Fikroh.com – Berikut ini kami suguhkan kepada pembaca sekalian tulisan singkat Seputar Hukum Khuthbah Jum’at serta tata cara pelaksanaannya sesuai dengan bimbingan Nabi kita Muhammad –shollallahu ‘alaihi wa sallam-.
Dalam artikel ini, sebagian masalah kami bahas agak panjang, dan sebagiannya lagi kami bahas dengan singkat. Hal ini kami lakukan menyesuaikan kondisi dan kebutuhan, serta mashlahatt yang ada.
Sebagian tulisan dalam artikel ini, pada asalnya merupakan tulisan kami yang telah kami susun jauh sebelumnya (artikel lama). Tapi karena ternyata ada hubungannya, maka kami gabung dalam materi pembahasan ini.
Mungkin saja masih ada beberapa masail yang luput dari pembahasan dalam tulisan ini. Oleh karenanya, penulis mengharapkan masukan kepada para pembaca sehingga nantinya bisa ditambahkan pada edisi revisi.
Semoga apa yang kami tulis ini menjadi manfaat bagi kaum muslimin serta menjadi amal jariyyah bagi kami kelak.
Pengertian Khuthbah Jum’at
Khuthbah secara bahasa telah dijelaskan oleh para ulama’ :
الخُطْبَةُ: هي بضم الخاء، وهي ما يُقال على المنبر، يُقال: خَطَبَ على المنبر خُطْبَة – بضم الخاء – وخَطَابة، وأما خِطْبَة – بكسر الخاء – فهي طلب نكاح المرأة
“Dengan didhommah di huruf Kho’ adalaha : apa yang diucapkan di atas mimbar. Oleh karena itu dinyatakan: Seorang khuthbah di atas mimbar dengan suatu khuthbah –dengan didhommah di huruf Kho’- dan khothobah. Adapun khithbah –dengan kasrah di huruf Kho’- adalah : tuntutan untuk menikahi perempuan”. [Simak : Tadzibul Lughoh karya Al-Imam Al-Azhari : 7/264 pokok bahasan khothoba].
Adapun secara istilah, Khuthbah adalah :
الكلام المؤلف المُتضمِّن وعظا وإبلاغا
“Suatu kalimat yang disusun yang mengandung nasihat dan penyampaian”. [Ta’rif Al-Faadzut Tanbih atau dikenal dengan nama Lughotul Fuqoha’ karya Imam An-Nawawi : 84-85].
Adapun khuthbah Jum’at, adalah: Penyandaran khutbah kepada waktu/harinya. Maksudnya khuthbah yang dilakukan di hari Jum’at sebagai rangkian ibadah sholat Jum’at. Oleh karena itu, pengertian khutbah Jum’at adalah: “Suatu kalimat yang disusun yang disampaikan kepada hadirin dengan tujuan untuk memberikan nasihat di hari Jum’at sebelum sholat Jum’at dimulai”.
Faidah :
Kata الجمعة bisa dibaca tiga bacaan : Al-Jumu’ah, Al-Jum’ah, dan Al-Juma’ah. Yang paling masyhur yang pertama sebagaimana dalam firman Alloh Ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
“Wahai orang-orang yang beriman ! apabila kalian diseru untuk sholat di hari Jumuah…” – Al-Ayat – (QS. Al-Jumu’ah : 9).
Hukum Khuthbah Jum’at
Para ulama’ telah berselisih dalam masalah hukum khuthbah Jum’at. Para ulama’ Hanafiyyah, mayoritas ulama’ Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa khuthbah Jum’at hukumnya wajib dan masuk syarat sahnya sholat Jum’at. Mereka berdalil dengan beberapa perkara, diantaranya :
[1]. Ijma’ ulama’ (konsensus) ulama’ akan wajibnya hal ini.Al-Imam Al-Mawardi –rohimahullah- berkata :
فهو مذهب الفقهاء كافة إلا الحسن البصري فإنه شذ عن الإجماع وقال: إنها ليست واجبة “
“Maka hal ini merupakan pendapat dari seluruh ahli fiqh kecuali Al-Hasan Al-Bashri. Sesungguhnya dia telah bersendiri dari Ijma’ dan berpendapat sesungguhnya ia (khuthbah Jum’at) tidak wajib”. [Al-Hawi Al-Kabir : 3/44].
Al-Imam Ibnu Qudamah –rohimahullah- berkata:
وجملة ذلك أن الخطبة شرط في الجمعة لا تصح بدونها. . . ولا نعلم فيه مخالفا إلا الحسن
“Secara garis besar, sesungguhnya Khuthbah merupakan syarat sahnya sholat Jum’at tidak sah sholat Jumat tanpanya….dan kami tidak mengetahui adanya ulama’ yang menyelisihi dalam masalah ini kecuali Al-Hasan”. [Al-Mughni: 3/170-171].
Telah disebutkan dalam dua ucapan di atas, bahwasanya Al-Hasan Al-Bashri –rohimahullah- telah menyelisihi madzhab Jumhur. Akan tetapi telah diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah –rohimahullah- dari Al-Hasan Al-Bashri beliau berkata :
الإمام إذا لم يخطب صلى أربعا
“Seorang Imam apabila tidak berkhuthbah, maka sholat empat rekaat”. [Al-Mushonnaf : 2/122-123 lewat perantara kitab “Minhatul Allam” : 4/25 dan sanadnya shohih].
Ucapan ini, sesuai dengan pendapat jumhur. Dan jika ucapan beliau ini lebih akhir dari apa yang dinukil oleh Al-Mawardi dan Ibnu Qudamah, maka berarti tidak ada lagi yang menyelisihi pendapat jumhur sehingga menjadi ijma’ (konsensus) yang pasti.
[2]. Firman Alloh Ta’ala :يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Wahai orang-orang yang beriman apabila kalian dipanggil untuk sholat di hari Jum’at, maka bersegeralah kepada dzikir kepada Alloh dan tinggalkan jual beli”. [QS. Al-Jumu’ah : 9].
Para ulama’ ahli tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dzikir dalam ayat di atas adalah sholat atau khuthbah atau kedua-duanya. Jika Alloh memerintahkan kepada kita untuk bersegera mendengarkan khuthbah dan juga sholat, dan ini memberikan makna wajib, maka tentunya khuthbah hukumnya juga wajib.
Al-Imam ‘Izzud Din bin Abdus Salam –rohimahullah- (wafat : 660 H) berkata :
{ذِكْرِ اللَّهِ} موعظة الخطبة أو الصلاة عند الجمهور أو الوقت
“Dzikrullah adalah nasihat khuthbah atau sholat menurut jumhur atau waktu”. [Tafsir ‘Izzud Din bin Abdus Salam: 3/137].
Al-Imam ‘Alaud Din Ali bin Muhammad –rohimahullah- (wafat : 714 H) berkata :
والمراد بقوله فاسعوا إلى ذكر الله الصلاة وقال سعيد بن المسيب هو موعظة الإمام
“Yang dimaksud dengan firman Alloh “Bersegeralah kepada dzikir kepada Alloh” artinya : sholat. Said bin Al-Musayyib berkata : nasihat imam (khuthbah)”. [Lubabut Ta’wil : 4/291].
Al-Imam Al-Baidhowi –rohimahullah- (wafat : 691 H) berkata :
ذكر ( الخطبة وقيل الصلاة والأمر بالسعي إليها يدل على وجوبها )
“Dzikir maksudnya khuthbah. Ada yang mengatakan sholat. Dan perintah untuk bersegera kepadanya menunjukkan akan wajibnya hal tersebut”. [Tafsir Baidhowi : 5/339].
Dan masih banyak lagi tafsir para ulama’ ahli tafsir dalam masalah ini.
Kemudian, Alloh juga memerintahkan dalam ayat di atas untuk meninggalkan jual beli ketika telah ada seruan (adzan) untuk sholat Jum’at. Hal ini hukumnya wajib. Adzan sholat Jum’at adalah seruan untuk dua hal : khuthbah dan sholat. Jika kita diwajibkan untuk segera meninggalkan jual
beli untuk mendengarkan khuthbah Jum’at, maka hal ini menunjukkan akan wajibnya khuthbah Jum’at.
«كان النبي – صلى الله عليه وسلم – يخطب قائما، ثم يقعد، ثم يقوم، كما تفعلون الآن»
“Nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- senantiasa berkuthbah berdiri, kemudian duduk, kemudian berdiri, sebagaimana yang kalian lakukan sekarang”. [HR. Al-Bukhari : 1/221 dan Muslim : 2/589].
Hadits di atas datang dengan lafadz (kaana) yang memberikan makna istimror (terus-menerus). Artinya nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- senantiasa melakukan sholat Jum’at di awali dengan khuthbah Jum’at. Belum pernah dinukil dalam satu riwayatpun –sejauh pengetahuan kami- bahwa beliau pernah sholat Jum’at tanpa didahului oleh khuthbah.
Seandainya khuthbah Jum’at hukumnya sunnah, sungguh akan dinukil dari beliau walaupun sekali meninggalkannya. Kemudian, terus-menerusnya nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- melakukan ini, merupakan bentuk penjelasan akan ayat yang memerintahkan sholat Jum’at yang telah disebutkan di atas.
[4]. Hadits nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- :صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat”. [HR. Al-Bukhari : 1/155 Malik bin Al-Huwairits –rodhiallohu ‘anhu- ].
Nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan kita untuk sholat sebagaimana beliau sholat. Sedangkan beliau belum pernah menunaikan sholat Jum’at dalam keadaan meninggalkan khuthbah.
Demikianlah beberapa dalil dari Jumhur ulama’. Sebenarnya masih ada dalil-dalil yang lain, akan tetapi kami cukupkan dengan yang masyhur dan kuat saja.
Adapun sebagian ulama’, diantaranya Imam Malik, Ibnu Hazm, Dawud Adz-Dzohiri, Al-Hasan Al-Bashri dan selain mereka, berpendapat bahwa khuthbah Jum’at hukumnya sunnah tidak sampai derajat wajib apalagi syarat karena tidak adanya dalil yang menunjukkan kepada wajib dan syarat. Semua dalil yang disebutkan jumhur telah dibantah oleh mereka.
Dan diantara argument pendapat ini, sesungguhnya para ulama’sepakat bahwa seorang yang sholat Jum’at, akan tetapi tidak menghadiri khuthbahnya, maka sholat Jum’atnya telah sah. Jika khuthbah Jum’at hukumnya syarat, tentu orang yang seperti ini tidak sah sholat Jum’atnya.
Dari pemaparan di atas, pendapat jumhur ulama’ lebih selamat dan menenangkan hati. Sedangkan pendapat Imam Malik bin Anas dan yang bersama beliau sangat ilmiyyah dan kuat. Wallohu a’lam bish showab.
Tata Cara Khuthbah Jum’at
Setelah memahami definisi khutbah dan hukumnya, berikut ini tata cara pelaksanaan khutbah jum’at sesuai sunnah Rasulullah SAW:
1. Khuthbah dalam keadaan berdiri
Disyari’atkan khuthbah dalam keadaan berdiri berdasarkan riwayat dari sahabat Ibnu Umar –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata :
«كان النبي – صلى الله عليه وسلم – يخطب قائما، ثم يقعد، ثم يقوم، كما تفعلون الآن»
“Nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- senantiasa berkuthbah berdiri, kemudian duduk, kemudian berdiri, sebagaimana yang kalian lakukan sekarang”. [HR. Al-Bukhari : 1/221 dan Muslim : 2/589].
Berkhuthbah dalam keadaan berdiri, hukumnya sunnah. Karena tidak ada dalil yang menunjukkan akan kewajibannya. Yang ada hanyalah riwayat yang berupa perbuatan nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam-. Dan perbuatan nabi dalam perkara ibadah menunjukkan kepada sunnah saja, tidak sampai derajat wajib.
2. Menyela khuthbah dengan duduk
Disyari’atkan dalam khuthbah Jum’at untuk disela dengan duduk. Dan hal ini hukumnya sunnah menurut jumhur (mayoritas ulama’). Dalilnya perbuatan nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana diriwayatkan dari sahabat Jabir bin Samuroh –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata :
كان رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يخطب قائما، ثم يجلس، ثم يقوم فيخطب قائما، فمن نبأك أنه كان يخطب جالسا فقد كذب، فقد صليتُ معه أكثر من ألفي صلاة
“Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- senantiasa berkhuthbah dalam keadaan berdiri, kemudian duduk, kemudian berdiri. Maka beliau khuthbah dalam keadaan berdiri. Barang siapa yang mengabarkan kepadamu sesungguhnya beliau khuthbah dalam keadaan duduk, sungguh dia telah berdusta. Sungguh aku telah sholat bersama beliau lebih dari dua ribu kali”. [HR. Muslim : 862].
Dengan kata lain, khuthbah dilakukan dua kali. Khuthbah pertama dan kemudian khuthbah yang kedua.
3. Membuka dengan pujian kepada Alloh
Disunnahkan untuk membuka khuthbah dengan pujian-pujian kepada Alloh. Sebagaimana telah diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata :
كانت خطبة النبي – صلى الله عليه وسلم – يوم الجمعة: يحمد الله ويثني عليه….
“Khuthbah Nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- di hari Jum’at : (diawali) dengan memuji Alloh dan menyanjungnya….”. [HR. Muslim : 2/592 no : 44 dan 867].
Adapun lafadz pujiannya, maka bebas karena tidak ketentuan pasti dari syari’at kita. Bisa dengan khuthbatul hajah ataupun pujian yang lain.
4. Khuthbah berisi wasiat kebaikan dan ketakwaan
Dianjurkan untuk mengisi khuthbah dengan wasiat ketakwaan dan kebaikan. Sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir bin Samurah –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata :
كان للنبي – صلى الله عليه وسلم – خطبتان، يجلس بينهما، يقرأ القرآن، ويذكِّر الناس
“Nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- berkhuthbah dua kali disela dengan duduk diantara keduanya, membaca Al-Qur’an dan mengingatkan manusia….”. [HR. Muslim : 862].
Al-Imam Ibnul Qoyyim –rohimahullah- berkata :
مقصود الخطبة هو الثناء على الله تعالى، وتمجيده بالشهادة له بالوحدانية، ولرسوله بالرسالة، وتذكير العباد بأيامه وتحذيرهم من بأسه ونقمته، ووصيتهم بما يقربهم إليه وإلى جناته، ونهيهم عمَّا يقربهم من سخطه وناره.
“Maksud daripada khuthbah Jum’at adalah pujian kepada Alloh Ta’ala, pengagungan kepada-Nya dengan persaksian keesaan untuk-Nya serta kerasulan utusan-Nya, mengingatkan para hamba terhadap hari-harinya, memperingatkan mereka dari siksa dan balasan-Nya, memberikan wasiat kepada mereka dengan berbagai perkara yang mendekatkan diri mereka kepada-Nya dan kepada Surga-Nya dan melarangan mereka dari berbagai perkara yang mendekatkan mereka dari kemarahan dan Neraka-Nya”. [Zaadul Ma’ad fi Hadyi Khoiril ‘Ibad : 1/386].
5. Khuthbah dengan penuh semangat dan mengeraskan suara.
Sebagaimana telah diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata :
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ، وَعَلَا صَوْتُهُ، وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ، حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ
“Bahwasanya; Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan khutbah, maka kedua matanya memerah, suaranya lantang, dan semangatnya berkobar-kobar bagaikan panglima perang yang sedang memberikan komando kepada bala tentaranya”. [HR. Muslim : 867].
Al-Imam An-Nawawi –rohimahullah- berkata :
يُسْتَدَلُّ بِهِ عَلَى أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِلْخَطِيبِ أَنْ يُفَخِّمَ أَمْرَ الْخُطْبَةِ وَيَرْفَعَ صَوْتَهُ وَيُجْزِلَ كَلَامَهُ وَيَكُونَ مُطَابِقًا لِلْفَصْلِ الَّذِي يَتَكَلَّمُ فِيهِ مِنْ تَرْغِيبٍ أَوْ تَرْهِيبٍ
“Hadits di atas dijadikan dalil sesungguhnya dianjurkan bagi khathib untuk mengagungkan perkara khuthbah, mengangkat suaranya, menfasihkan ucapannya, serta cocok dengan tema yang dia bicarakan di dalamnya berupa dorongan berbuat baik atau ancaman berbuat jelek”. [Syarah Shohih Muslim : 6/156].
6. Dianjurkan untuk memperpendek khuthbah
Diriwayatkan dari Abu Wail –rodhiallohu ‘anhu- berkata :
قَالَ أَبُو وَائِلٍ: خَطَبَنَا عَمَّارٌ، فَأَوْجَزَ وَأَبْلَغَ، فَلَمَّا نَزَلَ قُلْنَا: يَا أَبَا الْيَقْظَانِ لَقَدْ أَبْلَغْتَ وَأَوْجَزْتَ، فَلَوْ كُنْتَ تَنَفَّسْتَ فَقَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: «إِنَّ طُولَ صَلَاةِ الرَّجُلِ، وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ، مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ، فَأَطِيلُوا الصَّلَاةَ، وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ، وَإِنَّ مِنَ الْبَيَانِ سِحْرًا»
“Ammar pernah menyampaikan khutbah Jum’at kepada kami dengan bahasa yang singkat dan padat. Maka ketika ia turun dari mimbar, kami pun berkata kepadanya, “Wahai Abu Yaqzhan! Khutbah Anda begitu singkat dan padat. Alangkah baiknya kalau Anda panjangkan lagi.” Ammar berkata; Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya lamanya shalat dan pendeknya khutbah seseorang itu menunjukkan tentang pemahaman ia tentang agamanya. Karena itu, panjangkanlah shalat dan pendekkanlah khutbah, karena sebagian dari bayan (penjelasan) adalah sihir.” [HR. Muslim : 869].
Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam –rohimahullah- berkata :
استحباب قصر خطبة الجمعة وإيجازها، مع الإتيان بالمعنى المراد منها
“Dianjurkan untuk memperpendek khuthbah Jum’at dan meringkasnya diiringi dengan mendatangkan makna yang dimaksud darinya”. [At-Taudhih : 2/583].
Faidah :
Dalam sebuah hadits, kita diajnjurkan untuk memperpendek sholat jika mengimami manusia. akan tetapi di dalam hadits di atas, kita dianjurkan untuk memanjangkan sholat dan memperpendek khuthbah. Bagiamana mengkompromikan hal ini ?
Jawab : memperpendek sholat dalam sholat Jum’at disandarkan kepada khuthbanya, bukan secara umum. Maksudnya pendek di sini jika dibandingkan dengan khuthbanya. Atau dengan kata lain sholatnya lebih pendek dari khuthbahnya. [Syarah shohih Muslim]
7. Berkhuthbah dengan bertelekan tongkat atau busur
Telah diriwayatkan dari Al-Hakam bin Hazn –rodhiallohu ‘anhu- :
شَهِدْنَا فِيهَا الْجُمُعَةَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصًا، أَوْ قَوْسٍ
“Kami menyaksikan sholat Jum’at di hari-hari itu bersama Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam-. Maka beliau berdiri dalam keadaan bersandar kepada tongkat atau busur”. [HR. Abu Dawud : 1096 dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rohimahullah-].
Pengarang ‘Aunul Ma’bud berkata :
وَالْحَدِيثُ فِيهِ مَشْرُوعِيَّةُ الِاعْتِمَادِ عَلَى سَيْفٍ أَوْ عَصًا أَوْ قَوْسٍ حَالَ الْخُطْبَةِ
“Di dalam hadits tersebut terdapat dalil akan disyariatkannya bersandar kepada pedang, atau tongkat, atau busur ketika khuthbah”. [‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud : 3/313].
8. Khuthbah di atas mimbar
Telah diriwayatkan dari Ummu Hisyam binti Haritsah bin An-Nu’man –rodhiallohu ‘anha –berkata :
وَعَنُ أَمِّ هِشَامٍ بنْتِ حَارِثَةَ بْنِ النُّعْمَانِ -رَضِيَ اللهُ عَنْهَا- قَالَتْ: “مَا أَخَذْتُ: {ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ} إِلاَّ عَلَى لِسَانِ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَؤُهَا كُلَّ جُمُعَةٍ عَلَى المِنْبَرِ، إذَا خَطَبَ النَّاسَ”. روَاهُ مُسْلِمٌ
“Tidaklah aku mengambil Qoof Wal Qurnail majid kecuali atas lisan Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- yang beliau baca setiap jum’at di atas mimbar apabila beliau berkhuthbah kepada manusia”. [HR. Muslim : 873].
Dari hadits di atas menunjukkan, bahwa beliau-shollallahu ‘alaihi wa sallam- khuthbah Jum’at di atas mimbar. Sisi pendalilannya pada kalimat : “….setiap jum’at di atas mimbar apabila beliau berkhuthbah kepada manusia….”.
Ada dalil-dalil lain selain hadits di atas. Tapi satu hadits yang telah kami sebutkan insya Alloh telah menyukupi.
9. Berdo’a di akhir khuthbah dengan mengangkat jari telunjuk ke langit
Jumhur (mayoritas ulama’), mereka berpendapat bahwa hal ini merupakan perkara yang disyari’atkan. Bahkan sebagian imam telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama’) dalam masalah ini sebagaimana akan kami sebutkan-insya Alloh-. Mereka berdalil dengan hadits Bisyr bin Marwan yang diriwayatkan dari ‘Umaroh bin Ruaibah –rodhiallohu ‘anhu- :
رأى بشر بن مروان على المنبر رافعا يديه فقال قبح الله هاتين اليدين لقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم ما يزيد على أن يقول بيده هكذا وأشار بإصبعيه المسبحة
‘Umaroh bin Ruaibah –rodhiallhu ‘anhu-, sesungguhnya dia pernah melihat Bisyr bin Marwan di atas mimbar dalam keadaan mengangkat tangannya. Maka ‘Umaroh berkata : “Semoga Alloh menjelekkan kedua tangan ini. Sungguh aku telah melihat Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- tidak melebihi dari mengisyaratkan jari telunjuknya.” [HR. Muslim : 2/595].
Dalam riwayat Imam Ahmad :
على المنبر يدعو
“Berdo’a di atas mimbar.” [HR. Ahmad : 4/261 dan asy-syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata : Sanadnya shohih di atas syarat Muslim].
‘Umaroh bin Ruaibah adalah seorang sahabat. Hal ini dipastikan oleh Al-Imam Abu Nu’aim dalam kitab : “Ma’rifatush Shohabat” (4/207). Sehingga ma’na hadits yang telah beliau riwayatkan memiliki kedudukan marfu’ (dari ucapan atau perbuatan nabi-shollalalhu ‘alaih wa sallam-).
Dengan dasar hadits di atas, jumhur ulama’ berpendapat akan dianjurkannya berdo’a bagi khothib di akhir khutbah jum’atnya. Bahkan Al-Imam Al-Mardawi –rohimahullah- (wafat tahun : 885 H ) menyatakan : “Tidak ada pertentangan di kalangan para ulama’ dalam (dianjurkannya ) masalah ini.” [Al-Inshof : 2/397].
Jika demikian, beliau memandang bahwa masalah ini telah terjadi ijma’ (kesepakatan) para ulama’. Dan ijma’, merupakan hujjah dalam syari’at agama kita.
Sisi pendalilan dari hadits di atas, sahabat ‘Umaroh bin Ruaibah –rodhiallohu ‘anhu – tidak mengingkari perbuatan Bisyr bin Marwan yang berdo’a dalam khuthbah Jum’atnya. Bahkan beliau menetapkannya.
Hal ini berdasarkan ucapan beliau (‘Umaroh bin Ruaibah) : “Sungguh aku telah melihat Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- tidak melebih
i dari mengisyaratkan jari telunjuknya.”
Dengan ucapan ini, menunjukkan bahwa beliau menetapkan sesungguhnya Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- juga berdo’a dalam khuthbah Jum’atnya. Akan tetapi beliau –shollallahu ‘alaih wa sallam- tidak mengangkat kedua tangannya. Hanya saja mengisyaratkan dengan jari telunjuknya ke atas.
Bahkan dalam riwayat Al-Imam Ahmad –rohimahullah-sahabat ‘Umaroh bin Robi’ah secara tegas menyatakan bahwa Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- : “Berdo’a di atas mimbar.” (Lihat jalan periwayatan yang kedua di atas).
Jadi yang dicela dan diingkari oleh sahabat ‘Umaroh hanyalan pada tata cara berdo’anya yang mengangkat kedua tangan. Dimana yang sesuai sunnah adalah dengan mengisyaratkan jari telunjuk ke langit. Beliau sama sekali tidak mengingkari asal perbuatan do’a bahkan menetapkannya.
Al-Imam An-Nawawi –rohimahullah- berkata –ketika mengomentari hadits ‘Umaroh di atas – : “Dalam hadits ini terdapat faidah, sesungguhnya yang disunahkan itu hendaknya seorang tidak mengangkat tangannya (ketika berdo’a) dalam kuthbah. Ini merupakan pendapat Malik dan para sahabat kami serta selain mereka.” (Syarah Shohih Muslim : 6/162 ).
10. Berkhuthbah dengan bahasa Arab
Dianjurkan untuk berkhuthbah dengan bahasa Arab jika khothib mampu melakukanya serta hadirin juga bisa memahaminya dengan baik. Apabila salah satu dari dua hal ini tidak terpenuhi, maka hendaknya menggunakan bahasa yang mampu dilakukan dan bisa dipahami oleh hadirin dengan baik.
Khuthbah Jum’at dengan bahasa Arab bukan termasuk syarat sahnya khutbah Jum’at. Akan tetapi sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya. Hal ini berdasarkan hadits “…dan beliau memberi peringatan kepada manusia”. memberi peringatan menyesuaikan kondisi jama’ah sholat. Jika kondisi tidak memahami bahasa Arab, maka sesuai dengan bahasa yang mereka pahami. Agar apa yang disampaikan lebih mengena dan hadirin mampu mengambil faidah dengan baik. Karena jika dipaksakan dengan bahasa Arab, maka tujuan memberi nasihat itu sendiri tidak terwujud.
Al-Majma’ Al-Fiqh Al-Islami telah berfatwa:
أنَّ الرأي الأعدل الذي يختاره هو أنَّ اللغة العربية في أداء خطبة الجمعة والعيدين -في غير البلاد الناطقة بالعربية- ليست شرطاً لصحتها
“Sesungguhnya pendapat yang paling pertengahan yang dipilih, sesungguhnya bahasa Arab dalam menyampaikan khuthbah Jum’at dan dua hari raya – di negara yang tidak berbahasa Arab- bukanlah termasuk syarat sahnya khuthbah”. [Dinukil dengan perantara kitab “Taudhih Ahkam” : 2/581].
11. Mengucapkan astaghfirullah lii wa lakum
Dianjurkan bagi khothib untuk mengucapkan ASTAGHFIRULLAH LII WA LAKUM… (aku minta ampun kepada Alloh untukku dan untuk kalian…). Hal ini berdasarkan sebuah riwayat dari sahabat Abdullah bin Umar rodhiallahu ‘anhu- beliau berkata :
طَافَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَاحِلَتِهِ الْقَصْوَاءِ يَوْمَ الْفَتْحِ، وَاسْتَلَمَ الرُّكْنَ بِمِحْجَنِهِ وَمَا وَجَدَ لَهَا مُنَاخًا فِي الْمَسْجِدِ حَتَّى أُخْرِجَتْ إِلَى بَطْنِ الْوَادِي، فَأُنِيخَتْ، ثُمَّ حَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: “أَمَّا بَعْدُ أَيُّهَا النَّاسُ، فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِّيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ، يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّمَا النَّاسُ رَجُلَانِ: بَرٌّ تَقِيٌّ كَرِيمٌ عَلَى رَبِّهِ، وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ هَيِّنٌ عَلَى رَبِّهِ” ثم تلا: {يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا} [الحجرات: 13] . حَتَّى قَرَأَ الْآيَةَ، ثُمَّ قَالَ: “أَقُولُ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ لِي ولكم”
“Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam thowaf (mengelilingi Ka’bah) di atas ontanya yang bernama Al-Qoshwa’ di hari terbukanya kota Mekkah. Beliau mengistilami rukun Yamani (mengusap dan menciumnya ) dengan tongkatnya. Beliau tidak mendapatkan tempat menderum bagi ontanya di masjid sehingga dikeluarkan ke tengah-tengah lembah lalu diderumkan di sana. Kemudian beliau memuji Alloh dan menyanjungnya lalu berkata : “Amma ba’du, wahai sekalian manusia ! sesungguhnya Alloh telah menghilangkan kesombongan jahiliyyah dari kalian. Wahai sekalian manusia ! sesungguhnya manusia itu ada dua : (pertama ) baik, bertakwa dan dermawan kepada Rabb-Nya, ( kedua ) jelek, sengsara dan rendah di hadapan Rabbnya. Kemudian beliau membaca ayat : “Wahai sekalian manusia ! sesungguhnya kami ciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan kami menjadikan kallian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal”. –sehingga beliau membaca ayat sampai sempurna-. Kemudian beliau berkata : Aku katakan ini dan aku minta ampun kepada Alloh untukku dan untuk kalian”. [ Shohih Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan fi Taqriibi Shohih Ibnu Hibban : 3828 dan dishohihkan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan Asy-Syaikh Al-Albani rohiamhumallohu].
12. Dibolehkan untuk membaca ayat INNALLOHA WA MALAIKATAHU
Dibolehkan untuk membacakan firman Alloh Ta’ala dalam surat Al-Ahzab : 56 yang berbunyi :
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”.
Hal ini berdasarkan riwayat dari Jabir bin Samurah –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata :
كان للنبي – صلى الله عليه وسلم – خطبتان، يجلس بينهما، يقرأ القرآن، ويذكِّر الناس
“Nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- berkhuthbah dua kali disela dengan duduk diantara keduanya, membaca Al-Qur’an dan mengingatkan manusia….”. [HR. Muslim : 862].
Sisi pendalilan dari hadits di atas pada kalimat “membaca Al-Qur’an dan mengingatkan manusia”. Kalimat ini sifatnya umum, masuk di dalamnya firman Alloh dalam surat Al-Ahzab : 56. Karena ayat ini termasuk bagian dari Al-Qur’an dan berisi tadzkir (peringatan) untuk manusia.
Kesalahan-kesalahan Seputar Khuthbah Jum’at
Ada beberapa kesalahan yang biasa terjadi dalam khuthbah Jum’at, diantaranya :
[1]. Terlalu memanjangkan khuthbah [2]. Mengharuskan khuthbah dengan bahasa Arab sementara hadirin tidak punya kemampuan untuk memahaminya. [3]. Mengangkat kedua tangan ketika berdo’a di akhir khuthbah. [4]. Materi khuthbah tidak berisi nasihat tentang kebaikan dan takwa kepada Alloh. [5]. Banyak bergerak ketika khuthbah. [6]. Berdzikir dengan dzikir-dzikir tertentu ketika duduk di antara dua khuthbah. [7]. Melucu dan membuat orang tertawa ketika khuthbahDemikian tulisan singkat kami dalam hukum-hukum seputar khuthbah Jum’at. Semoga bermanfaat untuk kita semua sebagai pedoman untuk mengamalkannya sesuai dengan bimbingan Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam-.
سبحانك اللهم و بحمدك أشهد أن
لا إله إلا أنت أستغفرك و أتوب إليك
Catatan : Artikel ini merupakan materi ceramah yang pernah kami sampaikan dalam suatu kesempatan. Untuk mengambil faidah yang lebih sempurna, silahkan dilengkapi dengan mendengarkan audio rekamannya. Karena banyak faidah-faidah yang tidak tertulis di sini yang kami sampaikan secara lisan. Barokallohu fiikum.
Oleh: Ustadz Abdullah Al Jirani