Fikroh.com – Mengingat kurban adalah ibadah yang ketentuan pelaksanaannya telah ditetapkan oleh syariat maka termasuk didalamnya syarat-syarat orang yang boleh menyembelih kurban. Ada dua syarat, syarat kompetensi dan syarat sySyar’
1. Syarat Kompetensi
- Mampu menggunakan alat sembelihan dengan baik.
- Mampu melukai hingga darah mengalir.
- Mampu mengenali tanda-tanda hewan yang masih hidup.
- Mampu mengenali tanda-tanda kematian hewan.
“Para ulama bersepakat bahwa sembelihan yang memutus dua urat nadi, saluran makanan dan saluran pernafasan, maka boleh dimakan sembelihannya.”
Terjadi perbedaan pendapat ulama dari 4 organ vital diatas, berapakah syarat minimal yang harus dipotong? Apakah wajib semuanya atau tidak harus?
Ibnu Rusydi rahimahullah membawakan dua buah hadits yang menunjukkan bagian apa yang harus dipotong. Hadits pertama adalah haditsnya Râfi’ bin Khudaij radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
“Apa yang membuatnya darahnya sudah mengalir dan disebutkan nama Allah, maka makanlah.” (Muttafaqun alaih).
Al-Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslimnya berkata :
“Dalam hadits ini ada penjelasan yang gamblang bahwa dipersyaratkan dalam penyembelihan bagian apa yang terputus dan mengalirnya darah”. -selesai-.
Ini isyarat bahwa dua nadi adalah minimal yang harus dipotong, karena dengan terputusnya, maka darah akan mengalir. Hal ini diperjelas lagi dengan hadits Abu Umâmah radhiyallahu anhu secara marfu’ :
“Makanlah, apa yang telah terputus urat nadinya.” (HR. Thabarani, dishahihkan oleh al-Albani).
Pemerintah kita telah menyerahkan kepada lembaga profesi untuk menetapkan standar kriteria seorang tukang sembelih yang berkompeten melalui sertifikasi kompetensi, maka tentunya bagi yang ingin menjadi penyembelih profesional, mendapat pengakuan kompeten dari lembaga independen itu lebih bagus lagi. Wallahu Ta’âlâ A’lam.
2. Syarat-syarat Syar’i
Selain kemampuan yang telah disebutkan dimuka. Seorang jagal hewan kurban wajib memenuhi syarat-syarat berikut ini:
Pertama, Membaca Tasmiyyah
Apakah membaca tasmiyah termasuk syarat menyembelih hewan kurban?
Al-‘Allâmah ibnu al-Qathân rahimahullah dalam kitab Ijma-nya (I/319) berkata :
“Para ulama sepakat bahwa sembelihan ahlu kitab bahwa ia dimakan -sekalipun tidak menyebutkan nama Allah Ta’âlâ – selama ia tidak menyebut nama selain Allah.”
Dalam keterangan yang lalu kami telah menyebutkan terkait hukum sembelihan yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, silakan merujuk kesana.
Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitabnya “al-Muhallâ” (VI/78) merajihkan bahwa sembelihan yang tidak disebut nama Allah haram statusnya, kata beliau :
وَلَا يَحِلُّ أَكْلُ مَا لَمْ يُسَمَّ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ بِعَمْدٍ أَوْ نِسْيَانٍ.
“Tidak halal memakan sembelihan yang tidak disebutkan nama Allah atasnya baik sengaja maupun lupa. Dalilnya adalah Firman Allah Ta’âlâ:
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (QS. Al-An’âm : 121). -selesai-.
Asy-Syafi’iyyah juga berdalil dengan Firman Allah Ta’âlâ :
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, …. diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya….” (QS. Al-Maidah : 3).
Al-Imam Yahya al-‘Imrâniy (w. 558 H) rahimahullah dalam kitabnya “al-Bayân fî Mazhab al-Imam asy-Syâfi’i” (IV/452) berdalil dengan keumuman FirmanNya “kecuali yang sempat kamu menyembelihnya”, yakni:
“Tidak dibedakan dalam ayat ini antara disembelih dengan bertasmiyyah atau tidak bertasmiyyah.”
Tentunya, kami merekomendasikan dalam permasalahan seperti ini untuk menerapkan kaedah “Khurûj minal Khilâf”, yakni tidak ada salahnya penyembelih untuk membaca tasmiyyah, terlebih pada moment penting kurban Idul Adha tentu masalah tasmiyyah akan menjadi perhatian orang yang berkurban dan yang menyaksikannya.
Kemudian sebagai tambahan faedah, apabila yang menyembelih tidak membaca tasmiyyah, apakah tasmiyyah yang dibacakan orang lain, semisal yang mungkin terjadi di masyarakat yang menjadi eksekusi penyembelihan adalah tukang jagal, dan kebetulan tukang jagalnya orang fasik yang kelu lidahnya membaca tasmiyyah, kemudian ia didamping ustadz yang membacakan tasmiyyah disampingnya. Apakah sembelihannya sah, atas asumsi pendapat yang mewajibkannya?
Darul Ifta Mesir telah berfatwa menjawab permasalahan ini, diantara dalil bahwa yang dianggap tasmiyyahnya adalah yang menyembelih, karena Allah Ta’âlâ berfirman:
“Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya)”. (QS. Al-Maidah : 4).
Dhamir “عَلَيْهِ” kembali kepada yang disembelih dan konteksnya adalah yang membaca tasmiyyah orang yang menyembelih, sebagaimana disyariatkan membaca tasmiyyah juga ketika berwudhu, tidak ada yang lain yang membacanya kecuali orang yang berwudhu itu sendiri.
Kemud
ian diakhir fatwanya, Dârul Ifta membawakan ucapan Imam Syaukani rahimahullah dalam kitabnya “as-Sail al-Jarâr” (IV/65) :
“Berdasarkan hal ini, tasmiyyah dari selain yang menyembelih tidak sah dalam penyembelihan kurban atas mazhab yang mewajibkannya, jika ia tidak sengaja tidak membaca tasmiyyah, maka bertaklidlah kepada pendapat yang mengatakan lupa tasmiyyah (tidak mengapa), sehingga sembelihannya halal dan tidak berdosa bagi yang memakannya.”
Kedua, Beragama Samawi
Syarat yang kedua untuk penyembelihnya adalah beragama Islam dan ini adalah sesuatu hal yang tidak diperselisihkan lagi atau boleh juga penyembelihnya beragama dengan agamanya ahlu kitab yaitu Yahudi dan Nashrani. Al-Imam Ibnul Mundzir rahimahullah dalam kitabnya “al-Ijma” (no. 256, tahqiq DR. Abu Hammâd Shaghîr) mengatakan :
“Para ulama bersepakat bahwa sembelihan ahlul kitab halal bagi kita, jika mereka menyembelinya menyebut nama Allah.”
DR. Abu Hammâd, pentahqiq kitab diatas menukil ijma juga dari al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya “al-Mughni” (VIII/567), lalu al-Imam membawakan dasar Ijma-nya dari Kitabullah :
“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.” (QS. Al-Maidah : 5).
Bahkan seandainya kafir tersebut adalah Harbi, al-Imam Ibnul Mundzir menukil kesepakatan ulama atas halalnya sembelihan kafir harbi (no. 257), kecuali al-Imam Malik rahimahullah yang tidak memperbolehkan memakan lemak sembelihan Yahudi.
Yang dimaksud “طَعَامُ” dalam ayat yang mulia diatas adalah sembelihan mereka, al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan :
“Ibnu Abbas dan Abu Umamah radhiyallahu anhumâ, Mujahid, Sa’id ibnu Jubair, Ikrimah, Athā, Al-Hasan, Makhûl, Ibrahim An-Nakha’i, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan rahimahumullah semuanya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan makanan disini adalah sembelihan mereka (orang-orang Ahli Kitab).
Masalah ini telah disepakati di kalangan para ulama, bahwa sesungguhnya sembelihan Ahli Kitab itu halal bagi kaum muslim, karena mereka pun mengharamkan sembelihan yang diperuntukkan bukan selain Allah dan dalam sembelihan mereka tidak disebutkan kecuali hanya nama Allah, sekalipun mereka berkeyakinan terhadap Allah hal-hal yang Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Suci lagi Maha Agung dari apa yang mereka katakan.” -selesai-.
Adapun penyembelih yang beragama selain ahlu kitab, maka sembelihannya adalah haram. Al-Imam Ibnul Mundzir (no. 258) menukil kesepakatan ulama atas haramnya sembelihan orang Majusi, kecuali dinukil dari Sa’ib ibnul Musayyib yang memperbolehkannya.
Al-‘Allâmah ibnu al-Qathân al-Fâsiy (w. 628 H) rahimahullah dalam kitabnya “al-Iqnâ’ fî Masâ`il al-Ijmá'” (I/321) memperkuatnya juga dengan mengatakan :
“Para ulama bersepakat bahwa Majusi dan penyembah berhala (Musyrikin), seandainya mereka menyebut nama Allah ketika menyembelih, tetap saja tidak boleh dimakan sembelihannya.”
Demikian juga dengan orang yang murtad dari Islam, tidak halal sembelihannya, masih kata beliau rahimahullah di halaman yang sama di kitabnya :
“Para ulama bersepakat bahwa sembelihannya orang yang murtad adalah haram atas kaum Muslimin, kecuali al-Auzâ’iy yang menghalalkannya.”
Adapun dalil bahwa selain ahlul kitab haram sembelihannya, maka al-‘Allâmah Shâlih al-Fauzân dalam disertasi doktoralnya yang berjudul “al-Ath’imah wa Ahkâm ash-Shoid wa adz-Dzabâ`ih” sebagaimana dinukil Islam.web mengatakan:
“Mafhûm (dari ayat 5 Al-Maidah diatas) adalah pengharaman makanan (sembelihan) selain mereka dari para penganut agama kafir, karena mereka tidak memiliki kitab, maka tidak halal sembelihan mereka.” -selesai-.
Adapun terkait kurban, maka jika seorang Muslim mewakilkannya kepada ahlul kitab untuk menyembelihnya, dinukil fatwa al-Imam Ahmad dalam dokumentasi “Masâilnya Ishaq al-Kausaj” :
“Adapun untuk kurban, maka tidak boleh, sedangkan selain itu tidak masalah.”
Demikian juga yang difatwakan oleh Imam Ishaq bin Rahawaih.
Namun dalam riwayat Hanbal, al-Imam Ahmad rahimahullah berfatwa :
“Tidak mengapa orang Yahudi dan Nashrani menyembelihkan kurban seorang Muslim, namun jika penyembelihnya seorang Muslim lebih aku sukai.” (Via Jâmi’ lil Ulûm al-Imam Ahmad, VIII/344).
Prof. DR. Wahbah az-Zuhailiy dalam kitabnya “Al-Fiqh al-Islâmiy” (IV/2733-2734) menyebutkan sisi kemakruhannya :
“Jika orang yang berkurban tidak pandai menyembelih, maka ia boleh mewakilkannya kepada orang lain, yang Muslim bukan yang ahlul kitab, karena sembelihan ahlul kitab (dalam hal ini) makruh, disebabkan kurban itu adalah pendekatan diri, sedangkan mereka bukan ahlinya, namun seandainya mereka menyembelihnya dengan niat untuk seorang Muslim, maka boleh, karena ia termasuk yang berkompeten untuk menyembelihnya.”
Ketiga, Berakal
Para ulama fiqih telah membahas syarat-syarat bagi penyembelih hewan, yang patut kita jadikan petunjuk ketika seorang hendak menyembelih hewan termasuk didalamnya untuk kurban atau menyerahkannya kepada penyembelih lain. Syarat-syarat tersebut yaitu :
1. Penyembelihnya berakal, sama saja baik laki-laki maupun perempuan. Sudah baligh maupun belum baligh, asalkan si anak tersebut sudah mumayyiz, menurut mayoritas ulama. DR. Muhammad Na’im hafizhahullah berkata dalam kitabnya “Masâ`il al-Jumhûr” (I/431) :
“Mayoritas para ulama berpendapat atas bolehnya penyembelihan anak kecil yang berakal dan sudah mumayyiz, tidak dimakruhkan sama sekali.
Dinukil oleh Ibnu Rusydi dari Abu ash-Sho’b bahwa beliau memakruhkannya.”
Asy-Syaikh Abu Mâlik Kamâl hafizhahullah menambahkan bahwa al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah berpendapat tidak sahnya penyembelihan anak kecil yang belum baligh, alasannya karena mereka bukan obyek Mukall
af dalam FirmanNya :
“Kecuali apa yang KALIAN telah sembelih.” (QS. Al-Maidah : 3).
Akan tetapi pendapat jumhur lebih kuat, karena niat dan kehendaknya anak kecil yang sudah tamyiz itu sah, serupa dengan yang sudah baligh.
Kemudian terkait sembelihannya wanita, Asy-Syaikh Abdul Azhim al-Badawiy hafizhahullah dalam kitabnya “al-Wajîz” (hal. 542) mengklaim Ijma atas keabsahan sembelihannya wanita, kata beliau :
“Bolehnya penyembelihan wanita berdasarkan kesepakatan para ulama.”
Adapun al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah dalam kitabnya “Marâtib al-Ijma” (hal. 147) tidak berani memastikan terjadinya ijma, kata beliau :
“aku tidak mengetahui adanya perselisihan pendapat terkait bolehnya memakan sembelihan wanita Muslimah yang berakal dan baligh berdasarkan persyaratan yang telah kami sebutkan terkait sembelihan laki-laki, namun aku tidak memastikan bahwa hal tersebut adalah Ijma (kesepakatan para ulama).”
Kemudian menurut asy-Syaikh Abdul Azhim dan para ulama selainnya bahwa yang lebih utama penyembelihnya adalah laki-laki karena mereka lebih kuat dalam menyembelih dibandingkan wanita.
Prof. DR. Wahbah az-Zuhailiy dalam kitabnya “al-Fiqh al-Islamiy” (III/653) menambahkan baik wanita tersebut dalam kondisi suci, sedang haidh, maupun dalam kondisi junub, semuanya sah sembelihannya, karena tidak ada dalil yang mengecualikannya. Beliau juga membawakan dalil keabsahan sembelihan wanita dari haditsnya Mu’adz bin Sa’ad radhiyallahu anhu yang mengabarkan :
“bahwa budak wanita Ka’b bin Malik mengembalakan kambing di daerah Sal’, lalu salah satu kambingnya terkena sakit hingga ia pun menyembelihnya dengan batu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang hukum (daging sembelihannya), Beliau menjawab: “Makanlah.” (HR. Bukhari).
Prof. Wahbah juga memperinci untuk penyembelih diatas baik laki-laki maupun perempuan termasuk didalamnya orang yang buta, tidak mengurangi keabsahannya, juga orang yang fasik, karena menurut beliau dalilnya umum, tidak ada pengecualian.
Terkait sembelihannya orang yang buta, maka Syafi’iyyah sepakat akan keabasahannya, hanya saja mereka memakruhkannya, alasannya karena khawatir salah potong. Lajnah Daimah Saudi Arabia (fatwa no. 17363) yang pada waktu itu diketuai oleh asy-Syaikh bin Baz rahimahullah pernah berfatwa :
“Jika orang yang buta bisa menemukan tempat yang disembelih dan tidak dikhawatirkan meleset dari tempat yang disembelih secara syar’i, maka boleh baginya untuk menyembelih menurut pendapat yang rajih diantara dua pendapat ulama, karena keumuman dalil bolehnya sembelihan seorang Muslim dan tidak terdapat pengecualian (dalam hal ini).”
Kemudian terkait sembelihannya orang yang fasik, maka mayoritas ulama menganggapnya sah sembelihannya. DR. Muhammad Na’im dalam kitabnya “Maushû’ah Masâ`il al-Jumhûr” (I/430) mengatakan :
“Mayoritas ulama mengatakan atas bolehnya memakan sembelihannya pencuri, Ghashib dan orang yang menyembelih hewan milik orang lain. Ini adalah pendapatnya az-Zuhri, Yahya bin Sa’id al-Anshoriy, Rabî’ah, Malik, Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i.
Thawus, Ikrimah dan Ishaq bin Rahawaih memakruhkannya, dinukil oleh Ibnu Rusydi dari Ishaq dan Dawud azh-Zhahiriy.
Dalil jumhur ulama atas kebolehannya sembelihannya orang fasik adalah hadits salah seorang laki-laki Anshar yang berkata :
“saya pernah melayat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu saya melihat Beliau menasehati penggali kubur seraya bersabda: “luaskanlah bagian kaki dan kepalanya”.
Setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pulang, Beliau diundang oleh seorang perempuan. Rasulullah memenuhi undangannya, dan saya ikut bersama Beliau. Ketika beliau datang, lalu makanan pun dihidangkan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mulai makan lalu diikuti oleh para undangan.
Pada saat Beliau akan mengunyah makanan tersebut, Beliau bersabda : “aku merasa daging kambing ini diambil dengan tanpa izin pemiliknya”.
Kemudian perempuan tersebut bergegas menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan berkata : “Wahai Rasulullah saya sudah menyuruh orang pergi ke Baqi’ (pasar hewan), untuk membeli kambing, namun tidak mendapatkannya. Kemudian saya menyuruh tetangga saya yang telah membeli kambing, agar kambing itu dijual kepada saya dengan harga yang umum, akan tetapi ia tidak ada. Maka saya menyuruh menemui isterinya dan ia pun mengirim kambingnya pada saya.”
Rasulullah pun berkata : “berikanlah makanan ini kepada para tawanan”. (HR. Abu Dawud, dishahihkan o
leh al-Albani).
Al-Imam ibnu Hazm menentang keras pendapat ini, yaitu memakan sembelihan hewan hasil pencurian atau yang semisalnya, karena itu adalah sembelihan yang batil, sedangkan kita dilarang memakan harta yang batil, sebagaimana FirmanNya :
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil.” (QS. Al-Baqarah : 188).
Menurut kami pendapat al-Imam Ibnu Hazm ini yang rajih, terlebih lagi dalam hadits laki-laki Anshar tadi Rasulullah tidak mau memakan sembelihan ini dan boleh jadi perintah Beliau untuk memberikannya kepada tawanan, karena mereka adalah orang-orang kafir. Penulis Kitab “‘Aun al-Ma’bûd Syarah Sunan Abu Dawud” berkata :
“Ath-Thîbiy rahimahullah berkata : “para tawanan tersebut adalah orang-orang kafir.”
Al-Imam Ibnu Hazm juga mengomentari berhujjah dengan hadits ini :
“Ini tidak bisa menjadi hujjah bagi mereka, bahkan seandainya haditsnya shahih, maka malah menjadi hujjah balik atas mereka.”
Yakni sebagaimana yang kami sampaikan diatas.
Akan tetapi, mungkin yang dimaksud oleh Prof. Wahbah az-Zuhailiy adalah sembelihan orang yang statusnya sebagai orang fasik, semisal pemabuk, pencuri, koruptor dan semisalnya, tapi hewan yang disembelih dan cara penyembelihannya mengikuti tatacara syariat, maka dalam hal ini sembelihannya halal, karena tidak ada pengkhususan dari syariat bahwa penyembelihnya itu disyariatkan harus orang yang adil, sekalipun tentunya ini lebih utama. Wallahu Ta’âlâ A’lam.
Abu Sa’id Neno Triyono