Syaikh Muhammad Basiuni Imran, Sang Maharaja Imam Sambas, Murid Sayyid Rasyid Ridha

Syaikh Muhammad Basiuni Imran bernama lengkap Syaikh Muhammad Basiuni bin Syaikh Muhammad Imran bin Muhammad Arif bin Imam Nuruddin bin Imam Mushthafa as-Sambasi. Beliau juga dikenal sebagai Basiuni Imran Maharaja Imam. Beliau dilahirkan pada tanggal 25 Dzulhijjah 1302 H/16 Oktober 1885 M di Sambas, Kalimantan Barat, Indonesia dan merupakan pewaris terakhir gelar Maharaja Imam (gelar tertinggi pejabat urusan agama) di Kesultanan Melayu Sambas, Kalimantan Barat, Indonesia. 

Sejak kecil, Syaikh Basiuni Imran belajar ilmu agama Islam kepada ayahnya – Syaikh Muhammad Imran – dan belajar pengetahuan umum di Sekolah Rakyat (Volksschool) di tanah kelahirannya. Pada ayahnya, Beliau belajar membaca Al Qur’an serta dasar-dasar nahwu sharaf melalui kitab Jurumiyyah dan Kailani. Selain belajar dengan ayahnya, Syaikh Basiuni Imran juga belajar agama kepada Haji Muhammad Djabir. Haji Muhammad Djabir adalah putra dari Maharaja Imam Haji Muhammad Arif, atau paman dari Syaikh Basiuni Imran. Haji Muhammad Djabir pernah berguru kepada Syaikh Abu Bakar Syatha, Syaikh Muhammad bin Ismail Al-Fathani dan Syekh Ahmad Al-Fathani. Selepas dari Sekolah Rakyat, Syaikh Basiuni Imran melanjutkan menuntut ilmu di Madrasah Sulthaniyyah selama 10 tahun.

Pada 1898 M, Syaikh Basiuni Imran kemudian melanjutkan menunaikan Haji sekaligus menuntut ilmu ke Makkah. Di Makkah, selama lima tahun Syaikh Basiuni Imran belajar kepada beberapa orang ulama, diantaranya Tuan Guru Umar Sumbawa, Tuan Guru Usman Serawak, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Syaikh Ali Maliki. Dari Tuan Guru Umar Sumbawa dan Tuan Guru Usman Serawak, Syaikh Basiuni Imran belajar ilmu Nahwu, Sharaf dan Fiqih. 

Dari Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Beliau belajar ilmu fiqih. Sedangkan dari Syaikh Ali Maliki, Beliau belajar ilmu bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Ma’ani, Badi’, Bayan), ilmu mantiq dan beberapa ilmu pengetahuan lain seperti ushul fikih, tafsir serta ilmu tauhid.

Di Makkah, Syaikh Basiuni Imran juga mendapatkan ijazah dari salah seorang ulama Makkah – Sayyid Abdul Hadi al Bandari.

Melihat guru-guru Syaikh Basiuni Imran sebagaimana disebutkan di atas – terutama Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi – maka bisa dikatakan bahwa Syaikh Basiuni Imran merupakan ulama yang seangkatan dengan K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdhatul Ulama), Haji Abdul Karim Amrullah dan Haji Abdullah Ahmad (ulama pembaharu Minang yang pernah kami tulis beberapa waktu lalu).

Pada tahun 1324 H (sekitar 1906 M) Syaikh Basiuni Imran diminta pulang ke Sambas oleh orang tuanya. Setelah kepulangannya dari Makkah ini, Syaikh Basiuni Imran diangkat oleh Sultan Muhammad Tsafiuddin menjadi Imam Pembantu di Masjid Jami’ Istana Sambas dan memberikan pelajaran agama Islam di Istana Sultan Sambas kepada putri-putri dan ahli istana. Beliau juga sempat mengajar di Madrasah Sulthaniyyah.

=========================

Semenjak pulang dari Makkah Syaikh Basiuni Imran secara rutin berlangganan Majalah al-Manar. Selain itu Beliau juga mempelajari berbagai kitab berbahasa Arab dari Mesir. Saat itu pengaruh pemikiran Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam Majalah al-Manar sudah mulai membekas dalam diri Syaikh Basiuni Imran.

Pijper menuliskan kesaksian Syaikh Basiuni Imran perihal pengaruh Majalah al-Manar dalam pemikiran Beliau, sebagai berikut ;

“Pada waktu saya masih di Sambas, setelah pulang dari Mekah. Saya berlangganan majalah al-Manar dari almarhum Syeikh Muhammad Rasyid Ridha dan saya menjadi pembaca yang tekun dan setia majalah tersebut, karena di dalamnya saya menemukan pengetahuan yang murni tentang agama yang didasarkan kepada kitabullah dengan Sunnah Rasulullah SAW. Majalah itu juga membuat beberapa ilmu pengetahuan lainnya yang sangat bermanfaat. Saya membaca bermacam-macam buku dari Mesir.”

(selesai nukilan)

Kekaguman Syaikh Basiuni Imran kepada Rasyid Ridha dan Majalah Al-Manar inilah mungkin yang mendorongnya berangkat ke Mesir pada tahun 1910 untuk melanjutkan menuntut ilmu di sana. 

Ketika sampai di Mesir, Syaikh Basiuni Imran dijemput oleh Sayyid Shalih Ridha, yang merupakan saudara Rasyid Ridha. Pada malam harinya Beliau menginap di rumah Rasyid Ridha. Keesokan harinya Syaikh Basiuni Imran sempat berbincang-bincang dengan Rasyid Ridha, Rasyid Ridha saat itu mengatakan bahwa ilmu nahwu yang dikuasai oleh Syaikh Basiuni Imran sudah cukup. Rasyid Ridha menilai dan melihatnya dari surat-surat yang pernah dikirimkan oleh Syaikh Basiuni Imran kepada Majalah al-Manar sebelum itu.

Pijper menuliskan kesaksian Syaikh Basiuni Imran ketika bertemu pertama kali dengan Rasyid Ridha sebagai berikut :

“Saya ditanya oleh Tuan Rasyid Ridha, (mengenai) apa saja yang telah saya pelajari, (kemudian) Dia (Rasyid Ridha) berkata: ‘Tentang pengetahuan nahwu sudah cukup, tidak usah membaca lebih banyak lagi’. 

“Rupanya surat-surat yang mengandung pertanyaan-pertanyaan yang pernah saya kirim kepada Beliau dan ditulis dengan bahasa Arab, dianggapnya sudah memadai.”

“Banyak pertanyaan Beliau tentang kehidupan keagamaan (Islam) di Indonesia, terutama tentang para ulamanya. Saya menceritakan apa yang saya ketahui, sebab pengetahuan saya tentang hal itu sangat terbatas.”

(selesai nukilan)

Selama di Mesir, Syaikh Basiuni Imran berserta sejumlah pelajar dari Indonesia lainnya, dipersilahkan belajar di Universitas Al-Azhar. Di samping itu, mereka juga memanggil guru privat untuk memperdalam ilmu agama setelah mereka pulang kuliah dari Al-Azhar. Guru tersebut adalah Sayyid Ali Surur az-Zankulani, seorang ulama dari Universitas Al-Azhar juga. 

Setelah enam bulan belajar di Al-Azhar, muncul kabar bahwa Rasyid Ridha membuka sebuah madrasah yang dikenal dengan Madrasah Darud Da’wah wal Irsyad di Manyal (Kairo Lama). Di madrasah tersebut diajarkan berbagai disiplin keilmuan mulai dari ilmu agama, seperti bahasa Arab, fikih, tafsir sampai dengan ilmu umum. 

Di Madrasah Darud Da’wah wal Irsyad inilah Syaikh Basiuni Imran dan rekan-rekannya banyak mendapatkan pengajaran agama, khususnya dalam bidang tafsir al-Qur`an dan tauhid yang dibimbing dan diajarkan langsung oleh Rasyid Ridha. Syaikh Basiuni Imran juga mendapatkan ijazah dari Rasyid Ridha langsung. 

Selama di Mesir, Syaikh Basiuni Imran juga banyak menulis di majalah al-Manar dan surat kabar al-Ittihad yang diterbitkan oleh para penuntut ilmu di Mesir dengan pimpinan redaksi Muhammad Fadhlullah Suhaimi. 

=========================

Pada bulan Sya’ban 1331 H/ 1913 M, Syaikh Basiuni Imran dipanggil keluarganya pulang ke Sambas, karena ayahnya menderita sakit keras. Ayahnya kemudian wafat pada Senin, 22 Ramadhan 1331 H/25 Agustus 1913 dan dimakamkan di Sambas. 

Selepas sang Ayah wafat, jabatan Maharaja Imam mengalami kekosongan. Selanjutnya dengan besluit Sultan Muhammad Tsafiuddin tertanggal 9 November 1913, Syaikh Basiuni Imran diangkat menjadi Maharaja Imam, Qadli dan Mufti di Kerajaan Sambas  menggantikan ayahnya. Jabatan sebagai Maharaja Imam ini diemban Beliau hingga masa kemerdekaan Indonesia saat Kerajaan Sambas secara otomatis tidak lagi berfungsi secara politis-administratif.

Selepas diangkat menjadi Maharaja Imam Kerajaan Sambas, Syaikh Basiuni Imran aktif mengadakan ceramah umum seminggu sekali di masjid Kesultanan Melayu Sambas dengan menggunakan artikel tafsir dan tauhid karya Rasyid Ridha sebagai rujukan utamanya. Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha mulai diajarkan oleh Syaikh Basiuni Imran dalam pengajian rutin sekali dalam seminggu di Masjid Jami’ Kerajaan Sambas.

Syaikh Basiuni Imran juga berupaya melakukan reformasi dan memajukan bidang pendidikan di
Sambas. Usaha ini diawali dengan keterlibatannya dalam menangani reformasi kurikulum pada almamaternya, Madrasah al-Sulthaniyah, pada tahun 1916. 

Dalam upayanya mereformasi Madrasah Sulthaniyyah ini, Beliau membentuk sebuah perkumpulan bernama Tarbiyatul Islam. Perkumpulan ini kemudian memperbarui sistem pembelajaran dan kelembagaan yang ada di Madrasah al-Sulthaniyah. Reformasi Madrasah Sulthaniyyah menjadi madrasah modern dibiayai sepenuhnya oleh Sultan Sambas menjadi madrasah modern. Beliau sendiri menjabat sebagai Kepala Madrasah Sulthaniyyah dari tahun 1919 sampai dengan 1935.

Jabatan lain yang pernah diemban oleh Syaikh Basiuni Imran adalah sebagai berikut :

1. Anggota Plaatselijk Fonds Sambas dalam tahun 1920 (berdasarkan Besluit Residen Borneo Barat).

2. President Mahkamah Raad Agama di Kerajaan Sambas sejak tanggal 30 Januari 1927 (berdasarkan Besluit Besturcommissie Kerajaan Sambas).

3. Pengawas bagi Sekolah Agama Islam di Sambas sejak 1918.

4. Anggota Rubbercommissie di Pontianak pada tahun 1934-1939 (berdasarkan Besluit Resident Borneo Barat).

5. Ketua Perkumpulan Tarbiatul Islam Sambas tahun 1936-1950.

6. Penghulu Landgerecht (berdasarkan Besluit nomor 3 Resident Borneo Barat tgl. 5 Februari 1946).

7. Adviseur dari Zelfbestuurscommissie Sambas (berdasarkan Besluit nomor 57 Resident Borneo Barat tgl. 20 Februari 1946.

8. Ridder in de Orde van Oranje Nassau (berdasarkan Besluit nomor 99 Ratu Wilhelmina tgl. 13 September 1946.

Pada 1955 Syaikh Basiuni Imran juga tercatat pernah terlibat aktif dalam kepengurusan Masyumi serta menjadi anggota Konstituante.

Selanjutnya pada tahun 1966-1975 M, Basiuni Imran juga sempat menjabat sebagai Penata Hukum Tingkat I atau Kepala Pengadilan Agama Mahkamah Syariah Kalimantan Barat.

=========================

Setelah bertugas menjadi qadhi dan mufti serta aktif mengajar di Madrasah Sulthaniyyah, Syaikh Basiuni Imran tidak pernah memiliki kesempatan untuk kembali lagi ke Mesir. Namun, kenyataan ini tidak menyurutkan tekadnya untuk terus mengikuti perkembangan pemikiran Islam melalui Majalah Al-Manar. 

Syaikh Basiuni Imran juga tetap intens membaca dan mendalami kitab-kitab Madzhab Syafi’iyyah dan sejumlah kitab fikih lainnya serta kitab-kitab tafsir al-Qur`an dan hadis, terutama kitab tafsir al-Manar dan Majalah al-Manar. Saat Beliau menemukan suatu kesulitan, maka beliau langsung mengajukan pertanyaan kepada Rasyid Ridha dan Majalah al-Manar.

Syaikh Basiuni Imran menuliskan kesaksiannya sebagaimana dikutip oleh Pijper sebagai berikut :

“Segala puji bagi Allah! Walaupun saya telah meninggalkan guru-guru saya, juga telah meninggalkan bangku sekolah di Dar ad-Dakwah wa al-Isyad, saya tetap mendalami kitab-kitab fikih madzhab Syafi’i, kitab-kitab madzhab lain. kitab-kitab tafsir al-Qur`an dan hadis, terutama tafsir al-Manar dan majalah al-Manar, dan juga kitab-kitab lain tentang bermacam-macam ilmu pengetahuan. Untuk meningkatkan kemampuan saya, maka saya pun melatih diri dengan menulis kitab-kitab atau risalah-risalah dalam bahasa Indonesia (maksudnya : bahasa Melayu), dan bahasa Arab, juga dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang soal-soal agama, lewat surat kepada shahib al-Manar (maksudnya Muhammad Rasyid Ridha), waktu beliau masih hidup.”

(selesai nukilan)

Diantara pertanyaan-pertanyaannya kepada Rasyid Ridha, ada pertanyaan yang sangat penting, yakni tentang :

1. Mengapa kaum muslimin terbelakang dan dalam keadaan lemah dan mundur – terutama kaum Muslimin di Indonesia dan Malaysia – baik tentang urusan keduniaannya maupun urusan keagamaannya ? Dan kita (kaum muslimin) menjadi golongan yang hina dina, tidak mempunyai daya dan kekuatan, padahal Allah menyatakan bahwa “kemuliaan” itu bagi Allah, bagi Rasul-Nya, dan bagi orang-orang yang beriman.

2. Mengapa bangsa Eropa, Amerika, dan Jepamg mencapai kemajuan yang mengagumkan ? Apakah mungkin bagi kaum muslimin memperoleh kemajuan sebagaimana yang telah dicapai oleh mereka itu ?

Syaikh Basiuni Imran menulis surat tersebut pada tahun 1929 atau 21 Rabi’ul Akhir 1348 H, namun baru dimuat dalam Majalah al-Manar pada tahun 1930 (volume 31, nomor 5).

Kedua pertanyaan ini dipandangan sangat penting oleh Rasyid Ridha. Oleh Rasyid Ridha surat tersebut kemudian dikirimkan kepada seorang Cendekiawan Muslim masyhur – Al Amir Syakib Arsalan – yang saat itu bermukim di Lausanne, Prancis, dengan harapan agar diberi jawaban yang memuaskan.

Oleh Al Amir Syakib Arsalan, pertanyaan dari Syaikh Basiuni Imran tersebut kemudian dijawab dengan tegas-jelas dan panjang-lebar, didasarkan dari ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits-Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, dengan disertai pula pandangan-pandangan yang luas, baik dari segi historis maupun segi politik, serta dari kenyataan-kenyataan yang baru terjadi di sekitar dunia Islam saat itu. Al Amir Syakib Arsalan menuliskan jawabannya pada tanggal 11 November 1930.

Jawaban Al Amir Syakib Arsalan ini kemudian dibukukan, dicetak, dan diterbitkan oleh Rasyid Ridha melalui percetakan “Al Manar” Mesir dengan diberi judul “Limadza Ta‘akhkhara al Muslimun wa Limadza Taqaddama Ghairuhum”. Cetakan pertama terbit pada 1349 H (+ 1931 M). Rasyid Ridha dalam cetakan buku tersebut ikut menyumbang kata pengantar serta beberapa ta’liq atas keterangan yang disampaikan oleh Al Amir Syakib Arsalan.

Buku tersebut kemudian menjadi viral di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Di Indonesia terjemahan buku tersebut dikerjakan oleh K.H. Moenawar Chalil, salah seorang ulama reformis yang sangat masyhur, dengan ditambahkan beberapa ta’liq oleh Beliau serta diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada tahun 1954.

Kedekatan Syaikh Basiuni Imran dengan Rasyid Ridha tak pelak memberikan pengaruh pemikiran reformis yang sangat membekas pada dirinya. Pengaruh pemikiran reformis Rasyid Ridha kepada Syaikh Basiuni Imran ini salah satunya bisa kita lihat dari pernyataan Beliau sendiri dalam muqaddimah kitab Beliau berjudul Durus Tauhid – yang merupakan terjemahan atas kitab Rasyid Ridha – sebagai berikut : 

“(‘Amma ba’du) Adapun kemudian daripada itu, maka adalah kira kira dalam tahun 1329 atau 1330 (tahun Hijjrah) saya belajar di Madrasah Dar al Dakwah wa al Irsyad di Mesir yang telah didirikan oleh Sayyid M. Rasyid Rida Shahib al Mannar. Dan adalah beliau itu mengajarkan al Qur’an dan pelajaran tauhid (ushuluddin) daripada barang yang dituliskan sendiri, maka setengah daripada murid-murid madrasah (sekolah itu) ada menyalin pelajaran atau pengajian tauhid itu dan saya dapat satu naskah daripadanya.”

“Maka saya pandang bahwa pelajaran tauhid yang diajarkan oleh tuan guru itu kepada kami sangat perlunya disiarkan di antara orang muslimin sekalipun ia pendek karena ialah akidah atau i’tiqad yang bersetuju dengan Kitabullah (al Quran) dan Sunnah Rasul Nya Muhammad SAW lagipun terlalu mudah memahamkannya.”

“Dan diadakan Madrasah Dar al Dakwah wa al Irsyad maksudnya ialah akan mengeluarkan murid murid yang cakap menunjukkan orang orang muslimin kepada agama Islam yang betul lagi bersih daripada khurafat dan bid’ah bid’ah maka sekalian pelajarannya demikian. Dari dan karena itu saya terjemahkan akan dia dengan bahasa Melayu supaya dicapai faedahnya oleh anak anak negeri saya (Sambas Borneo Barat) dan saudara saudara Islam di mana mana negeri yang mengerti Bahasa Melayu.”

“Bertambah tambah kuat kehendak saya akan menterjemahkannya ialah bahwa saya dapat kabar bahwa tuan guru kami itu Sayyid Muhammad Rasyid Ridha telah wafat (kembali ke rahmat Allah Ta’ala) di Mesir hari Kamis, 23 Jum
adil Awwal tahun 1 35. Ia dapat sakit keras terus meninggal di dalam otomobil. Ketika ia kembali dari Negeri Swiss mengantarkan Amir Sa’ud bin Imam Abdul Aziz Raja Hijaz dan Nejd hendak berlayar pulang ke Makkah Musyarrafah ialah tiada putus pahala amalnya itu.”

“Dan pelajaran ini teratur atas soal dan jawab, maka saya tulis S artinya soal – pertanyaan – dan saya tulis J artinya jawab. Dan saya namai akan ini risalah “Durus al-Tawhid al-Sayyid Muhammad Rasyid” dan ada jua saya tambah-tambah di hasyiyah itu supaya terang. Maka saya harap akan Allah Ta’ala beri manfaat dengan dia akan orang-orang yang membacanya dan mempelajarinya dengan ikhlas dan bersih hati “sesungguhnya Dia maha mendengar doa.”

(selesai nukilan)

=========================

Mengenai karya-karya lain dari Syaikh Basiuni Imran, berikut senarai karya-karya Beliau yang kami kutip dengan ringkas dari artikel berjudul “Haji Moehamad Basioeni Imran (1885 – 1976) Ulama Pembaharu dari Kerajaan Sambas Kalimantan Barat : Biografi Singkat dan Karyanya” yang ditulis oleh Zulkifli Abdillah dari IAIN Pontianak :

1. Tarjamah Durus at-Tarikh Syariat (Terjemah Pelajaran Sejarah Hukum Islam)

Kitab ini masih merupakan manuskrip terjemahan ringkas kitab Durus al-Tarikh karangan Syaikh Muhyiddin al-Khayyath, seorang ulama Beirut-Lebanon. 

Dalam pendahuluan kitab ini, Syaikh Basiuni Imran menyebut latar belakang penulisan kitab ini sebagai berikut :  

“Kemudian daripada itu maka adalah daripada [sebesar-besar] sebaik-baik amal yaitu amal yang kembali manfaatnya dan faedahnya kepada kaumnya dan anak-anak, agamanya dan bahasanya. Oleh karena itu kepinginlah saya akan amal yang seperti itu maka jika tiada dapat sekaliannya jangan ditinggalkan sekaliannya padahal bukanlah saya daripada ahli yang demikian dan bukanlah ini masa bagi yang demikian itu karena adalah saya sekarang sedang menuntut ilmu akan tetapi oleh ka[re]na yang tersebut itu tiadalah menegahkan oleh besar pekerjaan itu.”

“Apakala adalah ilmu tarikh itu daripada segala ilmu-ilmu yang besar faedahnya bagi tiap manusia tetapi ialah ilmu yang wajib atasnya ia ketahui akan dia istimewanya tarikh Nabi kita sallallahu alaihi wasallam dan tiada saya dapat sebuah kitab dengan bahasa Melayu pada tarikh Nabi kita (saw) yang patut bagi anak-anak bangsa kita Melayu, memilihlah saya akan menterjemahkan kitab Durus al-Tarikh bagi yang alim Syekh Muhyiddin al-Khayyath, daripada ahli Beirut ke bahasa Melayu. Adapun ini kitab empat bahagian yang pertama pada tarikh Nabi (saw). Yang kedua pada tarikh al-Khulafaurrasyidin. Yang ketiga pada tarikh daulah Umawiyah, dan yang keempat pada tarikh daulah Abbasiyah.”

“Dan kata pengarangnya itu dua bahagian lagi akan ia keluarkan. Maka sesungguhnya pengarangnya itu telah izinkan kepada saya menterjemahkan sekalian bahagian-bahagian kitab itu. Insya Allah akan saya terjemahkan akan bahagian pertama itu melainkan di dalam waktu yang picik dan menyambar daripada waktu bersenang.”

(selesai nukilan)

2. Bidayah at-Tauhid fi al-Ilm at-Tauhid (Dasar-dasar ke-Esa-an Allah dalam Ilmu Tauhid).

Kitab ini ditulis pada hari Rabu 13 Jumadil Awwal 1336 H (27 Maret 1918), terdiri dari 59 halaman. Dicetak oleh penerbitan al-Ahmadiyah Singapura pada tahun yang sama. Kitab berbahasa Melayu ini mungkin merupakan karya pertama Basiuni Imran yang dicetak di suatu penerbitan. 

Di dalam kata pengantarnya, Syaikh Basiuni Imran menjelaskan bahwa kitab ini merupakan saduran dari beberapa kitab, yaitu kitab al-Jawahir al-Kalamiyyah karya Syaikh Thahir al-Jazairi, kitab Kalimat al-Tauhid karya Syaikh Husain Waaly al-Mishry, dan kitab Kifayat al-‘Awwam. Diakuinya kandungan kitab ini sepenuhnya mengikuti isi kitab-kitab tersebut, sedangkan susunannya dan sistematika pembahasannya disesuaikan dengan “perasaan” orang Melayu. 

Dalam kitab Bidayah al-Tauhid fi ‘Ilm al-Tauhid ini Syaikh Basiuni Imran menegaskan bahwa mempelajari pokok-pokok agama (ushuluddin) secara garis besarnya adalah hukumnya wajib peorangan (fardhu ‘ain) bagi setiap ‘aqil baligh (muslim dewasa) sedangkan mempelajarinya secara rinci hukumnya wajib fardhu kifayah. 

Kitab ini ditulis tidak saja menjelaskan pokok-pokok akidah Islam akan tetapi juga untuk memurnikan dan meluruskan keyakinan dan amal keagamaan yang menyimpang dari ajaran-ajaran syariat berdasarkan kepada al-Quran serta sunnah yang sahih dan qath’i (bersifat pasti).

3. Risalah Cahaya Suluh 

“Risalah Cahaya Suluh, Pada Mendirikan Jumat Kurang Daripada Empat Puluh” selesai ditulis pada waktu Maghrib malam Jumat 22 Safar 1339 H (14 Oktober 1920 M). Dicetak pada tahun yang sama di percetakan al-Ikhwan, Singapura. 

Risalah Cahaya Suluh juga ditulis dalam edisi bahasa Arab dengan judul al-Nushush wa al-Barahin ‘ala Iqamat al-Jumu’ah bi mad al-‘Arba’in, (“Beberapa Nash dan Argumentasi tentang Mendirikan Shalat Jumat yang Kurang dari 40 Orang”). Dicetak di percetakan al-Manar Kairo tahun 1344 H / 1925 M.

Tujuan penulisan risalah Cahaya Suluh ini dapat dilihat dari penjelasannya kepada Pijper pada tahun 1950, sebagai berikut : 

“Di kerajaan Sambas orang jarang shalat Jumat, bahkan Masjid Agung di ibu kota saja hanya dikunjungi oleh kurang lebih 500 orang ; dan ini sangat sedikit bagi suatu kota besar. Inilah yang menyebabkan hatinya tergugah untuk memperkenalkan qaul qadim Imam asy-Syafi’i yang mengizinkan shalat Jumat dengan jama’ah kurang dari empat puluh orang, namun demikian shalatnya tetap sah. Pendapat ini dilaksanakan di Kerajaan Sambas dan tentang ini tidak pernah timbul pertentangan.”  

(selesai nukilan)

Dalam pengantarnya Syaikh Basiuni Imran menjelaskan bahwa naskah ini ditulis sebagai jawaban atas berbagai pertanyaan dan permintaan fatwa kepadanya tentang hukum sah atau tidak shalat Jumat yang jamaahnya kurang dari empat puluh orang serta bagaimana kedudukan shalat mua’dah (mengulanginya dengan shalat Zuhur) setelah Jumat. Di samping itu banyak pula fatwa-fatwa liar tentang masalah ini yang simpang siur dan berkembang di tengah-tengah masyarakat sehingga membingungkan mereka, bahkan kadang-kadang menimbulkan perselisihan. 

4. Dzikr al-Maulid al-Nabawi (Mengingat Kelahiran Nabi) 

Kitab Dzikr al-Maulid al-Nabawi adalah karangan Muhammad Rasyid Ridha yang cukup besar. Untuk itu lebih mudah memahaminya Syaikh Basiuni Imran menerjemahkannya secara ringkas. 

Pada bagian pengantar kitab Dzikr al-Maulid al-Nabawi  ini Syaikh Basiuni Imran menjelaskan sebagi berikut : 

“Maka adalah didalam beberapa tahun lalu saya menulis surat ke hadrat al-‘Allamah al-Mushlih al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha Shahib al-Manar di Mesir mohon akan ditunjukkan kepada saya satu kitab atau risalah yang patut dan bagus untuk menunjuki orang-orang muslimin kepada jalan kebenaran dan kebagusan agama Islam untuk memanggil akan orang-orang asing kepada agama yang mulia itu, dan saya berjanji dengan dia apabila ada itu kitab atau risalah maka saya terjemahkan risalahnya (Dzikr al-Maulid al-Nabawi) ringkasan perjalanan dan ceritera Nabi kita Muhammad SAW, maka saya pun terjemahkan mukhtasar-nya di dalam bulan Ramadan tahun 1374 [sekitar 1928] karena hendak mengambil pendeknya.” 

(selesai nukilan)

Kandungan kitab ini memuat masalah acara memperingati kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW, yaitu apakah hukumnya sebagai suatu kegiatan mengada-ada yang baik (bid’ah hasanah) atau yang tercela (bid’ah sayyi’ah). 

5. Tadzkir (Peringatan) 

Judul lengkap kitab ini adalah Tadzkir, Sabil al-Najah fi Tar
ik al-Shalah (Jalan Kelepasan pada Mengingati Orang yang Meninggalkan Sembahyang). Kitab ini selesai ditulis di Sambas pada hari Rabu, 9 Rabiul Awwal 1349 H (3 September 1930 M). Kemudian dicetak oleh percetakan al-Ahmadiyah, Singapura, pada 23 Sya’ban 1349 H (12 Januari 1931 M). 

Sasaran kitab ini adalah kepada tiga kelompok orang Islam. Pertama, mengingatkan orang yang tidak mau shalat, dengan menunjukkan betapa besarnya dosa orang yang tidak mau shalat. Kedua, mengingatkan orang yang tidak tahu shalat, dengan mengemukakan syarat, rukun serta tata cara shalat. Ketiga, mengingatkan orang yang belum sempurna shalatnya, dengan menjelaskan perlunya tertib, khusyu’ dan mengerti serta memahami bacaan shalat. 

Beberapa kitab yang dijadikan rujukan resmi Syaikh Basiuni Imran dalam menulis karya ini adalah: Kitab al-Zawajir karangan Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, kitab al-Adzkar karangan Imam Nawawi, Majalah al-Manar edisi 31, dan kitab Muhadzdzab. 

6. Khulashah Sirah al-Muhammadiyyah (Ringkasan Sejarah Hidup Muhammad) 

Kitab Khulashah Sirah al-Muhammadiyyah adalah kitab sejarah karangan Muhammad Rasyid Ridha. Syaikh Basiuni Imran menambahkan kata-kata Hakikat Seruan Islam pada judul terjemahannya. Terjemahan setebal 89 halaman ini selesai ditulis setelah shalat Isya pada malam Ahad, 29 Sya’ban 1349 H / 18 Januari 1931 M. Kemudian dicetak oleh percetakan al-Ahmadiyah, Singapura, tahun 1351 H / 1931 M. Naskah ketikan juga ditemukan yang berbahasa Melayu beraksara Latin, namun beberapa halaman hilang.

Dalam pengantar kitab Khulashah Sirah al-Muhammadiyyah  (Ringkasan Sejarah Hidup Muhammad) ini, Syaikh Basiuni Imran menyampaikan keterangan tentang penulisan kitab ini: 

“Kemudian datang surat beliau (Muhammad Rasyid Rida) itu bertarikh 20 Jumadil Akhir 1349 bersamaan 11 Nopember 1930 jawab surat saya di dalam perkara hendak menterjemahkan kitab-kitab ke dalam bahasa Melayu maka katanya: “Tuan mulailah dengan menterjemahkan risalah kami (Khulasah Sirah Muhammadiyah) yang ia pungut dari Zikr al-Maulid”, serta tuan sayyid itu kirim satu naskah kepada saya.”

(selesai nukilan) 

Kandungan kitab ini memuat petunjuk bagi orang-orang Islam untuk tetap berada pada jalan kebenaran dan kebaikan, mengajak orang lain untuk masuk Islam. Di samping itu dimuat juga tafsir al-Quran. Kitab ini juga berbicara masalah ushul (pokok-pokok akidah Islam). Di bagian akhir kitab, penulis menambahkan keterangan tentang hukum maulid, apakah bid’ah yang baik atau yang jelek. 

7. Nur al-Siraj fi Qishshah al-Isra’ wa al-Mi’raj (Cahaya Pelita pada Ceritera Isra’ dan Mi’raj) 

Kitab ini ditulis oleh Syaikh Basiuni Imran pada bulan Rajab 1334 H / 1916 M yang selesai selama dua hari, kemudian direvisi pada hari Jumat, 23 Jumadil Akhir 1357 H / 19 Agustus 1938 M. ditulis dengan huruf “Jawi” (Arab Melayu), seluruhnya berjumlah 26 halaman. 

Dalam kitab ini Syaikh Basiuni melontarkan 2 isu yang cukup kontroversial. Pertama, pemikirannya mengenai malaikat mimpi. Beliau membedakan antara mimpi biasa dengan Isra’ dan Mi’raj. 

Dalam mimpi biasa ruh tidak pergi kemana-mana, sedangkan dalam peristiwa Isra’ Mi’raj Malaikat Mimpi yang mendatangkan berbagai peristiwa yang dialami di dalam mimpi. 

Isu kedua, adalah perihal pendapat Beliau yang menetapkan bahwa shalat wajib yang dikehendaki Allah sejak semula adalah lima kali.

8. Al-Jana-iz (Kitab Jenazah) 

Kitab al-Jana-iz ditulis oleh Syaikh Basiuni Imran di Sambas pada masa pemerintahan Jepang. Selesai ditulis di Sambas pada 15 Rabiul Awwal 1362 H/1943 M (kalender Jepang: 21 Sigitsu 2603). 

Dalam kitab perihal kematian. Dalam pembahasannya, Syaikh Basiuni Imran menggunakan tiga sandara. Pertama, bersandar kepada keterangan al-Quran, Sunnah Rasulullah SAW, dan pendapat ulama terdahulu terutama ulama mazhab Syafi’i. Kedua, bersandar kepada pemikiran-pemikiran kontemporer pada masa itu terutama kepada pemikiran Rasyid Ridha. Ketiga, berijtihad sendiri setelah memperhatikan dan membandingkan berbagai pendapat yang ada. 

9. Irsyad al-Ghilman fi Adab Tilawah al-Qur’an (Petunjuk Praktis untuk Anak tentang Adab Membaca al-Quran) 

Kitab ini selesai ditulis Basiuni Imran pada tanggal 5 Syawal 1352 (21 Januari 1934). Kemudian diterbitkan dan dicetak pada percetakan al-Ahmadiyah Singapura. 

Dalam kata pengantar bukunya Syaikh Basiuni Imran menjelaskan: 

“Dan Quran itu untuk beribadah dengan lafadz-lafadznya yakni dibaca akan dia baik pun di dalam sembahyang atau di luar sembahyang dan paham akan maknanya atau tiada maka semuanya itu diberi pahala atasnya asal dengan betul dan ikhlas akan tetapi Quran itu diturunkan ialah supaya dibaca akan dia dengan betul dan dipahamkan maknanya dan maksudnya karena di dalamnya hidayah (petunjuk) kepada jalan kebajikan dunia dan akhirat dan cahaya yang sangat terang bagi segala hati dan akal maka orang yang membaca Quran tiada paham akan maknanya dan maksudnya sedikitlah bahagian daripadanya”. 

(selesai nukilan)

Sistematika pembahasan kitab ini terdiri dari : Hukum menyentuh Mushaf, Adab Membaca al-Quran, Sunnah-sunnah yang berkaitan dengan membaca al-Quran; dan perihal sujud tilawah. 

10. Durus al-Tauhid (Pelajaran-Pelajaran tentang Tauhid)

Kitab ini selesai ditulis Basiuni Imran pada tanggal 20 Rajab tahun 1354 (18 Oktober 1935). Kemudian diterbitkan dan dicetak pada percetakan al-Ahmadiyah Singapura. Menurut keterangan Basiuni Imran, karya ini merupakan terjemahan dari kuliah-kuliah Muhammad Rasyid Rida, sebagaimana telah disinggung sebelumnya. 

Selain kitab-kitab tersebut di atas, ada juga kitab Khutbah Jumat, Hari Raya Aidilfitri, Hari Raya Aidiladha dan Gerhana, ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu (khusus khutbah gerhana) dicetak oleh Mathba’ah al-Ahmadiah, tanpa tahun. 

Pijper dalam bukunya berjudul “Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900 – 1950”, menambahkan list beberapa kitab karya Syaikh Basiuni Imran lainnya, berdasarkan keterangan dari Syaikh Basiuni Imran sendiri dalam korespondensinya dengan Pijper. 

Beberapa kitab tersebut adalah sebagai berikut : 

1. Dhau’ al-Mishbah fi Faskh al-Nikah (Cahaya Lampu Untuk Membatalkan Nikah) 

Kitab ini dicetak di Penang pada tahun 1938 M. Kandungan kitab ini membahas suatu persoalan yang timbul dalam kehidupan beragama yaitu faskh nikah. Menurut Pijper, Syaikh Basiuni Imran memberikan keterangan padanya bahwa kebiasaan “ta’liq”, yaitu thalaq bersyarat dan diucapkan pada waktu upacara pernikahan dilangsungkan tidak dikenal di daerah Sambas. Pembatalan pernikahan biasanya dilaksanakan dengan jalan fasakh (menyatakan tidak berlaku lagi). Tentu saja harus ada alasan yang kuat untuk mengajukan faskh dan ini harus diajukan kepada Maharaja Imam. Dan beliaulah yang menangani semua urusan yang berhubungan dengan faskh di seluruh Kerajaan Sambas. 

2. Husn al-Jawab ‘an Itsbat al-Ahillah bi al-Hisab (Molek Jawaban tentang Menetapkan Awal Bulan Dengan Hitungan). 

3. Manhal al-Gharibin fi Iqamat al-Jumu’ah bi dun al-‘Arba’in (Pendapat Orang yang Asing tentang Melaksanakan Shalat Jumat Kurang dari Empat Puluh Orang) 

Risalah ini ditulis pada 14 Ramadan 1332 H / 1914 M. Mungkin tidak diterbitkan karena menurut Basiuni Imran risalah ini masih berlanjut. 

4. Al-Tadzkirat Badi’ah fi Ahkam al-Jum’ah (Peringatan Bagi yang Mengada-ada dalam Hukum Shalat Jumat) 

Risalah ini merupakan kelanjutan risalah Manhal, ditulis dalam
bahasa Arab dan selesai ditulis pada 17 Muharram 1339 H / 1920 M. Menurut keterangan Basiuni Imran risalah ini juga bersambung dan mungkin kitab yang menyempurnakannya adalah kitab al-Nushush al Barahin. 

Selain karya-karya Basiuni Imran yang dipublikasi seperti tersebut di atas, masih terdapat beberapa manuskrip yang belum sempat diterbitkan antara lain: Tafsir Surat-surat Pendek, Tafsir Ayat Puasa, Penetapan Awal Bulan, terjemahan al-Umm al-Syafí, beberapa buku harian, dan sejumlah naskah Kullijatul Muballighin (1967). 

=========================

Zulkifli Abdillah juga menambahkan bahwa salah satu naskah yang ditemukannya di museum di Sambas karya Syaikh Basiuni Imran adalah naskah ketikan berjudul “Al-Ibanatoe wal Inshafoe fil Masaailiddiniah wa Izalati at Tafarruqi fiha wal Ichtilaaf (Menjatakan dan Menengahi (mengadili) pada Masalah Agama dan Menghilangkan Berpetjah Belah dan Bersalah-salahan padanya)”, berbahasa Melayu beraksara Latin. Naskah ini belum dipublikasikan dan naskahnya masih utuh. 

Menurut Zulkifli Abdillah, naskah tersebut sangat penting untuk dipahami, khususnya jika ingin memahami pandangan-pandangan Syaikh Basiuni Imran sebagai seorang pembaharu. 

Mengikuti pendapat Rasyid Ridha, Syaikh Basiuni Imran dalam naskah ini berupaya menjelaskan bahwa pintu ijtihad masih tetap terbuka bagi siapa saja. Menurut Zulkifli Abdillah, Syaikh Basiuni Imran terkesan berupaya agak memperlunak syarat-syarat untuk menjadi seorang mujtahid. Syaikh Basiuni Imran tidak setuju dengan sikap taqlid dan jumud yang menggejala di tubuh umat Islam, karena sikap tersebut mengarahkan umat untuk berselisih dan berpecah belah. Oleh karenanya perlu diupayakan secara konseptual dan praktis untuk mengeluarkan umat Islam dari perselisihan dan perpecahan. Dan naskah yang ditulis Syaikh Basiuni Imran ini mengambil posisi di sini.

Selanjutnya Zulfikli Abdillah menyimpulkan pandangannya terhadap naskah Syaikh Basiuni Imran tersebut dengan menyatakan sebagai berikut :

“Jika ditelaah apa yang ditulis dalam naskah ini, terkesan bahwa Basiuni Imran cenderung pada madzhab Ahmad bin Hanbal dan mengikuti pendapat Ibnu Taimiyah. Hal ini dapat dipahami mengingat ia adalah murid dari Muhammad Rasyid Ridha. Seperti yang dikemukakan oleh Harun Nasution bahwa Muhammad Rasyid Ridha masih terikat pada pendapat-pendapat Ibnu Hanbal dan Ibnu Taimiyah. Gerakan Muhammad bin Abd al-Wahab – karena semadzhab – ia sokong dengan kuat.  Apakah Basiuni Imran juga cenderung kepada aliran Wahhabi, sebagaimana gurunya ? Tidak dapat kita nyatakan secara pasti. Yang jelas, di dalam naskah ini Basiuni Imran tidak senang umat Islam saling mengejek dengan memberi gelar-gelar yang tidak pantas kepada saudaranya sesama muslim, termasuk menyebut atau menggelari seseorang sebagai Wahhabi.”

(selesai nukilan)

=========================

Kebesaran jasa Syaikh Basiuni Imran dalam melakukan pembaharuan Islam di Nusantara juga mendapatkan pengakuan dari ulama-ulama dan tokoh-tokoh lainnya.

Buya HAMKA pernah menyatakan bahwa Syaikh Basiuni Imran merupakan “mutiara yang terpendam, ilmu dan pengetahuan Basuni Imran sungguh dalam dan luas”.

Haji Agus Salim juga pernah mengatakan : “Andai sahaja Maharaja Imam Haji Muhammad Basiuni Imran duduk berdiam di Jakarta, ilmu dan pengetahuannya akan dapat lebih bermanfaat dan lebih mudah dikembangkan”.

Syaikh Basiuni Imran sendiri wafat pada tanggal 29 Rajab 1396 H/27 Juli 1976 M dalam usia kurang lebih 91 tahun karena sakit dan usia yang sudah lanjut.  Keesokan harinya, jenazah dibawa ke Sambas dan disalatkan di Masjid Raya Sambas serta dimakamkan di pemakaman keluarganya di Kampung Dagang Timur, Sambas, Kalimantan Barat.

Semoga Allah merahmati Beliau. 

=========================

Referensi :

Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900 – 1950, karya G.F. Pijper.

Mengapa Kaum Muslimin Mundur, karya Al Amir Syakib Arsalan (terjemahan oleh K.H. Moenawar Chalil).

Haji Moehamad Basioeni Imran (1885 – 1976) Ulama Pembaharu dari Kerajaan Sambas Kalimantan Barat : Biografi Singkat dan Karyanya, karya Zulkifli Abdillah.

Jaringan Intelektual Islam Kalimantan Barat Abad ke-20 (Sebuah Analisis Sejarah), karya Didik M Nur Haris.

Kajian Intertekstualitas Tafsir Ayat Ash-Shiyam Karya Muhammad Basiuni Imran dan Tafsir Al Manar Karya Muhammad Rashid Rida, karya Ihsan Nurmansyah.

Kontruksi dan Tipologi Pemikiran Muhammad Basiuni Imran (1885 – 1976 M) Sambas, Kalimantan Barat dalam Literatur Tafsir, karya Wendi Parwanto.

Pembaruan Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Basiuni Imran, karya Nurman Said, dkk.

Pemikiran Keagamaan Muhammad Basuni Imran, karya Didik M. Nur Haris & Rahimin Affandi Abd Rahim.

Resonansi Maharaja Imam Muhammad Basiuni Imran (1885-1976) di Sambas, karya Sunandar, Duski Ibrahim dan Nor Huda.

Dan lainnya.

About semar galieh

Check Also

Bolehkah Mengakikahi Diri Sendiri Setelah Dewasa?

Fikroh.com – Sebelumnya perlu untuk diketahui, bahwa akikah hukumnya sunah muakadah (sunah yang ditekankan), bukan …