergegas kembali menuju ke tempat tadi dan setibanya mereka di batu tersebut, tampaklah seorang lelaki tertutup kain, orang itu adalah Nabi Khidir Alaihissalam ¹.
Lalu Musa memberi salam kepadanya yang dijawab kembali oleh Khidir sembari menanyakan asal dan tujuan Musa mendatanginya. Musa berkata, “ bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu? ”. Khidir menjawab, “ wahai Musa, aku ini mengetahui suatu ilmu dari Allah yang hanya Dia ajarkan kepadaku saja. Kamu tidak mengetahuinya. Sedangkan engkau juga mempunyai ilmu yang hanya diajarkan Allah kepadamu saja, yang aku tidak mengetahuinya ”. Khidir juga menjelaskan bahwa Musa tidak akan dapat bersabar melakukan perjalanan ruhaniyah bersamanya. Musa meyakinkan Khidir bahwa ia akan senantiasa bersabar saat nanti bersama,“ insya Allah, kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusan pun ”.
Kemudian, keduanya² berjalan di tepi laut, secara kebetulan lewat sebuah perahu. Mereka berbincang-bincang dengan para penumpang kapal tersebut agar berkenan membawa serta mereka. Akhirnya, mereka mengenali Khidhir, lalu penumpang kapal itu membawa keduanya tanpa diminta upah. Tiba-tiba, seekor burung hinggap di tepi perahu itu, ia mematuk seteguk atau dua teguk air laut. Kemudian, Khidhir memberitahu Musa, “ Wahai Musa, ilmuku dan ilmumu tidak sebanding dengan ilmu Allah, kecuali seperti paruh burung yang meminum air laut tadi ”.
Tak diduga, Khidir melubangi salah satu papan perahu itu sehingga sebagian air masukkan ke dalam. Melihat kejanggalan tersebut Musa bertanya, “ Pemilik kapal ini telah bersedia membawa serta kita tanpa memungut upah, tetapi mengapa engkau sengaja melubangi kapal mereka? Apakah engkau lakukan itu dengan maksud menenggelamkan penumpangnya? ”.
Khidhir menjawab, “ bukankah aku telah berkata sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersamaku? ”. Musa meminta maaf kepada Khidir atas kekhilafannya itu dan berkata, “ janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku ”. Itulah sesuatu yang pertama kali dilupakan Musa, kemudian keduanya melanjutkan perjalanan hingga bertemu dengan seorang anak laki-laki sedang bermain bersama kawan-kawannya. Tiba-tiba Khidhir menarik rambut anak itu dan membunuhnya.
Melihat kejadian mengejutkan ini, Musa kembali bertanya, “ Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang mungkar! ”. Khidhir lalu menjawab,“ bukankah sudah aku katakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku? ”. Musa kembali meminta maaf, beliau pun berjanji seandainya ia bertanya lagi tentang apa yang diperbuat Khidir, maka Khidir boleh meninggalkannya.
Keduanya pun berjalan kembali hingga sampai ke suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri tersebut, tetapi penduduk itu tidak mau menjamu mereka. Kemudian di sana keduanya mendapati sebuah dinding rumah yang hampir roboh. Khidir membetulkan dinding roboh itu sampai tegak kembali, Musa berkata kepada Khidir, “ Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu ”. Sekalipun pernyataan Musa ini bukan sebuah pertanyaan, jika diperhatikan secara seksama di dalamnya terdapat unsur pertanyaan. Maka Musa tidak diperkenankan untuk mengikuti Khidir lebih lanjut, kemudian Khidir menjelaskan mengenai apa makna dari segala perbuatannya.
“ Tentang perahu itu, ” kata Khidir, “ adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut. Sedangkan di depan mereka ada seorang raja yang merampas kapal-kapal yang bagus. Maka aku melubanginya agar tampak buruk, sehingga raja itu tidak mengambilnya ”. Khidir lalu menjelaskan tentang anak yang ia bunuh, bahwasanya anak tersebut jelek prilakunya sedangkan kedua orang tuanya adalah hamba Allah ﷻ yang saleh. sehingga setelah dewasa nanti besar kemungkinan anak itu akan mengajak orang tuanya ke dalam kekufuran.
Maka Khidir membunuhnya ketika ia masih kecil dan belum mencapai baligh sehingga ia belum memiliki tanggungan dosa, Khidir pun berharap agar Allah ﷻ menggantinya dengan anak yang lebih bersih hatinya dan menyayangi kedua orang tuanya. “ Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya ”, jelas Khidir.
Khidir lalu menjelaskan tentang mengapa ia membetulkan tembok rumah yang penduduknya tidak ramah itu. “ Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan³ bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya ”. Setelah itu Musa kembali kepada Bani Israil dan khidir melanjutkan pengembaraannya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
يرحم الله موسى لوددت أنه كان صبر حتى كان يقص علينا من أخبارهما ( رواه البخاري ومسلم )
“ Semoga Allah menganugerahkan rahmat kepada Musa ‘alaihis salam. Tentu, kita sangat menginginkan sekiranya Musa dapat bersabar sehingga kita memperoleh banyak cerita tentang kabar keduanya ”. ( HR. Bukhari dan Muslim )
Para ulama berbeda pendapat mengenai kehidupan Khidir
apakah beliau masih hidup ataukah tidak. Badiuzzaman Said Nursi, ulama di masa akhir Kekhalifahan Utsmani menjembatani permasalahan ini. Beliau mengatakan bahwa Nabi Khidir masih hidup hingga kini seperti Nabi Ilyas, mereka ditempatkan di tingkat kehidupan kedua dimana maqam kedua nabi tersebut tidak terikat oleh batasan-batasan duniawi seperti kita sekalipun jika mau, mereka memenuhi kebutuhan hidup seperti manusia biasa. Kehidupan tingkat ini berada di bawah tingkat kehidupan Nabi Isa dan Idris yang telah terlepas dari segala kebutuhan manusiawi, dan berada di atas kehidupan manusia biasa yang terikat dengan segala hal duniawi.
Dalam kitab Al-Asror Rabbaniyyah wal Fuyudhatur Rahmaniyyah, Syeikh Ahmad Shawi Al-Maliki menerangkan bahwa di siang hari Nabi Khidir berkeliling di sekitar lautan sambil memberi petunjuk kepada orang-orang yang tersesat di lautan seddangkan Nabi Ilyas berkeliling di sekitar gunung sambil memberi petunjuk kepada orang-orang yang tersesat di gunung-gunung. Mereka menjaga Ya’juj dan Ma’juj di malam hari serta setiap tahunnya bertemu di Mina, berhaji di musim Haji, dan berpuasa di Baitul Maqdis. Keterangan ini juga bisa ditemukan dalam karya Ibn Hajar Al-‘Asqalani. Semua kebenaran dalam pendapat mengenai khidir adalah lebih baik dikembalikan kepada Allah ﷻ yang Maha mengetahui segala sesuatu.
Ilahī, Anta maqshūdī wa ridhāka Mathlūbī……
Wallahu A’lam Bisshawab
___________________________________
Catatan kaki:
1. Khidir ( خضر ) adalah gelar sang Nabi, dalam bahasa Arab berarti Hijau. Sebuah riwayat menyebutkan jika beliau duduk di atas tanah putih, tiba-tiba tanah itu akan berguncang di belakang beliau dan lantas menghijau. Ini menunjukkan bahwa sang Nabi adalah pribadi yang subur dengan ilmu ruhaniah.
2. Kata Fanthaqalâ ( فانطلقا ) menunjukkan Dhamir Mutsanna Muzakkar, artinya yang berjalan hanya dua orang yakni Musa dan Khidir. Ini adalah isyarat bahwa pengembaraan yang dilakukan oleh Musa dan Khidir merupakan perjalanan spiritual tingkat tinggi, Yusya’ yang dirasa tingkat Maqam dan Ma’rifatnya belum sampai diperkenankan untuk pulang.
3. Disebutkan dalam sebuah riwayat, pada kanz yang disimpan anak-anak yatim itu terdapat kalimat yang berbunyi:
” عَجِبْتُ لِمَنْ أَيْقَنَ بِالْقَدْرِ لِمَ نَصِبَ؟ وَعَجِبْتُ لِمَنْ ذَكَرَ النَّارَ لِمَ ضَحِك؟ وَعَجِبَتْ لِمَنْ ذَكَرَ الْمَوْتَ لِمَ غَفَلَ؟ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ “
“ Aku merasa heran terhadap orang yang mengakui dirinya beriman kepada takdir,
mengapa dia bersusah payah?
Dan aku heran terhadap orang yang ingat akan neraka, mengapa dia tertawa? Aku pun merasa heran kepada orang yang ingat akan mati, mengapa ia lalai? Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah. ”
___________________________________
Referensi:
Al-‘Asqalani, Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar. 2015. Fathul Bari’ Bi Syarh Shahih Al-Bukhari vol. I. Kairo: Mathba’ah As-Salafiyah wa Maktabatuha.
Al-Maliki, Syaikh Ahmad Shawi. tt. Al-Asror Rabbaniyyah wal Fuyudhatur Rahmaniyyah. Surabaya: Syirkah Bungkul Indah.
Departemen Agama Republik Indonesia. 2009. Al Qur’an Transliterasi Latin dan Terjemahnya. Jakarta: PT. Suara Agung.
Ibn Katsir, Abu Fida’ Ismail. 1992. Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim vol. I. Riyadh: Maktabah Dar As-Salam.
Nursi, Bediuzzaman Said. 2017. Al-Maktubat. Tangerang: Risalah Nur Press.
Shihab, Prof. Dr. Quraish. 2002 Tafsir Al Misbah vol. I. Jakarta: Lentera hati.