Fikroh.com – Ini adalah foto saya dua tahun lalu, ketika mengikuti Liga Parlemen untuk Al Quds di Istanbul, Turki. Liga ini menghimpun para anggota parlemen dari seluruh dunia yang mendukung kemerdekaan Palestina. Dengan jujur kita harus mengakui bahwa sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, suara Indonesia hanya masih terdengar nyaring ketika sedang memperjuangkan jatah kuota haji saja, tapi tak lagi memainkan inisiatif penting dalam isu-isu politik besar seperti Palestina, bahkan Rohingya. Pernyataan publik Presiden Indonesia terkait isu terkini Palestina bahkan tertinggal beberapa hari dari pernyataan resmi negeri jiran, Malaysia.
Sebagai negara yang pernah menggagas Konferensi Asia Afrika, menjadi inisiator CONEFO (Conference of The New Emerging Forces) yang bermimpi hendak menyaingi PBB, salah satu negara paling disegani dalam OKI (Organisasi Konferensi Islam), serta pemimpin GNB (Gerakan Non-Blok), kita menyaksikan jika peran diplomatik kita di panggung internasional hanya tinggal menyisakan “pernyataan” dan “kecaman” semata. Kita belum bisa mengembalikan peran sebagaimana yang pernah dimainkan di masa lalu.
Lemahnya derajat permainan diplomatik kita setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama, kekuatan serta posisi tawar negara kita di tengah pergaulan internasional memang lemah. Dan kedua, rendahnya kualitas leadership. Di antara keduanya, faktor kepemimpinan menjadi determinan paling penting.
Ketika menjadi penggagas Konferensi Asia Afrika, lalu kemudian CONEFO, Indonesia bukanlah sebuah negara adikuasa. Kita juga bukan negara kaya dan kuat. Sebagai negara yang baru merdeka, kondisi dalam negeri kita bahkan masih morat-marit. Namun, di tangan pemimpin berkarakter kuat seperti Soekarno, semua kekurangan ekonomi dan militer itu tak menghalangi dominasi peran Indonesia di panggung internasional, khususnya di kalangan negara-negara Dunia Ketiga. Seturut amanat Pembukaan UUD 1945, Republik ini memang didirikan untuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia”. Jadi, bukan hanya untuk sibuk dengan urusan dalam negeri saja.
Keterbatasan ekonomi juga tak menghalangi peran Indonesia saat mendukung kemerdekaan Bosnia. Sesudah ditinggalkan dan bahkan mulai dipojokkan oleh dunia Barat, sebagai pemimpin dari negara Muslim terbesar di dunia, Presiden Soeharto menunjukkan kelasnya ketika ia nekat mengunjungi kawasan Balkan di tengah-tengah puncak perang saudara. Antara tahun 1992 hingga 1995, konflik Balkan telah memakan korban ribuan rakyat Bosnia. Tentara Serbia menggelar berbagai aksi kejam untuk menolak kemerdekaan sekaligus memusnahkan etnis Bosnia. Pembantaian yang terjadi terhadap Muslim Bosnia ketika itu tercatat sebagai genosida paling mengerikan setelah Perang Dunia II.
Kunjungan Presiden Soeharto ke Bosnia itu terjadi setelah menghadiri KTT untuk Pembangunan Sosial di Kopenhagen, Denmark, dan melakukan sebuah kunjungan kenegaraan balasan ke Kroasia. Setelah bertemu Presiden Kroasia Franjo Tudjman di Zagreb, Pak Harto kemudian pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Sarajevo, ibukota Bosnia Herzegovina.
Permintaan untuk mengunjungi Sarajevo itu tentu saja membuat seluruh anggota rombongan kaget. Bukan hanya itu, rencana itu juga membuat PBB jadi kalang kabut. Permintaan Pak Harto untuk mengunjungi Bosnia itu terjadi dua hari sesudah pesawat yang ditumpangi oleh Utusan Khusus PBB, Yasushi Akashi, ditembaki jatun di udara Bosnia pada 11 Maret 1995. Namun, Pak Harto tetap dengan keputusannya. Ia ingin mengunjungi negeri yang baru memproklamirkan kedaulatannya pada tahun 1992 itu.
Panglima pasukan PBB di Bosnia ketika itu bahkan lepas tangan, tidak berani bertanggung jawab atas apa yang akan terjadi bila Presiden Soeharto tetap memaksakan diri berkunjung ke Bosnia. Setelah berdebat alot dengan pasukan PBB, akhirnya Presiden Soeharto diizinkan untuk terbang ke Bosnia. Namun, sebelum itu Pak Harto dan seluruh anggota rombongan, yang jumlahnya 15 orang, harus menandatangani surat pernyataan risiko terlebih dahulu. Jika terjadi sesuatu kepada mereka, pasukan PBB tidak akan bertanggung jawab. Formulir itu sering disebut sebagai “kontrak mati”.
Ketika diberitahu soal formulir tersebut, Pak Harto segera menyuruh Kolonel Sjafrie Sjamsoeddin, Komandan Grup A Pasukan Pengaman Presiden, untuk segera mengambilnya.
“Saya tandatangani sekarang juga,” ujarnya, tanpa ragu sedikitpun.
Menurut kesaksian Sjafrie Sjamsuddin, keputusan Presiden ketika itu membuat seluruh anggota Paspampres panik. Apalagi ketika itu Pak Harto juga menolak mengenakan helm baja dan rompi antipeluru. Padahal, semua anggota rombongan lain mengenakan rompi antipeluru seberat 12 kg itu.
“Frie, rompi itu kamu cangking aja,” ujar Pak Harto, kepada Sjafrie.
Menurut Sjafrie, suasana ketika itu benar-benar menegangkan. Saat mendarat di Sarajevo, 13 Maret 1995, Sjafrie melihat senjata 12,7 mm yang biasa digunakan untuk menembak jatuh pesawat terbang terus bergerak mengikuti pesawat yang ditumpangi Presiden Soeharto. Pada saat itu, bandara Sarajevo dikuasai oleh kedua belah pihak yang terlibat perang. Tentara Serbia menguasai landasan dari ujung ke ujung, sementara tentara Bosnia menguasai kiri-kanan landasan.
Sesudah mendarat, Pak Harto hanya menggunakan jas dan kopiah saja. Pembawaannya sangat tenang. Sebagai pengawal presiden, Kolonel Sjafrie ketika itu memutuskan untuk ikut mengenakan kopiah yang dipinjamnya dari seorang wartawan. Maksudnya bukanlah untuk ikut-ikutan Pak Harto, melainkan untuk mengantisipasi adanya sniper. Jika hanya Pak Harto yang memakai kopiah, maka statusnya sebagai VVVIP akan mudah dikenali. Namun, karena ada lebih dari satu yang memakai kopiah, statusnya jadi agak dikaburkan.
Ketegangan masih terus berlanjut, karena untuk mencapai istana kepresidenan mereka harus melewati Sniper Valley, sebuah lembah yang menjadi medan pertarungan para penembak jitu Serbia dan Bosnia. Di sana, sudah tak terhitung banyaknya korban yang jatuh akibat tembakan para sniper.
Keluar dari bandara Pak Harto menaiki panser VAB yang disediakan oleh Pasukan PBB. Meskipun berada di dalam panser, bukan berarti mereka aman 100 persen dari ancaman peluru para penembak jitu. Tapi, menurut kesaksian Sjafrie, lagi-lagi Presiden Soeharto menunjukkan sikap yang tenang tanpa memperlihatkan mimik khawatir sedikitpun. Pembawaan Pak Harto yang tenang itu memang agak sedikit menaikkan moral pasukan pengawal presiden.
Sesampainya di Istana kepresidenan, Pak Harto disambut hangat oleh Presiden Bosnia Herzegovina Alija Izetbegovic. Dia benar-benar bahagia dikunjungi oleh Pak Harto, seorang pemimpin dunia Islam dan pemimpin Gerakan Non-Blok. Saya kira, sumber keharuan dan kebahagiaan Presiden Izetbegovic yang utama adalah karena tamunya itu tetap memaksa datang meskipun harus melewati marabahaya.
Jangan bayangkan keadaan di istana kepresidenan ketika itu aman dan nyaman. Keadaannya benar-benar sangat memprihatinkan. Tidak ada air mengalir. Sehingga, ketika ada rombongan tamu yang membutuhkan air bersih, harus diambil dahulu dari tempat lain dengan ember. Blokade yang dilakukan oleh pasukan Serbia benar-benar membuat Bosnia luluh lantak.
Dalam perjalanan pulang dari Bosnia, Sjafrie, yang di masa pemerintahan Presiden SBY diangkat menjadi Wakil Menteri Pertahanan, bertanya kepada Presiden Soeharto, kenapa dia mau datang susah-susah mengunjungi Bosnia dan Presiden Izetbegovic, yang bahkan tidak dijamin keamanannya oleh PBB.
Sebagaimana diceritaka
n kembali dalam biografi Dipo Alam, “Dalam Pusaran Adab Dipimpin dan Memimpin” (2021), ditanya begitu, Pak Harto hanya tersenyum.
“Kita ini kan tidak punya uang. Di satu sisi, kita adalah pemimpin Gerakan Non-Blok, tetapi saat ada negara anggota kesulitan, kita tidak punya uang untuk membantu mereka. Karena tidak bisa membantu dengan uang, setidaknya kita datang mengunjungi mereka untuk menunjukkan solidaritas,” ujar Pak Harto.
“Meskipun berisiko, yang penting rakyat Bosnia jadi senang, morilnya naik. Itu adalah modal penting untuk bangkit kembali,” imbuhnya.
Mendengar kesaksian dari Sjafrie tersebut, sebagai anak bangsa terus terang saya merasa sangat bangga. Dengan segala kekurangannya, Pak Harto ketika itu benar-benar menunjukkan kalibernya sebagai pemimpin. Kunjungan kenegaraan ke medan perang semacam itu kemudian akan tercatat dalam sejarah hanya pernah dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia. Dan presiden itu bernama Soeharto.
Kunjungan bersejarah Pak Harto tahun 1995 itu masih dikenangkan hingga hari ini. Apalagi, sebagai hadiah untuk kemerdekaan Bosnia Herzegovina, pemerintah dan rakyat Indonesia menghadiahi rakyat Bosnia sebuah masjid, yang kemudian dinamai Masjid Istiqlal Sarajevo. Masjid itu pertama kali dibangun pada masa pemerintahan Pak Harto dan diresmikan di masa pemerintahan Presiden Megawati. Meskipun nama resminya adalah Masjid Istiqlal Sarajevo, namun rakyat Bosnia kerap menyebut masjid itu sebagai Masjid Soeharto.
Jadi, kita tak harus menjadi negara kaya dulu, atau punya angkatan bersenjata paling ditakuti dunia terlebih dahulu untuk memainkan peranan penting dalam papan catur politik internasional. Para pemimpin kita di masa lalu sudah menunjukkannya.
Sayangnya, para pemimpin kita hari ini hanya punya kapasitas sebagai “dealer”, bukan “leader”.
Tarli Nugroho