Oleh: Abu Bakar Ibn Ghazali Al-Kailandari
Di tengah gelapnya langit Madinah malam hari, tampak seorang lelaki memanggul karung-karung berisi tepung atau gandum. Orang tersebut berjalan memecah heningnya kota suci itu menyusuri pemukiman warga untuk mencari rumah fakir miskin. Kantong demi kantong ia letakkan di depan pintu mereka tanpa ada seorang pun yang tahu siapakah manusia mulia ini. Terhitung, ada seratus lebih rumah fakir miskin di Madinah Al-Munawwarah.
Keesokan harinya saat penghuni rumah akan melaksanakan shalat subuh, mereka bergembira memuji syukur kepada Allah atas rezeki yang tidak diketahui siapa yang menjadi jalan datangnya karunia tersebut. Begitulah keseharian penduduk Madinah yang berkekurangan, setiap kali kebutuhan mereka mulai berkurang sang dermawan misterius itu kembali meletakkan bahan makanan guna mencukupi kebutuhan mereka tanpa diketahui. Bahkan jika mereka mengeluhkan kekurangan apapun di siang harinya, maka menjelang subuh sesuatu yang mereka butuhkan telah tersedia di depan rumah. Namun suatu ketika, ada seseorang yang memergoki sang dermawan tersebut saat dia memanggul karung. Atas permintaan sang dermawan, orang tersebut merahasiakan identitasnya.
Tahun demi tahun berlalu, hingga suatu hari penduduk Madinah dikejutkan dengan kabar duka bahwa Ali Zainal Abidin cicit Rasulullah ﷺ telah wafat. Seseorang dengan tega membubuhkan racun pada makanan beliau hingga mengantarkannya ke hadirat ilahi. Saat jenazah beliau dimandikan, terlihat ada bekas hitam di punggungnya, mereka yang memandikannya pun bertanya – tanya.
“Bekas apa ini? ” tanya mereka.
seseorang yang dulu pernah memergoki beliau akhirnya buka suara, “ Itu adalah bekas karung-karung tepung yang selalu dipikulnya ke seratus rumah di Madinah ini ”.
Mereka pun terkejut, jangan – jangan sang dermawan misterius yang mencukupi kebutuhan sehari hari mereka adalah cicit Rasulullah ﷺ.
“ kapankah beliau memanggul karung ? ” tanya mereka. Sebab setahu mereka Ali Zainal Abidin hanyalah seorang ulama yang biasa beribadah di masjid, tak pernah terlihat oleh mereka beliau memanggul karung.
“di waktu Malam, Sewaktu kalian beristirahat dan orang-orang Madinah terlelap. Saat itulah Ali keluar dengan membawa tepung lalu diletakkannya di depan pintu orang yang membutuhkan. Ia kembali ke rumahnya, mengambil tepung berikutnya dan diberikan kepada orang miskin lainnya. Begitu kebiasaannya” balas saksi mata.
Sebagian dari mereka menyangsikan kesaksian itu, bagi orang-orang tersebut Ali Zainal Abidin hanyalah ulama kikir yang hanya mengumpulkan kepingan dinar dan dirham untuk dia sendiri. Tak pernah mereka melihat beliau bersedekah kepada orang lain. Namun klaim tersebut semakin kuat karena setelah wafatnya Ali Zainal Abidin tidak pernah ada lagi bingkisan tepung dan bahan makanan gratis di depan pintu rumah mereka.
Kisah menyentuh ini dapat menjadi pembelajaran bagi kita di masa kini tentang keikhlasan dalam berbuat kebajikan, agar kita menghilangkan sifat pamrih dalam diri kita, Pujian manusia atau pun ucapan terima Kasih mereka tidak lebih baik dari pahala yang dijanjikan Allah Ta’ala kepada para hamba Nya. Imam Ali Zainal Abidin paham betul sabda Rasulullah SAW, kakek buyut beliau:
إِنَّ الصَّدَقَةَ لَتُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ وَتَدْفَعُ مِيتَةَ السُّوءِ ( رواه الترمذي)
“Sedekah itu dapat memadamkan murka Allah dan mencegah dari keadaan mati yang jelek” (HR. Tirmidzi )
Sang ulama tak peduli dengan suasana dan gelapnya malam. Ia senantiasa memberikan sedekah untuk para fakir miskin. Ia juga tak peduli dengan segala pujian. Sebaliknya, ia menyembunyikan kedermawanannya agar terhindar dari sikap takabur, ujub, dan pamer (riya). Sebab, hal-hal yang demikian itu dapat merusak nilai-nilai keikhlasan dan ketulusan. Semua dilakukannya karena Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda, “Sedekah secara sembunyi-sembunyi dapat memadamkan murka Allah.” (HR Baihaqi).
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir 100 biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Baqarah: 261).
Nabi SAW bersabda, “Kami berpagi-pagi di atas fitrah Islam, di atas kalimat ikhlas, serta di atas agama Nabi kami Muhammad SAW, di atas millah Ibrahim yang lurus dan Muslim, dan dia bukan termasuk orang musyrik.” (HR Ahmad-14818). Ada beberapa hadis lain yang senada dengan ini di antaranya yang diriwayatkan oleh Ad-Darimi. Wallahu a’lam bisshawab.
Referensi:
Al-Ashbahani, Abu Nu’aim Ahmad Ibn Abdullah. 2018. Hilyatul Auliya wa Thabaqatul Ashfiya. Vol. I. Beirut: Dar Al-Kitab Al-Ilmiyah.
Ibn Katsir, Abu Fida Ismail. 2015. Al-Bidayah Wa An-Nihayah. Vol. V. Beirut: Dar Al-Kitab Al-Ilmiyah.