Panduan Lengkap Tatacara Shalat Gerhana Bulan dan Matahari

Panduan Lengkap Tatacara Shalat Gerhana Bulan

Fikroh.com – Diantara tanda-tanda kekuasaan Alloh yang bersifat kauniyah adalah adanya fenomena gerhana, baik gerhana bulan maupun matahari baik total maupun sebagian. Itu semua merupakan bukti kekuasaan Alloh bagi orang-orang yang beriman. Oleh karena itu syariat agama menganjurkan saat terjadi gerhana untuk mengerjakan shalat Sunnah kusuf.

Fenomena alam ini juga membawa pesan penting bagi kehidupan manusia agar selalu waspada akan datangnya musibah kapan saja dan dimana saja.

Mengingat fenomena alam ini terjadi sewaktu-waktu dan tidak dapat diprediksi dengan pasti kapan terjadi, maka kita terkadang lupa dengan tata cara shalat kusuf yang benar sesuai sunnah. Berikut ini uraian lengkap mengenai tata cara shalat kusuf (gerhana) yang bersumber dari dalil-dalil shahih dan penjelasan para ulama.

Definisi Shalat Gerhana (Kusuf)

“Kusuf” adalah: hilangnya seluruh cahaya atau salah satu dari dua cahaya (matahari serta bulan) atau sebagiannya dan berubah warnanya menjadi hitam. Sedangkan Khusuf adalah sinonim, ada juga yang mengatakan bahwa Kusuf untuk matahari dan Khusuf untuk bulan, ini yang paling popular dalam bahasa arab.

Shalat Kusuf adalah: shalat yang dilakukan dengan tata cara tertentu saat hilangnya salah satu dari dua cahaya matahari atau bulan, ataupun hilangnya sebagian cahaya dari salah satu keduanya.

Hukum Shalat Gerhana Bulan 

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat dalam dua kelompok:

Pertama: Sunnah Muakkad: Dilakukan secara berjamaah sebagaimana shalat gerhana matahari, pendapat ini merupakan pendapat madzhab Syafi’i, Ahmad, Daud, Ibnu Hazm, begitu pula ‘Atha’, Hasan, An-Nakh’i, dan Ishaq yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas.

Dalil Pendapat ini:

Hadist riwayat al-Mughirah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ , فَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُمَا فَادْعُوا اللهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ …

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari kebesaran Allah, tidak akan terjadi gerhana bulan ataupun matahari karena seseorang telah meninggal atau hidup, maka jika kalian melihat keduanya (gerhana matahari atau gerhana bulan) berdoalah kepada Allah dan dirikanlah shalat hingga –gerhana– selesai.”

Demikian juga hadist lain serupa yang diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha, Ibnu umar, Ibnu Abbas dan Abu Bakrah radhiallahu ‘anhum.

Hadits yang diriwayatkan,

أنَّ النَّبِيَّ -صلى الله عليه وسلم- صَلَّي لِكُسُوْفِ القَمَرِ

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendirikan shalat ketika terjadi gerhana bulan.”

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma :

أَنَهُ صَلىَّ بِِأَهْلِ البَصْرَةِ فِي خُسُوْفِ القَمَرِ رَكْعَتَيْنِ وَقَالَ : إِنَّمَا صَلَّيْتُ لِأنِّي رَأيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي

“Bahwa ia shalat gerhana bulan bersama penduduk Bashrah sebanyak dua rakaat. Dan ia berkata, “Sesungguhnya aku mengerjakan shalat gerhana bulan karena aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakannya.”

Kedua: Shalat gerhana tidak dilakukan secara berjamaah, dan hukumnya sunnah sebagaimana shalat-shalat nawafil lainnya tanpa ada tambahan ruku’. Pendapat ini merupakan madzhab Abu Hanifah dan Malik. Mereka berkata, Hal ini dikarenakan; pada umumnya terdapat kesulitan saat malam hari, berbeda dengan siang hari. Juga karena tidak adanya hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menerangkan bahwa beliau melakukannya secara berjamaah, padahal gerhana bulan lebih banyak terjadi daripada gerhana matahari.

Penulis berkata: Bahwa pendapat pertama lebih kuat, karena adanya “perintah” dari Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk melakukan shalat ketika terjadi gerhana bulan ataupun matahari tanpa ada perbedaan antara keduanya.

Waktu Shalat Gerhana

Waktu shalat gerhana matahari: Dari mulai terjadinya gerhana sampai hilangnya. Sebagaimana hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebelumnya,

إِذَا رَأَيْتُمُوْهُمَا فَادْعُوا اللهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ

“Maka jika kalian melihat keduanya (gerhana matahari atau bulan) berdoalah kepada Allah dan dirikanlah shalat hingga –gerhana– selesai.”

Dalam hadits ini diterangkan bahwa hilangnya gerhana adalah batas akhir waktu shalat, karena sebab disyariatkannya shalat gerhana adalah memohon kepada Allah Subhanahu wata’ala untuk mengembalikan nikmat cahaya, maka apabila permohonan telah tercapai, tercapai juga tujuan dari shalat tersebut.

Akhir Waktu Shalat Gerhana

Shalat Gerhana Matahari berakhir dengan dua sebab:

Pertama: Hilangnya gerhana secara keseluruhan (matahari kembali normal sempurna), adapun jika matahari baru tampak sebagiannya saja, maka shalat gerhana masih bisa dilakukan karena gerhana masih tersisa. Seperti jika gerhana matahari yang terjadi adalah bukan gerhana matahari total yaitu hanya sebagian saja.

Kedua: Terbenamnya matahari.

Sedangkan Shalat Gerhana Bulan berakhir dengan dua sebab:

1. Hilangnya gerhana secara keseluruhan (bulan kembali normal sempurna).

2. Terbitnya matahari. Ada juga yang mengatakan walaupun bulan tidak terlihat karena matahari terbit namun gerhana bulan masih terjadi. Sedangkan jika gerhana bulan terhalangi awan dan ragu apakah gerhana bulan telah selesai, maka hendaknya melakukan shalat. Karena asal hukumnya masih terjadinya gerhana bulan.

Catatan Tambahan: Shalat Gerhana dilakukan pada waktu kapan saja sesuai dengan gerhana itu terjadi, walaupun dalam waktu yang dilarang untuk shalat. Ini pendapat Madzhab Syafi’i.

Amalan-Amalan Sunnah (Yang Dianjurkan) Saat Terjadi Gerhana

Memperbanyak dzikir, Istighfar, Takbir, sedekah dan seluruh amalan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wata’ala.

Dalam hadist riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ ، فَادْعُوا اللَّهَ ، وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

“Dan jika kalian melihat gerhana (bulan atau matahari) maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah, dan bersedekahlah.”

Dan diriwayatkan dari Asma’ radhiallahu ‘anha ia berkata,

لَقَدْ أمَرَ النَّبِيُّ -صلى الله عليه وسلم- بِالعِتَاقَةِ فِي كُسُوْفِ الشَّمْسِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk memerdekakan hamba sahaya saat terjadi gerhana matahari.” 

Berangkat ke masjid untuk melaksanakan shalat gerhana secara berjamaah

Sebagaimana dalam hadist riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha:

ثُمَّ رَكِبَ رَسُولُ اللَّهِ –صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ذَاتَ غَدَاةٍ مَرْكَبًا فَكَسَفَتِ الشَّمْسُ، فَرَجَعَ ضُحًى فَمَرَّ رَسُولُ اللَّهِ –صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- بَيْنَ ظَهْرَانَىِ الْحُجَرِ، ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى

“Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengendarai kendaraan di pagi hari, lalu terjadilah gerhana matahari, maka beliau kembali pada waktu dhuha, dan Rasulullah berjalan di antara kamar-kamar para ummul mukminin (istri Rasulullah) kemudian beliau berdiri menunaikan shalat –gerhana matahari–.”

Sedangkan dalam riwayat Imam Muslim mengenai hadits Aisyah radhiallahu ‘anha dengan redaksi:

فَخَرَجْتُ فِي نِسْوَةٍ بَيْنَ ظَهْرَانَيِ الْحِجْرِ فِي الْمَسْجِدِ ، فَأَتَى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ مَرْكَبِهِ حتي أتي إِلَى مُصَلَّاهُ الَّذِي كَانَ يصلي فِيهِ

“Maka aku bersama kaum wanita keluar menuju masjid di antara kamar-kamar kami. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kendaraannya, lalu menuju tempat ia biasa shalat.”

Al-Ha
fidz Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari (3/633) mengatakan, “Kepergian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut dikarenakan wafatnya putra beliau Ibrahim. Maka saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kembali, beliau pun lalu menuju ke masjid dan tidak melaksanakan shalat gerhana dengan terang-terangan. Dan sunnah yang shahih menyatakan bahwa shalat gerhana itu dilakukan di dalam masjid. Karena jika tidak demikian, maka shalat gerhana yang dilakukan di padang pasir lebih utama, sebab saat di padang pasirlah –Rasulullah– melihat gerhana.”

Kaum wanita juga dianjurkan ikut shalat gerhana berjamaah di masjid

Sebagaimana hadits riwayat Asma binti Abu Bakar radhiallahu ‘anha :

عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ -رضي الله عنهما- أَنَّهَا قَالَتْ: “أَتَيْتُ عَائِشَةَ -رضي الله عنها- زَوْجَ النَّبِيِّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- حِينَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ -فَإِذَا النَّاسُ قِيَامٌ يُصَلُّونَ، وَإِذَا هِيَ قَائِمَةٌ تُصَلِّي”

“Aku datang kepada Aisyah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam saat terjadi gerhana matahari, maka aku melihat orang-orang berdiri menunaikan shalat gerhana, begitu pun aku melihat Aisyah berdiri menunaikannya.”

Juga disebutkan sebelumnya hadits riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha ia berkata:

فَخَرَجْتُ فِي نِسْوَةٍ بَيْنَ ظَهْرَانَيِ الْحِجْرِ فِي الْمَسْجِد

“aku bersama kaum wanita keluar menuju masjid di antara kamar-kamar kami”

Namun hal ini dikecualikan jika takut terjadi fitnah, maka sebaiknya bagi para wanita untuk melakukan shalat gerhana di rumah masing-masing secara sendiri-sendiri.

Mengumandangkan lafadz “ash-shalatu jami’ah” untuk memanggil jamaah shalat berkumpul di masjid, tanpa disertai dengan adzan maupun iqamah.

Berdasarkan hadist Abdullah bin Amru bin ‘Ash radhiallahu ‘anhuma ia berkata:

لَمَّا كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُودِيَ إِنَّ الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ

“Ketika terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam maka dikumandangkan seruan ‘Ash-shalaatu jaami’ah’”

Dan ulama sepakat bahwa shalat gerhana tidak didahului oleh adzan maupun iqamah.

Khutbah Setelah Shalat Gerhana

Setelah shalat gerhana selesai dilaksanakan maka disunnahkan melakukan khutbah sebagaimana khutbah pada shalat ied. Berdasarkan hadist Aisyah radhiallahu ‘anhu.

إن النبي -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- لَمَّا فَرَغَ مِنَ الصَّلاَةِ قَامَ و خَطبَ الناسَ فَحَمِدَ الله وأثنَى عَليهِ ثم قالَ: “إن الشَّمس و القَمَر آيتانِ مِنْ آيَاتِ الله عز و جل لاَ تنْخَسِفَانِ لِمَوتِ أحد. وَلاَ لِحَيَاتِهِ. فَإذَا رَأيتمْ ذلك فَادعُوا الله وَكبروا وَصَلُّوا وَتَصَدَّ قوا”

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam apabila selesai menunaikan shalat gerhana beliau berdiri, kemudian menyampaikan khutbah kepada jamaah. Beliau bertahmid dan memuji nama Allah, kemudian bersabda, “Sesungguhnya gerhana matahari dan gerhana bulan tidak terjadi karena kematian atau kelahiran seorang manusia. Maka jika kalian melihat gerhana, berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah, dan bersedekahlah” 

Ini merupakan pendapat dalam madzhab Syafi’i, Ishaq, dan mayoritas ahli hadits.

Sedangkan menurut Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad, Tidak ada khutbah untuk shalat gerhana. Dan sebagian dari mereka berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bermaksud untuk mengkhususkan khutbah setelah shalat gerhana, tidak lain khutbah tersebut beliau lakukan untuk menjelaskan kepada yang beranggapan bahwa gerhana terjadi karena ada sebagian orang yang meninggal.

Namun pendapat ini dibantah, bahwa di dalam hadits shahih terdapat keterangan yang jelas bahwa ada khutbah –setelah shalat gerhana– yang disyaratkan di dalamnya untuk bertahmid, memuji Allah, nasehat, dan hal lain yang telah disebutkan dalam hadits tersebut. Dan khutbah ini tidak hanya sekedar untuk menerangkan tentang sebab terjadinya gerhana. Selain itu, dasar dari hukum adalah mengikuti apa yang diamalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidaklah dikhususkan dalil umum kecuali dengan dalil.

Tata Cara Shalat Gerhana

Tidak ada perbedaan antara ulama bahwa shalat gerhana dikerjakan dua rakaat, namun mereka berbeda pendapat dalam tata cara mengerjakannya dalam dua pendapat.

Pertama: Shalat gerhana dilakukan dua rakaat, dalam setiap rakaat terdiri dari dua kali berdiri, dua kali bacaan, dua kali ruku’, dan dua kali sujud. Ini pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad berdasarkan dalil berikut:

Hadist riwayat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma ia berkata:

كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-، فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- والناس معه فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلاً نَحْوًا مِنْ سُورَةِ الْبَقَرَةِ، ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً، ثم قَامَ قِيَامًا طَوِيلاً وَهْوَ دُونَ الْقِيَامِ الأَوَّلِ، ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً وَهْوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأَوَّلِ

“Gerhana matahari terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian beliau shalat gerhana dan orang-orang bersama beliau. Rasulullah berdiri cukup lama seukuran membaca surat al-Baqarah, kemudian beliau ruku’ cukup lama, kemudian beliau mengangkat badan dan berdiri cukup lama dengan –tenggang waktu– lebih ringan daripada berdiri yang pertama, kemudian beliau ruku’ cukup lama dengan –tenggang waktu– lebih ringan daripada ruku’ yang pertama).

Hadist riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صلي يَوْمَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ فقَامَ فَكَبَّرَ فَقَرَأَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً ، ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ :”سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ”. وَقَامَ كَمَا هُوَ ثم قَرَأَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً وَهِىَ أَدْنَى مِنَ الْقِرَاءَةِ الأُولَى ، ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً وَهُوَ أَدْنَى مِنَ الرُّكُعة الأولي ، ثُمَّ سَجَدَ سُجُودًا طَوِيلاً ، ثُمَّ فَعَلَ فِى الرَّكْعَةِ الأُخْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ، ثُمَّ سَلَّمَ

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menunaikan shalat saat terjadi gerhana matahari. Maka beliau pun berdiri dan bertakbir, lalu membaca surat yang panjang, lalu ruku’ dengan ruku’ yang lama, lalu bangkit dari ruku’ seraya mengucapkan “Sami’allahu Liman Hamidah” dan beliau pun berdiri seperti sebelumnya, lalu beliau membaca surat yang panjang namun lebih pendek daripada bacaan pertama, lalu beliau ruku’ dengan ruku’ yang lama namun lebih ringan dari ruku’ pertama, kemudian beliau sujud dengan sujud yang
lama, lalu beliau mengerjakan hal serupa dalam rakaat kedua, baru setelah itu beliau salam.”

Hadist Riwayat Jabir radhiallahu ‘anhu ia berkata:

كَسَفَتِ الشمس على عَهد رسول الله- صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – في يَوم شَديد الحَرِّ، فَصلى بأصْحَابه، فأطَالً القيام حتى جَعلُوا يَخِرونَ، ثم رَكًعَ فأطَالَ، ثم رَفَعَ فَأطَالً، ثم ركًعَ فأطَالَ، ثم سَجَدَ سجدتين ، ثم قَامَ فَصَنَعَ نَحواً من ذلك، فكانت أرْبَعُ رَكَعَات وَأرْبَعُ سَجَدَات

“Terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam saat itu suhu sangat panas, maka beliau shalat bersama para sahabat, kemudian beliau memperlama berdirinya sehingga mereka –seakan– jatuh. Lalu beliau ruku’ dan memperlama ruku’, kemudian beliau bengkit dari ruku’ dan memperlama berdiri, kemudian beliau sujud dua kali, lalu beliau berdiri (untuk rakaat kedua) dan mengerjakan seperti itu (pada rakaat pertama). Dengan demikian –shalat gerhana itu– empat kali ruku’ dan empat kali sujud.”

Kedua: Shalat gerhana dilakukan dua rakaat. Pada setiap rakaat satu kali berdiri, satu kali ruku’, dan dua kali sujud seperti halnya shalat sunnah lainnya. Pendapat ini merupakanmadzhab Abu Hanifah. Sedangkan Ibnu Hazm memberikan kebebasan untuk menggunakan cara shalat gerhana yang manapun. Sedangkan landasan Abu Hanifah serta ulama yang sependapat dengannya, melandaskan pendapat mereka dengan dalil sebagai berikut;

Hadist riwayat Abu Bakrah ia berkata,

خَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ يَجُرُّ رِدَاءَهُ، حَتَّى انْتَهَى إِلَى المَسْجِدِ وَثَابَ النَّاسُ إِلَيْهِ، فَصَلَّى بِهِمْ رَكْعَتَيْن

“Suatu saat terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu Rasulullah keluar dengan menyeret selendang beliau hingga sampai di masjid, dan orang-orang pun berdatangan kesana, kemudian Rasulullah melaksanakan shalat dua rakaat bersama mereka.”

Mereka mengatakan, bahwa makna shalat –sunnah– pada dasarnya diartikan dengan tata-cara yang sudah diketahui.

Sedangkan dalam riwayat An-Nasa`i dikatakan,

فَصَلىَّ رَكْعَتَيْنِ كَمَا يُصَلُّوْنَ

“Lalu Rasulullah shalat dua rakaat yang kemudian mereka ikuti.”

Hadist Nu’man bin Basyir bahwa ia berkata,

كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ النَبِي -صلى الله عليه وسلم- فَجَعَلَ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ وَيَسْألُ عَنْهَا حَتَّى انْجَلَتِ

“Gerhana matahari terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau shalat dua rakaat, dua rakaat dan berdoa hingga gerhana sirna.”

Ibnu Hazm berkata: Dan lafadz ini (pengulangan kata “dua rakaat”) bermakna sesuai dengan apa yang telah kita sebutkan.

Tata Cara Lainnya

Telah diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau melakukan shalat gerhana dengan tata cara yang lain, diantaranya:

  • Dalam setiap rakaat tiga ruku
  • Dalam setiap rakaat empat ruku

Ibnu Qayyim berkata: “Namun para pembesar ulama tidak membenarkan tata-cara ini, mereka di antaranya Imam Ahmad, Imam Al-Bukhari, serta Imam Syafi’i. Dan menurut mereka tata-cara seperti ini keliru…”

Penulis Berkata: Tata cara shalat gerhana yang paling benar adalah sesuai dengan pendapat mayoritas ulama yaitu pada setiap rakaat ada dua kali ruku’. Karena hadits-hadits shahih yang menerangkan tentang tata cara shalat gerhana secara eksplisit mengungkapkan cara seperti ini. Sedangkan dalil Abu Hanifah dan ulama-ulama yang sependapat dengannya, hadits tersebut menyebutkan bahwa shalat gerhana dikerjakan dengan dua rakaat, maka hadits tersebut sesungguhnya bersifat mutlak (umum) dan telah diperinci (dikhususkan) dengan hadits-hadits madzhab pertama.

Adapun hadist Nu’man bin Basyir yang mengatakan bahwa shalat itu dikerjakan dua rakaat dua rakaat, maka hal tersebut telah ditanggapi oleh Hafidz Ibnu Hajar dalam bukunya Fathul-Bari jilid ke-3, bahwa ia berkata, “Kalaupun hadist ini shahih, maka kemungkinan makna dari sabda Rasulullah –dua rakaat– adalah “Ruku’aini” atau dua kali ruku… Sedangkan sabda Rasulullah (Wa Yas-alu ‘anha) kemungkinan permohonannya itu dilakukan dengan isyarat, maka tidak berarti hal tersebut diulangi.”

Penulis Berkata: Telah dijelaskan sebelumnya bahwa hadits riwayat Nu’man bin Basyir tersebut lemah (dha’if), maka tidak perlu untuk dita’wilkan.

Adapun mengenai riwayat yang mengatakan adanya penambahan dari dua kali ruku’ dalam satu rakaat, Syaikul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan (18/17-18), “Para ulama yang kompeten telah berpendapat bahwa riwayat ini dha’if, mereka mengatakan, Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukan shalat gerhana kecuali satu kali saja yaitu ketika putra beliau Ibrahim wafat, dan sebagaimana diketahui bahwa Ibrahim tidak wafat dua kali, begitu juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mempunyai dua Ibrahim, dan diriwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau melaksanakan shalat gerhana pada saat itu dengan dua kali ruku’ pada setiap rakaatnya”

Syaikh al-Albani dalam bukunya Irwaul-Ghalil (3/132) mengatakan, “Intisari dari tata-cara shalat gerhana yang benar sebagaimana telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu dua rakaat, pada setiap rakaat dua kali ruku’. Hal ini telah diungkapkan banyak dari sahabat dalam kitab, jalur, dan riwayat yang paling shahih. Adapun selain itu bisa jadi dha’if atau langka (tidak pada tempatnya) serta tidak bisa dijadikan dalil.”

Ringkasan Tata-Cara Shalat Gerhana

Tata cara yang paling sempurna sebagai berikut:

  1. Melakukan takbir, iftitah, ta’awudz, membaca Al-Fatihah, kemudian membaca surat yang panjangnya seperti al-Baqarah.
  2. Setelah itu ruku’ dan memperpanjang ruku’.
  3. Berdiri dari ruku kemudian mengucapkan, (Sami’allahu Liman Hamidah, Rabbana Wa Lakal-Hamdu)
  4. Setelah itu tidak sujud, namun teruskan dalam keadaan berdiri dengan membaca al-Fatihah dan surat yang berbeda dari surat pada rakaat pertama (lebih ringan).
  5. Kemudian ruku’ lagi dengan ruku’ yang panjang namun lebih ringan dari ruku’ yang pertama.
  6. Berdiri dari ruku’ kemudian mengucapkan: (Sami’allahu Liman Hamidah, Rabbana Wa Lakal-Hamdu)
  7. Setelah itu sujud, kemudian duduk diantara dua sujud, lalu sujud lagi.
  8. Berdiri untuk rakaat yang ke dua, lalu mengerjakan seperti rakaat pertama tadi.

Apakah Bacaan Shalat Gerhana Dikeraskan Atau Dipelankan?

Sunnahnya shalat ini dikerjakakan dengan mengeraskan suara, ini pendapat Ahmad, Ishaq, dan dua sahabat (murid) Abu Hanifah (Yaitu Abu Yusuf dan Muhammad Hasan). Namun pendapat ini bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama.

Adapun dalil para ulama yang mengatakan shalat gerhana dilakukan dengan mengeraskan suara adalah:

Hadist riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha :

جَهَرَ النَّبِيُّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فِي صَلاَةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ، فَإِذَا فَرَغَ مِنْ قِرَاءَتِهِ كَبَّرَ فَرَكَعَ، وَإِذَا رَفَعَ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَم
ِدَهُ، رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ. ثُمَّ يُعَاوِدُ الْقِرَاءَةَ فِي صَلاَةِ الْكُسُوفِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِي رَكْعَتَيْنِ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengeraskan suara beliau dalam shalat gerhana, apabila telah selesai bacaannya maka beliau takbir, kemudian ruku, dan jika berdiri dari ruku beliau mengucapkan “Sami’allahu Liman Hamidah, Rabbana Wa Lakal-Hamdu” kemudian Rasulullah mengulang bacaan beliau dalam shalat gerhana empat kali ruku’ dalam dua rakaat disertai empat kali sujud.”

Shalat gerhana adalah shalat sunnah yang disyariatkan dilakukan secara berjamaah, maka sunnahnya dikerjakan dengan suara nyaring seperti halnya shalat id, shalat tarawih dan shalat istisqa.

Sedangkan mayoritas ulama mengatakan: Shalat gerhana dikerjakan dengan suara nyaring hanya pada shalat gerhana bulan saja, adapun shalat gerhana matahari dikerjakan dengan suara pelan. Berlandaskan pada dalil berikut:

Hadist riwayat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma yang telah disebutkan sebelumya,

فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلاً نَحْوًا مِنْ سُورَةِ الْبَقَرَةِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri cukup lama –yang lamanya–seperti membaca surat al-Baqarah.”

Namun hal ini tidak menunjukkan bahwa beliau shalat dengan suara pelan, tapi ada kemungkinan bahwa ia –Ibnu Abbas– mendengar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca surat yang panjangnya seperti surat al-Baqarah, atau bisa jadi juga ia berada di tempat yang agak jauh sehingga tidak mendengar suara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Hadist yang diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu ‘anha:

حَزَرْتُ قِرَاءَةَ رَسُوْلِ اللهِ

“Aku mengira-ngira bacaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam .”

Mereka mengatakan, Seandainya saja Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membacanya dengan suara yang keras, maka dugaan bacaan di atas tidak bisa dijadikan dalil.

Dijawab: Sesungguhnya riwayat ini tidak berasal dari Aisyah dan ini juga bertentangan dengan riwayat shahih dari Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat gerhana dengan bacaan nyaring.

Hadist Samurah bin Jundub:

أنَّ النَّبِيَّ صَليَّ فِي خُشُوْفِ الشَّمْسِ فَلَمْ أَسْمَعْ لَهُ صَوْتًا

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat gerhana matahari namun aku tidak mendengar suara beliau.”

Namun hadits ini dibantah dengan menggunakan hadits shahih riwayat Ibnu Abbas sebelumnya. Karena hadits shahih tidak dapat dibantah dengan riwayat lemah ini. Wallahu A’lam.

Apakah Boleh Shalat Karena Terjadi Perubahan Alam

Yang dimaksud disini adalah Tanda-Tanda Kekuasaan Allah-, Seperti Gempa Bumi Atau Yang Lainnya?

Dalam permasalahan ini ada empat pendapat para ulama:

Pertama: Disunnahkan mengerjakan shalat pada setiap terjadi perubahan alam atau bencana. Seperti; gempa, angin yang sangat kencang, petir, dan lain-lain. Pendapat ini merupakan madzhab Abu Hanifah, riwayat dari Imam Ahmad dan perkataan Ibnu Hazm.

Kedua: Tidak disunnahkan shalat pada setiap kejadian yang terjadi kecuali pada gerhana matahari dan bulan. Ini madzhab Imam Malik.

Ketiga: Tidak disunnahkan shalat kecuali jika terjadi gerhana matahari atau bulan dan gempa yang terus menerus. Ini pendapat dalam madzhab Hanbali.

Keempat: Selain gerhana matahari atau gerhana bulan, maka shalatnya tidak dikerjakan secara berjamaah namun dikerjakan di rumah –sendiri-sendiri– dengan merendahkan diri kepada Allah Subhanahu wata’ala. Pendapat ini adalah madzhab Imam Syafi’i.

Penulis berkata: semoga pendapat terakhir ini lebih mendekati kepada kebenaran. Wallahu A’lam.

Demikian penjelasan lengkap tentang Tata Cara Shalat Gerhana Bulan Dan Matahari. Semoga tulisan ini bermanfaat sebagai panduan dalam pelaksanaan shalat gerhana.

Sumber: Kitab Shahih Fiqh Sunnah

About semar galieh

Check Also

Bolehkah Mengakikahi Diri Sendiri Setelah Dewasa?

Fikroh.com – Sebelumnya perlu untuk diketahui, bahwa akikah hukumnya sunah muakadah (sunah yang ditekankan), bukan …