Ringkasan Fikih Kurban Dari A-Z

Ringkasan Fikih Kurban Dari A-Z

Fikroh.comBismillahi wassholatu wassalam ala Rasulillaah. Setiap bulan dzulhijjah, ummat Islam yang tidak berhaji menunaikan qurban. Qurban merupakan manifestasi dari ketundukan dan kepasrahan kepada Allah Azza Wa Jalla, dimana ia menuntut agar kita yang tidak berhaji mengeluarkan harta-harta kita untuk diserahkan kepada-Nya melalui perantara kaum miskin dan dhu’afa. 

Sebagaimana Nabiyullah Ibrahim, yang rela mengorbankan apa yang dikasihi nya, semata-mata memenuhi perintah Allah. Pun begitu pula Nabiyullah Isma’il, rela mengorbankan dirinya demi memenuhi perintah Tuhannya. 

Allah Ta’ala berfirman :

لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقۡوَىٰ مِنكُمۡ

“Daging (hewan qurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu…” (QS. Al-Hajj [22] : 37)

Al-Imam Al-Baidhowi menafsirkan:

يصيبه ما يصحبه من تقوى قلوبكم التي تدعوكم إلى تعظيم أمره تعالى والتقرب إليه والإخلاص له

“Yang akan sampai kepada Allah adalah apa yang mengiringi penyembelihan itu -yakni- ketakwaan dalam hati kalian yang mendorong kalian kepada pengagungan perintah Allah Ta’ala, dan mendorong kalian untuk taqorrub [mendekatkan diri] kepada Allah serta mengikhlaskan segalanya karena Allah semata…” (Tafsir Al-Baidhowi, 4/72) 

Bukan darah dan daging nya itu yang Allah tuntut, tapi ketundukan dan keikhlasan dalam hati tatkala berkorban dengan menginfakkan apa yang disembelih.

Istilah-istilah Penyembelihan Dalam Al-qur’an

Al-Qur’an menggunakan banyak istilah di dalam menyebut Qurban.

1. Dhohha (ضحى)

Dikatakan: dhohhaa bi syaatin minal udh-hiyah artinya dia berkurban dengan ‘kambing qurban.’

Ada pun hewan qurban-nya sendiri lebih dikenal dengan istilah Al-Udh-hiyah, jamaknya Al-Adhaahiy. Oleh karena itu hari penyembelihannya disebut ‘Idul Adha (Hari Raya Qurban). Sementara, pengorbanan disebut dengan tadh-hiyah.

2. An-Nahr (النحر)

Aktifitas menyembelih hewan qurban juga disebut nahr (diambil dari kata nahara – yanharu –nahran). Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al-Kautsar ayat 2:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.”

Oleh karena itu, hari raya qurban juga dikenal dengan yaumun nahri.

3. An-Nusuk (النسك)

Aktifitas menyembelih hewan qurban juga disebut nusuk (diambil dari kata nasaka – yansuku – nuskan).

Allah Ta’ala berfirman:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ

“… jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya [lalu ia bercukur], maka wajiblah atasnya berfid-yah, yakni berpuasa atau bersedekah atau berkorban.” (QS. Al-Baqarah [2]:196)

4.  Adz-Dzabh (الذبح)

Dalam Al-Qur’an juga, aktifitas menyembelih disebut dzab-ha (diambil dari kata dzabaha – yadzbahu – dzabhan).

Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً

“Dan [ingatlah] ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina…” (QS. Al-Baqarah [2]:67)

5. Al-Hadyu (الهدي)

Dalam Al-Quran aktifitas berqurban, khususnya bagi jamaah haji, disebut juga Al-Hadyu.

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. Jika kamu terkepung [terhalang oleh musuh atau karena sakit], maka [sembelihlah] korban [al-hadyu] yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya.” (QS. Al-Baqarah [2]:196)

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya. Ada yang mengatakan wajib -bagi yang memiliki kelapangan rezeki-; ada pula yang mengatakan sunah mu’akkadah [sebatas dianjurkan dengan penekanan]. Dan itulah pendapat mayoritas sahabat, tabi’in, serta para ulama setelah mereka.

Ulama yang mewajibkan berdalil dengan hadits berikut. Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا

“Barangsiapa yang memiliki kelapangan [rezeki] dan dia tidak berqurban, maka jangan dekati tempat shalat kami.” (HR. Ibn Majah No. 3123; Hakim No. 7565; Ahmad No. 8273)

Mengomentari hadits ini, Imam Ash-Shan’ani berkata :

وَقَدْ اسْتَدَلَّ بِهِ عَلَى وُجُوبِ التَّضْحِيَةِ عَلَى مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ لِأَنَّهُ لَمَّا نَهَى عَنْ قُرْبَانِ الْمُصَلَّى دَلَّ عَلَى أَنَّهُ تَرَكَ وَاجِبًا كَأَنَّهُ يَقُولُ لَا فَائِدَةَ فِي الصَّلَاةِ مَعَ تَرْكِ هَذَا الْوَاجِبِ وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى { فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ } وَلِحَدِيثِ مِخْنَفِ بْنِ سُلَيْمٍ مَرْفُوعًا { عَلَى أَهْلِ كُلِّ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةٌ } دَلَّ لَفْظُهُ عَلَى الْوُجُوبِ ، وَالْوُجُوبُ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ  

“Hadits ini dijadikan dalil wajibnya berqurban bagi yang memiliki kelapangan rezeki, karena Rasulullah melarang mendekati tempat shalat dimana larangan itu menunjukkan bahwa hal itu merupakan meninggalkan kewajiban. Seakan-akan beliau mengatakan shalatnya tidak bermanfaat jika meninggalkan kewajiban ini. Juga karena firman-Nya: “maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah.” Dalam hadits Mikhnaf bin Sulaim secara marfu’ [sampai kepada Rasulullah] berbunyi: “ [wajib] atas penduduk setiap rumah pada tiap tahunnya untuk berqurban.” Lafadz hadits ini menunjukkan wajibnya. Pendapat yang menyatakan wajib adalah dari Imam Abu Hanifah. (Subulus Salam, 6/308)

Sementara yang tidak mewajibkan, menyatakan bahwa dua hadits di atas tidak bisa dijadikan hujjah [dalil], sebab yang pertama mauquf [hanya sampai sahabat nabi, bukan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam], hadits kedua dha’if. Sedangkan ayat fashalli li rabbika wanhar, tidak bermakna wajib qurban melainkan menunjukkan urutan aktifitas, yakni menyembelih qurban dilakukan setelah shalat Id. (As-Shan’ani, Subulus Salam, 6/308)

Seandainya hadits-hadits di atas shahih, itu pun tidak menunjukkan kewajibannya. Sebab dalam riwayat lain Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wasallam bersabda :

إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا

“Jika kalian memasuki tanggal 10 [dzulhijjah] serta berkeinginan untuk berqurban maka janganlah dia menyentuh sedikit pun dari rambutnya dan kulitnya.” (HR. Muslim No. 1977)

Hadits tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa berqurban itu terkait dengan keinginan pribadi. Oleh karena itu Imam As-Syafi’i menjadikan hadits ini sebagai dalil tidak wajibnya berqurban, melainkan sebatas dianjurkan semata. (An-Nawawi; Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/472).

Wajb Berniat Dalam Berqurban

Berqurban termasuk amal ibadah, yang mesti didahulukan dengan niat. Hal tersebut untuk membedakannya dengan penyembelihan pada umumnya yang dilakukan manusia. Syaikh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan :

لا تجزئ الأضحية بدون النية؛ لأن الذبح قد يكون للحم، وقد يكون للقربة، والفعل لا يكون قربة بدون النية، لقوله عليه الصلاة والسلام: «إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى» قال الكاساني: والمراد منه عمل هو قربة، فلا تتعين الأضحية إلا بالنية. 

“Qurban tidaklah sah tanpa niat, karena sembelihan yang akan menjadi daging akan menjadi qurbah [sarana mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala], dan perbuatan tidaklah dinilai sebagai qurbah tanpa dengan niat, sesuai sabdanya: [sesungguhnya amal perbuatan hanyalah dengan niat dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya]. Al-Kisani mengatakan: “maksudnya adalah amal perbuatan untuk qurbah, maka berqurban tidaklah memiliki nilai kecuali dengan niat.” 

واشترط الشافعية والحنابلة: أن تكون النية عند ذبح الأضحية؛ لأن الذبح قربة في نفسه. ويكفيه أن ينوي بقلبه، ولا يشتر
ط أن يتلفظ بالنية بلسانه؛ لأن النية عمل القلب، والذكر باللسان دليل عليها  

“Kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan: hendaknya berniat sebelum menyembelih, karena menyembelih [hewan qurban] merupakan qurbah. Telah mencukupi bahwa niat adalah di hati. Tidak disyaratkan melafadzkan niat dengan lisan, karena niat adalah amalan hati, dan pengucapan di lisan merupakan petunjuk bagi amalan di hati.” (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 1/187)

Waktu Penyembelihan Qurban

Waktu penyembelihan qurban sejak setelah shalat ‘ied [10 dzulhijjah] hingga selesai ayyamut tasyriq [hari-hari tasyrik], yakni 11,12,13 dzulhijjah. Jika melewati itu maka bukan lagi disebut hewan qurban [udh-hiyah] tetapi sedekah biasa, namun tetap akan mendapat ganjaran dari Allah Ta’ala. 

Hal ini berdasarkan hadits dari Jubair Ibn Muth’im radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:

وَكُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ

“Setiap hari-hari tasyriq merupakan waktu penyembelihan.” (HR. Ahmad No. 16751. Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir No. 1583, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra No. 10006, 19021)

Penyembelihan dilakukan setelah shalat ied, sesuai ayat berikut :

    فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2)

Ayat ini menunjukkan bahwa an-nahr [penyembelihan] dilakukan setelah shalat ‘ied sebagaimana yang diterangkan oleh Imam As-Shan’ani di atas.

Juga diterangkan dalam riwayat Jundab Al-Bajali radhiyallahu ‘anhu:

شَهِدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ أَضْحًى ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ مَنْ كَانَ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُعِدْ مَكَانَهَا وَمَنْ لَمْ يَكُنْ ذَبَحَ فَلْيَذْبَحْ بِاسْمِ اللَّهِ

“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam shalat pada Idul Adha, kemudian berkhutbah dan berkata: barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat maka dikembalikan tempatnya, dan barangsiapa yang belum menyembelih maka sembelihlah dengan menyebut nama Allah.” (HR. Al-Bukhari No. 6674, Muslim No. 1960. Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir No. 1713, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra No. 6058)

Jenis Hewan Qurban

Tidak semua hewan bisa dijadikan sembelihan qurban. Sebab, ini adalah ibadah yang sudah memiliki petunjuk bakunya dalam syariat yang tidak boleh diubah, baik dikurang atau ditambah.

Dalil-dalilnya adalah, dari Jabir Ibn Abdillah radhiyallaahu ‘anhu :

حَجَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَحَرْنَا الْبَعِيرَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ

“Kami haji bersama Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam kami berqurban dengan unta untuk tujuh orang, dan sapi untuk tujuh orang.” (HR. Muslim No. 1318)

Untuk kambing, dalilnya adalah:

وَنَحَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَدَنَاتٍ بِيَدِهِ قِيَامًا وَذَبَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ كَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ

“Nabi shallallaahu ‘alayhi wasallam menyembelih unta dengan tangannya sendiri sambil berdiri, di Madinah beliau menyembelih dua ekor kambing kibas yang putih.” (HR. Al-Bukhari No. 1551)

Baik hewan jantan dan betina, keduanya boleh dan sah sebagai qurban.

( الشرط الأول ) وهو متفق عليه بين المذاهب : أن تكون من الأنعام ، وهي الإبل عرابا كانت أو بخاتي ، والبقرة الأهلية ومنها الجواميس والغنم ضأنا كانت أو معزا ويجزئ من كل ذلك الذكور والإناث

Syarat pertama, dan ini disepakati madzhab-madzhab, bahwa hewan qurban adalah dari golongan hewan ternak, yaitu unta, sapi peliharaan termasuk jawamis [sejenis kerbau], dan juga kambing baik yang benggala atau biasa. Dan semua itu sah baik jantan dan betina. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 5/81-82). 

Sapi Untuk Tujuh Orang, Sedangkan Kambing Untuk Satu Orang

Dari Jabir Ibn Abdillah radhiyallaahu ‘anhu :

حَجَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَحَرْنَا الْبَعِيرَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ

“Kami haji bersama Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam kami berqurban dengan unta untuk tujuh orang, dan sapi untuk tujuh orang.” (HR. Muslim No. 1318)

Terdapat riwayat shahih bahwa Nabi pernah berqurban dengan seekor kambing kibas.

وَقَدْ صَحَّ أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَحَّى بِكَبْشَيْنِ أَحَدُهُمَا عَنْ نَفْسِهِ ، وَالآْخَرُ عَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِهِ 

Telah shahih bahwa Rasulullah berqurban dengan dua kambing kibas, yang satu untuk dirinya dan yang satunya lagi untuk umatnya yang belum berqurban. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 5/106)

Lebih jelasnya tentang “dua ekor kibas” itu adalah riwayat berikut:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا

Dari Anas, dia berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berqurban dengan dua kambing kibas berwarna putih dan bertanduk, dan memotong keduanya dengan tangannya sendiri, beliau menyebut nama Allah dan bertakbir, dan meletakkan kakinya di sisi kibas tersebut [untuk mencengkram].” (HR. Al-Bukhari No. 5565, Muslim No. 1966)

Qurban yang bukan qurban wajib terkategori sebagai sunnah kifayah, yakni jika dilakukan oleh seorang anggota keluarga, maka mencukupi daripada keluarga itu. Dalam arti anjuran nya terpenuhi bagi keluarga tersebut. Sebagaimana fardhu kifayah, kewajibannya terpenuhi jika ada sebagian orang menunaikan kewajiban tersebut.

تجزئ الأضحية الواحدة التي يملكها شخص واحد أن يضحي بها عن نفسه وعن أبويه الفقيرين وأولاده الصغار ، وكذلك يجزئ أن يضحي الإنسان بالأضحية الواحدة التي يملكها وحده ناويا إشراك غيره معه في الثواب ، أو ناويا كونها كلها عن غيره

Telah sah satu hewan qurban yang dimiliki seseorang, dengannya dia berqurban untuk dirinya, untuk kedua orangtuanya yang faqir, atau anak-anaknya yang kecil, dan demikian juga telah sah qurban seseorang yang satu hewan qurban yang dimiliki seseorang dengan niat adanya kerja sama pahala antara dirinya dengan orang lain, atau dengan niat seluruhnya untuk orang lain. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 5/82-83). Wallaahu a’lam.

Unta Di Berdirikan, Dan Yang Lain Di Baringkan

Jika unta maka dipotong sewaktu ia berdiri, dan itu sunah. S
edangkan yang lainnya dengan cara berbaring. Hal ini disebutkan beberapa hadits berikut:

وَنَحَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَدَنَاتٍ بِيَدِهِ قِيَامًا

“Dan Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam menyembelih unta dengan tangannya dengan cara berdiri ..” (HR. Al-Bukhari No. 1551, Al-Baihaqi No. 9993)

Didirikan dengan tiga kaki, dan kaki kiri depan diikat, dari Abdurrahman Ibn Sabith, dia berkata :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ كَانُوا يَنْحَرُونَ الْبَدَنَةَ مَعْقُولَةَ الْيُسْرَى قَائِمَةً عَلَى مَا بَقِيَ مِنْ قَوَائِمِهَا

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam dan para sahabatnya, mereka menyembelih unta dengan keadaan kaki kiri depannya terikat, dan unta berdiri atas tiga kakinya yang lain.” (HR. Abu Dawud No. 1767)

Kriteria Orang Yang Menyembelih

Para ulama bersepakat bahwa orang yang menyembelih hendaknya : muslim, baligh, berakal dan laki-laki [yang dikenal bukan orang fasik]. (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 4/2760)

Namun jika ia seorang perempuan, atau belum baligh, atau orang gila, akan tetapi memiliki kemampuan untuk menyembelih dengan cara yang syar’i [juga dia adalah seorang yang beragama Islam], maka boleh bagi nya untuk menyembelih. (Lihat, Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Madzhab Al-Imam As-Syafi’I, 1/466)

Dalilnya ialah :

حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الحنزير ومآ اهل لغير الله به والمنخنقة والموقوذة والمتردية والنطيحة وما اكل السبع الا ما ذكيتم

“Diharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi, dan daging hewan yang disembelih bukan atas nama Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kalian sembelih.” (QS. Al-Maidah [5] :3)

Dan kalian disini ditujukan kepada kaum muslimin. (Al-Fiqh Al-Islami, 4/2760)

Bagi non muslim dikecualikan kafir ahlil kitab [kristen dan yahudi]. Boleh bagi mereka menjadi penyembelih berdasarkan ijma’ serta ayat : 

و طعام الذين اوتوا الكتب حلّ لكم وطعامكم حلّ لهم.

“Makanan [sembelihan] ahli kitab itu halal bagi kalian, dan makanan kalian halal bagi mereka.” (QS. Al-Maidah [5] :5)

Meski, tetap yang utama dan jadi pilihan ialah seorang muslim.

Disunnahkan bagi orang yang berqurban untuk menyembelih langsung qurban mereka, jika dia memiliki keahlian. Dari Anas radhiyallaahu ‘anhu :

وَنَحَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَدَنَاتٍ بِيَدِهِ قِيَامًا وَذَبَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ كَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ

“Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam menyembelih unta dengan tangannya sendiri sambil berdiri, di Madinah beliau menyembelih dua ekor kambing kibas yang putih.” (HR. Al-Bukhari No. 1551, No. 1712, No. 1714; Abu Dawud No. 1796)

Namun, bagi yang tidak ada keahlian dianjurkan untuk menyaksikan penyembelihan, dan mewakilkan penyembelihannya kepada yang lain.

Bagian yang disembelih dari hewan tersebut adalah minimal dua saluran : saluran kerongkongan [saluran makanan] dan saluran tenggorokan [saluran pernafasan]. (Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, hal. 258)

Alat yang digunakan untuk memotong bagian tersebut mesti alat yang tajam dan cepat memotong. Rasulullah shallallahu alayhi wasallam bersabda:

إِنَّ اللّٰهٙ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيءٍ. فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوْا اْلقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الذِّبْحَةَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan perbuatan ihsan [baik] pada tiap-tiap sesuatu. Jika kalian membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Dan jika kalian menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya dan menenangkan sembelihannya [tatkala hendak menyembelih].” (Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hadits ke 17)

Apakah Saat Menyembelih Harus Mengucapkan Bismillah?

Allah Ta’ala berfirman:

“Maka makanlah dari [sembelihan binatang-binatang halal] yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika betul kamu beriman kepada ayat-ayat Nya.” (QS. Al-An’am [6] : 118)

Ayat ini mengaitkan antara keimanan dengan menyebut nama Allah Ta’ala ketika menyembelih, maka menurut sebagian ulama hukumnya wajib menyebut nama Allah tatkala menyembelih.

Dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam juga bersabda:

وَلَا آكُلُ إِلَّا مَا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ

“Aku tidak memakan makanan yang tidak disebut nama Allah atasnya [ketika menyembelihnya].” (HR. Al-Bukhari No. 5565)

Syafi’iyyah memandang bahwa hal tersebut dibawa kepada anjuran, bukan syarat. Itu berarti tidak menjadi syarat mutlak, seseorang mengucapkan bismillah tatkala menyembelih. (Al-Fiqh Al-Manhaji, 1/472)

Adapun jika si penyembelih adalah orang yang tidak dapat bicara [bisu], maka tetap diperbolehkan meski ia tidak men-jahr kan bismillah [membaca bismillah dengan jelas]. Imam Ibnul Mundzir berkata :

وأجمعوا على إباحة ذبيحة الأخرس.

“Para ulama telah ijma’ [sepakat], bahwa bolehnya sembelihan dari orang bisu.” (Al-Ijma’, No. 220)

Dianjurkan pula untuk mendoakan orang yang menyembelih. 

Sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِن مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ

 ‘Nabi mengucapkan: “Bismillahi Allahumma taqabbal min Muhammadin wa Aali Muhammad wa min ummati Muhammadin [Dengan Nama Allah, Ya Allah terimalah kurban dari Muhammad, dari keluarga Muhamamad dan umat Muhammad]”; lantas beliau pun menyembelih.” (HR. Muslim No. 1967)

Memakan Hasil Qurban

Menurut Syaikh Ali Jum’ah, jika qurban tersebut adalah qurban nadzar, seperti seseorang mengatakan :

“Tahun ini aku berniat berqurban dengan nadzar”

Maka, daging qurban wajib dibagikan seluruhnya. Tidak boleh ia ataupun keluarganya memakan bagian dari qurban tersebut sedikit pun. (Nadzar adalah semacam sumpah dan janji kepada Allaah; jika ia mendapat sesuatu, ia akan melakukan ini dan itu,-pen).

Akan tetapi jika qurban tersebut bukanlah qurban hasil nadzar, misalkan ia memang biasa untuk memotong hewan qurban tiap tahunnya, maka tidak mengapa membaginya menjadi tiga. Sepertiga untuk fakir miskin, sepertiga untuk rekan-rekan, dan sepertiga untuk keluarganya.  (Fatawa ‘Ashriyyah, hal. 386)

Dianjurkan bagi si pengurban, untuk memakan sebagian dari hasil qurban.

Al-Imam An-Nawawi berkata:

 وَأَمَّا الْأَكْل مِنْهَا فَيُسْتَحَبّ وَلَا يَجِب , هَذَا مَذْهَبنَا وَمَذْهَب الْعُلَمَاء كَافَّة , إِلَّا مَا حُكِيَ عَنْ بَعْض السَّلَف أَنَّهُ أَوْجَبَ الْأَكْل مِنْهَا

“D
an adapun makan dari hasil qurban, maka itu dianjurkan, bukan wajib. Ini merupakan madzhab kami dan pendapat seluruh ulama, kecuali diceritakan dari sebagian ulama terdahulu bahwasanya wajib memakan sebagian dari apa yang diqurbankan…” (Syarh Shahih Muslim, 13/131)

Hukum Menjual Kulit, Daging, Dan Bagian Lain Dari Qurban

Tidak boleh orang yang berqurban menjual bagian dari daging qurban maupun kulitnya; baik bertujuan untuk dibagikan kembali maupun tidak.

Hukum ini berlaku bagi pengurban, bukan untuk orang yang menerima qurban.

Dalilnya adalah, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu :

أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkanku untuk mengurusi penyembelihan unta-untanya dan  mensedekahkan daging, kulit, dan bagian punuknya. Aku juga diamanahi agar tidak memberikan si tukang potong dari hasil potongan itu [sebagai upah].” Ali berkata: “Kami memberikannya dari kantong kami sendiri.” (HR. Muslim No. 1317)

Imam Al-‘Aini mengatakan:

وفيه من استدل به على منع بيع الجلد قال القرطبي وفيه دليل على أن جلود الهدي وجلالها لا تباع لعطفها على اللحم وإعطائها حكمه وقد اتفقوا على أن لحمها لا يباع فكذلك الجلود والجلال

Dalam hadits ini [hadits Ali radhiyallahu ‘anhu di atas] terdapat dalil bagi pihak yang mengatakan terlarangnya menjual kulit. Berkata Al-Qurthubi: “Pada hadits ini terdapat dalil bahwa kulit hewan qurban dan jilal [daging punuk unta] tidaklah dijual belikan, karena hukum menyedekahkannya itu satu kesatuan dengan daging. Mereka [para ulama] sepakat bahwa daging tidak boleh dijual, begitu juga kulitnya.” (Al-‘Aini, ‘Umdatul Qari, 15/254)

Tidak boleh pula memberikan upah [berdasarkan hadits tersebut] dengan mengambil dari daging qurban, atau kepalanya, atau bagian tubuh mana pun. Sebab, daging qurban adalah harta yang dipersembahkan dari dan untuk kaum muslimin, oleh karena itu ia tidak boleh dijadikan sebagai alat pembayaran/upah atau dijual belikan, termasuk kulitnya, demikian ijma’ [kesepakatan] para ulama. 

Namun, “penyembelih dibolehkan diberikan sedekah darinya”, dan tidak dinamakan upah. Sedangkan upahnya diambil dari sumber dana yang lain.

وأنه لا يجوز أن يعطى الجزار منه شيئا، على معنى الاجرة، ولكن يعطى أجرة عمله، بدليل قوله: ” نعطيه من عندنا “. وروي عن الحسن أنه قال لا بأس أن يعطى الجازر الجلد.

“Bahwa tidak diperbolehkan memberikan tukang potong dari hasil potongannya sedikit pun, maksudnya adalah tidak boleh memberikan upah [dari daging potongan], tetapi dia boleh diberikan upah atas kerjanya itu. Dalilnya adalah: “Kami memberikannya dari kantong kami sendiri.” Diriwayatkan oleh Al-Hasan bahwa dia berkata: “Tidak mengapa memberikan kulit untuk tukang potongnya.” (Fiqhus-Sunnah, 1/742)

Jadi, ada beberapa pelajaran dari hadits tersebut. Pertama, tukang potong tidak diupah dengan daging hewan qurban, namun boleh diberikan daging tersebut untuknya asalkan atas nama sedekah, bukan upah, sebab daging qurban adalah hak seluruh kaum muslimin, termasuk si pemotong. 

Kedua, tukang potong boleh diupah melalui sumber dana lain. 

Ketiga, dibolehkannya pengurusan hewan qurban diamanahkan kepada orang lain. (istilah sekarang: Panitia Qurban). 

Keempat, semua daging dan kulitnya adalah dibagi-bagikan [disedekahkan], bukan dijual.

Mayoritas ulama mengatakan tidak boleh, terkecuali Abu Hanifah berpendapat boleh menjualnya dengan bukan dinar dan dirham, yakni dengan ’urudh [barang berharga selain emas]. (As-Shan’ani, Subulus Salam, 4/95)

Imam An-Nawawi menjelaskan:

ومذهبنا أنه لا يجوز بيع جلد الهدى ولا الأضحية ولا شيء من أجزائهما

Pendapat madzhab kami adalah tidak boleh menjual kulit hewan qurban, tidak pula boleh dijual sedikit pun bagian-bagian [dari sembelihan tersebut]. (Syarh Shahih Muslim, 9/65). Wallaahu a’lam.

Oleh: Muhammad Rivaldy Abdullah, Pesantren Nashirus Sunnah Mesir

About semar galieh

Check Also

Bolehkah Mengakikahi Diri Sendiri Setelah Dewasa?

Fikroh.com – Sebelumnya perlu untuk diketahui, bahwa akikah hukumnya sunah muakadah (sunah yang ditekankan), bukan …