Fikroh.com – Alhamdulillah, rombongan jamaah haji 2019 atau 1440H sudah mulai diberangkatkan sejak 6 Juli 2019 yang lalu. Sesuai dengan rencana semula, total sekitar 220 ribuan jamaah haji tahun ini, termasuk tambahan 10 ribu orang yang diumumkan belum lama ini, sudah dan sedang dalam proses pemberanngkatan dari 13 titik embarkasi. Tentu saja kita semua berdoa bahwa proses pelaksanaan haji lancar, dan semua jamaah haji mendapatkan [nilai] haji yang mabrur. Amin.
Sesuai dengan musimnya, dewasa ini sangat banyak pemberitaan tentang haji yang disebarkan oleh berbagai media, cetak maupun elektronik, konvensional maupun on-line atau daring. Mulai dari proses pemberangkatan jamaah, fasilitas, berita kesehatan, sampai hal-hal unik yang berkaitan dengan jamaah haji. Salah satu issue yang hampir selalu hot, dan tidak jarang menimbulkan fitnah berantai dalam kaitannya dengan ibadah haji adalah Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji atu BPIH (dulu disebut dengan ONH). Sempat menjadi issue nasional belum lama ini, ketika ada dugaan dana haji menipis dan [diduga] tidak bisa membiayai tambahan jamaah sebanyak 10.000 orang yang diumumkan Pemerintah sekitar sebulan lebih yang lalu.
Issue semacam ini sangat sering berseliweran, nyaris tak terkendali. Nah, tulisan ini mencoba berkontribusi menjelaskan issue di sekitar pengelolaan dana haji, sehingga diharapkan dapat lebih difahami, terutama oleh jamaah yang masih menunggu antrian berangkat beberapa tahun lagi, dan masyarakat pada umumnya.
BPIH
Berdasarkan Laporan Keuangan Penyelenggaraan Ibadah Haji, ada 12 komponen utama BPIH. Yang meliputi penerbangan; akomodasi; living cost; maslahat ‘ammah (general service fee di Armina), konsumsi; angkutan darat; operasional; perbekalan; pembinaan, penyuluhan dan pelatihan; sewa, pemeliharaan; dan beban lainnya.
Selain itu, komponen biaya sumber dana bisa dilihat dari sisi lain, yakni: direct cost, indirect cost dan APBN. Direct cost (selama ini diartikan) sebagai biaya yang disetorkan oleh jamaah haji, umumnya digunakan hanya untuk beban penerbangan, sebagian akomodasi di Makkah dan living cost sebesar SAR1500, atau lebih kurang Rp.5.568.000,- Beban selain unsur-unsur di atas, masuk kategori indirect cost, yang sesungguhnya berasal dari subsidi yang diambilkan dari nilai manfaat, hasil pengelolaan dana oleh BPKH.
(Catatan: sesungguhnya istilah direct dan indirect cost yang dipakai juga ‘bermasalah’ dalam sudut pandang akuntansi, dan insya Allah Segera akan diperbaiki. Namun dalam tulisan ini masih digunakan pengertian yang lama tersebut, sekedar untuk memudahkan).
Untuk musim haji tahun 2019M atau 1440 Hijriyah ini – dengan tetap menggunakan terminology direct dan indirect cost – maka diketahui bahwa direct cost berjumlah Rp.35.235.602,- Sedangkan Indirect cost berjumlah Rp. 34.764.454,- Atau total berjumlah Rp. 70.000.050,-
Artinya BPIH sesungguhnya per jamaah adalah Rp.70.000.050,- Ini merupakan angka rata-rata nasional. Tentu ada sedikit perbedaan cost antara Aceh (misalnya) dan Sulawesi Selatan. Aceh sedikit lebih murah dan Sulawesi Selatan sedikit lbih mahal. Ini semata-mata karena faktor geografis masing-masing titik embarkasi.
Berdasarkan infomasi di atas, ada dua poin penting yang selama ini kurang difahami dan disadari banyak pihak.
Pertama, bahwa setoran sebanyak Rp.35 juta itu, ternyata hanya cukup menutup dua unsur biaya, yakni biaya penerbangan pulang pergi sebesar Rp.29.555.597,- dan living cost, atau biaya hidup dalam bentuk uang tunai sebesar SAR1500 atau Rp5.680.005,- yang diberikan kepada setiap jamaah sesaat sebelum naik pesawat terbang di masing-masing Embarkasi.
Lalu, bagaimana dengan berbagai biaya lain yang terjadi untuk penyelenggaraan ibadah haji, seperti pemondokan atau akomodasi, baik di Madinah, Makkah bahkan di Embarkasi Indonesia, konsumsi, angkutan darat, kesehatan, visa, dan seterusnya? Ini akan dijelaskan nanti di bagian lain tulisan ini.
Kedua, bahwa total biaya sesungguhnya (real cost) untuk penyelenggaraan ibadah haji per orang adalah Rp.70an juta. Ini berarti bahwa setiap jamaah haji yang berangkat perlu mendapat subsidi sebesar lebih kurang 100% dari apa yang mereka bayar, atau juga Rp.35juta. Tabel berikut ini dapat menjelaskan rincian komponen biaya haji yang sesungguhnya, yang berjumlah Rp70an juta per jamaah.
Gambarnya terlampir.
Pertanyaannya: dari mana dana subsidi ini berasal? Ini yang [mungkin] tidak banyak diketahui atau difahami, baik jamaah haji yang berangkat, yang masih menunggu atau masyarakat luas pada umumnya.
Sesungguhnya subsidi yang makin besar tiap tahun itu berasal dari nilai manfaat saldo dana yang saat ini diinvestasikan oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang diresmikian Juli 2017, dan – relatif baru – efektif bekerja sejak awal 2018. BPKH dibentuk berdasarkan UU No. 34 tahun 2014. Sesuai amanah UU, BPKH diberi amanah untuk mengelola dana haji dalam bentuk penempatan di berbagai bank Syariah yang terpilih (atau memenuhi kriteria tertentu), investasi surat berharga, emas, investasi langsung dan investasi lainnya.
Ada beberapa prinsip dasar yang harus dipenuhi dalam pengelolaan dana tersebut, antara lain harus sesuai Syariah, hati-hati, menghasilkan manfaat, aman, likuid, nirlaba, transparan dan akuntabel. Total dana kelolaan per akhir Mei 2019 adalah 112 trilyun. Ini tidak termasuk dana dalam bentuk Uang Muka BPIH yang sudah ditransfer kepada Direktorat Penyelenggaraan Haji dan Umrah untuk kegiatan haji tahun 2019 ini.
Dari uraian ini sangat jelas, bahwa sesungguhnya jamaah haji yang berangkat menikmati subsidi yang cukup besar, atau sebesar total nilai setoran mereka. Sekedar informasi pula, bahwa pada hakekatnya, hasil nilai manfaat investasi yang dikelola oleh BPKH sesungguhnya akan dibagi menjadi tiga bagian, yakni untuk :
(1) subsidi jamaah yang berangkat;
(2) dikembalikan atau dibagi dengan jamaah tunggu, dan
(3) biaya operasional BPKH, maksimal 5% dari total nilai manfaat tahun sebelumnya, setelah mendapat persetujuan DPR.
Virtual Account
Ada suatu yang baru yang ditegaskan oleh UU No. 34 / 2014, yakni keharusan adanya Virtual Account, atau mungkin Rekening Maya, bila diterjemahkan secara bebas. Ini dinyatakan dalam UU No. 34 tahun 2014 Pasal 26 ayat C huruf f dan PP No. 5/2018 pasal 37 ayat 1.
Virtual Account adalah rekening milik masing-masing jamaah haji tunggu. Rekening ini digunakan sebagai media menampung bagi hasil nilai manfaat yang dihasilkan dalam suatu periode. Inilah sesuatu yang belum pernah ada sebelum BPKH dibentuk. Ini pulalah manifestasi pengertian nirlaba yang disyaratkan oleh UU. Sehingga nirlaba harus difahami bahwa nilai manfaat yang dihasilkan, harus dikembalikan kepada semua jamaah. Untuk jamaah yang berangkat dalam bentuk subsidi, sedangkan bagi jamaah haji tunggu dimasukkan dalam virtual account ini.&
nbsp;
Manfaat lain virtual account ini adalah bahwa dengan adanya akumulasi bagi hasil secara periodik, maka saldo dana masing-masing jamaah tunggu akan bertambah nilainya, sehingga ini akan sangat membantu di saat pelunasan nanti. Perlu diketahui bahwa Virtual Account ini dapat dilihat sewaktu-waktu saldonya oleh pemilik rekening, namun tidak boleh dicairkan.
Isu Lainnya
Apakah pola dan hasil pengelolaan dana oleh BPKH sudah optimal? Jawabannya tentu belum.
Mengapa demikian?
Terlepas dari usaha dan kerja keras yang sudah dan sedang dilakukan, masih banyak keterbatasan yang dihadapi BPKH. Antara lain, pertama adalah karena faktor usia BPKH yang baru seumur jagung, maka belum bisa dicapai hasil nilai manfaat yang optimal. Di dua tahun pertama, BPKH masih sangat direpotkan oleh proses membangun infrastuktur organisasi. Kedua, belum berhasil dibangun portofolio yang ideal, setidaknya seperti yang diarahkan UU. Akibatnya, hasil nilai manfaat belum optimum. Ini dapat menimbulkan masalah sustainability. Ketiga, masih sangat besarnya subsidi yang harus diberikan kepada jamaah tunggu, karena ini tentu “memakan” sebagian hak jamaah tunggu.
Artinya, bila tidak serius dikendalikan, maka dapat terjadi apa yang disebut dengan skema Ponzy. Yakni, akan termakan dana pokok (dalam hal ini setoran jamaah) untuk menyubsidi jamaah yang
berangkat. Contoh yang mirip dan masih segar dalam ingatan kita mungkin adalah kasus First Travel.
Dua akibat lanjutan tidak bisa dihindari, yakni:
(a) rasa keadilan, karena adanya perpindahan hak dari jamaah tunggu kepada jamaah yang akan diberangkatkan.
(b) munculnya issue istitho’ah, yakni kemampuan [financial] seorang jamaah haji.
Salah satu syarat wajib haji adalah adanya kemampuan -antara lain- keuangan (lihat QS Ali Imran 97). Maka seandainya beban haji sesungguhnya adalah Rp.70juta (untuk tahun 2019), dan seseorang hanya “mampu” menyiapkan dana sebesar Rp.35juta, maka sesungguhnya yang bersangkutan belum masuk kategori mampu (istitho’ah). Dan bila untuk itu yang bersangkutan harus disubsidi dengan cara “mengambil” hak pihak lain. Tentu ini menjadi masalah, baik dari perspektif keadilan maupun syariah.
Oleh karena itu, untuk masa yang akan datang,
(a) perlu pemahaman dan kesadaran jamaah haji khususnya dan masyarakat pada umumnya tentang realita cost yang sesungguhnya, karena ini sangat berkaitan dengan prinsip istitho’ah, keadilan dan sustainabilitas pengelolan keuangan jangka panjang.
(b) Keberanian Pemerintah dan DPR khususnya untuk melihat kenyataan ini, dan membuat keputusan BPIH yang lebih realistis serta berdasarkan [terutama] pada aspek ekonomi dan keuangan, istitho’ah serta keadilan yang lebih luas. Inilah diantara cara yang harus ditempuh agar pengelolaan di masa yang akan datang lebih baik lagi. Insya Allah. Wallahu a’lam bisshowab.
Sumber: https://bpkh.go.id/files/stocks/Muhammad_Akhyar_Adnan_-_Memahami_Biaya_Penyelenggaraan_Ibadah_Haji.pdf