Tanda-tanda Baligh Anak Laki-laki dan Perempuan

Tanda-tanda Baligh Anak Laki-laki dan Perempuan

Fikroh.com – Serial Syarh Matan Safinatu An Najah kali ini akan membahas tentang ‘alamatul bulugh (Tanda-tanda baligh). Apa saja tanda-tanda baligh bagi anak laki-laki dan anak perempuan? Berikut penjabarannya.

فصل عَلَامَاتُ البُلُوغِ ثَلَاثٌ: تَمَامُ خَمْسَ عَشَرَةَ سَنَهً فِي الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى، وَالْاِحْتِلَامُ فِي الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى لِتِسْعِ سِنِيْن، وَالْحَيْضِ فِي الْأُنْثَى لِتِسْعِ سِنِينَ

“Tanda baligh ada tiga: genap berumur 15 tahun baik laki-laki maupun perempuan, iltilam bagi keduanya mulai berumur 9 tahun, dan haidh bagi perempuan mulai umur 9 tahun”

Dalam pembahasan fiqihnya, Syaikh Salim bin Sumair al-Hadhrami memulainya dengan pembahasan alamat al-bulugh (tanda-tanda baligh). Hal yang cukup menarik dan menjadi titik perbedaan kitab matan ini dengan kitab lainnya dari sisi sitematika.

Bahkan, lebih menariknya sebelum memulai bab fiqih dalam kitab ini, beliau memulai pasal yang pertama dengan pembahasan  rukun iman, rukun Islam serta makna dari kalimat syahadat. Adapun ketiganya adalah perkara pokok dan dasar yang harus diketahui dan diamalkan setiap muslim.

Syaikh Nawawi al-Bantani menjelaskan, “Pengarang kitab ini memulai awal pembahasan dengan menyebutkan rukun Islam dan iman karena hal tersebut merupakan perkara yang amat penting. Selain itu rukun Islam dan iman itu melingkupi dan mendasari seluruh bentuk peribadatan baik yang lahir maupun batin” (Syaikh Nawawi al-Bantani, Kasyifatu as-saja: 62)

Dari sini seakan beliau ingin menekankan tentang perkara-perkara dasar dalam Islam kepada kaum muslimin, sebelum merambah hal-hal yang bersifat cabang semisal ritual ibadah.  

Demikian juga tanda-tanda baligh termasuk dari hal yang paling mendasar dalam ibadah, sebab baligh merupakan sebuah masa dimana seorang mulai dibebani (ditaklif) dengan beberapa hukum syara’.

Oleh karena tuntutan hukum itulah orang tersebut dinamakan mukallaf. Sebenarnya tidak semua baligh disebut mukallaf, karena ada sebagian baligh yang tidak dapat dibebani hukum syara’ seperti orang gila. Disinilah kemudian muncul istilah aqil baligh yaitu orang yang telah mencapai kondisi baligh dan berakal sehat (mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang salah).

Dengan kata lain, seseorang yang sudah baligh dibebani hukum syara’ apabila ia berakal dan mengerti hukum tersebut. Orang bodoh dan orang gila tidak dibebani hukum karena mereka tidak dapat mengerti hukum dan tidak dapat membedakan baik dan buruk, maupun benar dan salah. 

Ulama fikih sepakat bahwa aqil baligh menjadi syarat dalam ibadah dan muamalah. Dalam ibadah  , berakal menjadi syarat wajib salat, puasa, dan sebagainya. Dalam muamalah, terutama masalah pidana dan perdata.

Oleh karena itu, menjadi hal yang sangat penting mengetahui batasan antara baligh dan tidak baligh, karena ini merupakan kunci memasuki hukum syara’.

Adapun dalam kitab Matan Safinatu an-Naja disebutkan bahwa tanda-tanda seorang anak dikatakan baligh apabila telah mengalami satu dari tiga hal di bawah ini.

Mencapai Umur 15 Tahun

Dalam kitab ini, tanda pertama yang disebutkan seorang anak bisa dikatakan baligh adalah telah genap berumur lima belas tahun dengan hitungan tahun Hijriyah, baik laki-laki maupun perempuan. (Muhammad bin Ali ad-Du’ani, Ghayatu al-Muna: 108)

Di antara dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Nafi maula Ibnu Umar radhiyallahu anhu, beliau berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَرَضَهُ يَوْمَ أُحُدٍ، وَهُوَ ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَلَمْ يُجِزْنِي ثُمَّ عَرَضَنِي يَوْمَ الخَنْدَقِ، وَأَنَا ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَأَجَازَنِي ، قَالَ نَافِعٌ فَقَدِمْتُ عَلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ العَزِيزِ وَهُوَ خَلِيفَةٌ، فَحَدَّثْتُهُ هَذَا الحَدِيثَ فَقَالَ: إِنَّ هَذَا لَحَدٌّ بَيْنَ الصَّغِيرِ وَالكَبِيرِ، وَكَتَبَ إِلَى عُمَّالِهِ أَنْ يَفْرِضُوا لِمَنْ بَلَغَ خَمْسَ عَشْرَةَ

“Telah menceritakan kapadaku Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa dia pernah menawarkan diri kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ikut dalam perang Uhud. Saat itu umurnya masih empat belas tahun, namun beliau tidak mengijinkannya. Kemudian dia menawarkan lagi pada perang Khandaq. Saat itu usiaku lima belas tahun dan beliau mengijinkanku.”

Nafi’ berkata, “Aku menemui ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Saat itu dia adalah khalifah, lalu aku menceritakan hadits ini. Dia berkata,

“(Hadits) ini menunjukan batas antara anak kecil (belum baligh) dan orang dewasa (sudah baligh)” Kemudian dia menulis kepada para gubernurnya untuk membebani kewajiban bagi mereka yang telah berusia lima belas tahun. (Muttafaqun ‘alaihi)

Pendapat ini juga merupakan pendapat jumhur ulama selain Abu Hanifah rahimahullah.

Sedangkan menurut Abu Hanifah, yaitu ketika genap berumur delapan belas tahun untuk laki-laki, dan tujuh belas tahun untuk perempuan. Sedang Imam Malik berpendapat ketika genap berumur delapan belas tahun, di lain pendapat ketika genap tujuh belas tahun dan masuk umur delapan belas.(Dr. Wahbah az-Zuhaili, Fiqih al-Islami wa Adilatuh:4/478)

Hikmah Umur 15 Tahun

Hikmah mengapa umur lima belas tahun dijadikan batasan anak dianggap baligh di antaranya;  masa umur tersebut adalah masa dimana gejolak syahwat, hasrat mulai meningkat, yang pada akhirnya mendorong anak tersebut untuk melakukan perkara-perkara yang dilarang oleh agama. Hal tersebut tidak dapat dibatasi dan dicegah kecuali dengan ikatan taqwa dan pengetatan dari segi agama.

Selain itu, pada masa ini kemampuan nalar (akal) semakin matang, begitu juga dengan kekuatan fisiknya. Maka, hikmah mengapa Allah menetapkan adanya taklif  atau beban ibadah tidak lain karena faktor kuatnya syahwat dan matangnya akal, serta sudah kuat terhadap hukuman syar’i apabila melanggarnya. (Muhammad bin Ali ad-Du’ani, Ghayatu al-Muna: 108)

Al-Kasani juga menyebutkan bahwa yang menjadi inti dari balighnya seseorang adalah akal, yang dengannya seseorang mampu untuk memahami dan mengerjakan syariat. Adapun Ihtilam dan haidh (akan dibahas dipembahasan selanjutnya) dijadikan oleh syariat sebagai tanda seorang anak telah baligh.

Sedangkan,  biasanya  seorang mengalami ihtilam sebelum berumur lima belas tahun. Namun, dalam beberapa kasus seorang anak belum ihtilam padahal ia telah berumur lima belas tahun, hal ini bisa jadi karena penyakit atau kekurangan pada tubuhnya. Sedang penyakit pada tubuh tidak berimbas kepada akal. Maka, akal yang sehat menjadi dasar seseorang dikenai tututan syariat. (al-Kasani, Bad’iu Sana’i :7/172)

Maka, jika ditarik kesimpulan umur lima belas tahun merupakan opsi terakhir untuk menentukan apakah seorang anak itu bisa dikatakan baligh. Meskipun anak tersebut belum
mengalami ihtilam ataupun haidh. Wallahu a’lam.

وَالْاِحْتِلَامُ فِي الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى لِتِسْعِ سِنِيْن

“iltilam bagi laki-lai dan perempuan mulai berumur 9 tahun”

Pada pembahasan sebelumnya, telah dibahas tentang tanda pertama baligh yang terdapat dalam kitab matan Safinatunnaja, yaitu ketika seseorang genap berumur lima belas tahun.

Selanjutnya, tanda yang kedua adalah ihtilam. Adapun makna ihtilam secara bahasa; sebagaimana yang terdapat dalam kitab Lisan al-Arab berarti jima’ atau berhubungan badan dalam tidur (mimpi basah).

Sedangkan dalam istilah hukum fiqih, para fuqaha memberikan pengertian, ihtilam adalah keluarnya air mani dari laki-laki maupun perempuan, baik dalam kondisi tertidur maupun ketika sadar, tersebab karena hubungan badan ataupun selainnya, pada waktu semestinya. ( Ibnu Qudamah, al-Mughni, 4/297. Al-Mausuah al-Fiqhiyah: 8/188)

Selama ini, banyak orang yang beranggapan bahwa  ihtilam bermakna sebatas mimpi basah. Padahal dalam istilah fiqih ihtilam memiliki cakupan makna yang lebih luas sebagai mana dalam pengertian diatas.

Dalam pengertian tersebut, para ulama mendefinisikan ihtilam dengan keluarnya mani dari kemaluan tanpa membatasi dengan sebab keluanya, baik karena mimpi, jima’ atau selainnya seperti onani, pun tidak membatasi dalam keadaan tertentu, baik waktu tidur maupun tersadar. Hal ini dimaksudkan untuk membedakan arti ihilam secara bahasa dengan ihtilam dalam pengertian hukum fiqih. (Mahmud Syamsuddin Amir al-Khuza’I, Dhawabith al-Bulugh Inda al-Fuqaha’: 18)

Dari sini juga nampak sebuah indikasi bahwa para ulama menyamakan istilah ihtilam dengan inzal yang memiliki makna keluarnya mani. Artimya bahwa keluarnya air mani dari sesorang itu sudah menjadikan dia dianggap baligh.

Bahkan, ulama madzhab syafi’i berpendapat bahwa sekalipun tidak mengeluarkan mani, namun merasakan kenikmatan sebagaimana saat keluar air tersebut, itu cukup menjadikan seseorang dihukumi baligh, meski tidak diharuskan mandi wajib.

Adapun penetapan umur sembilan tahun  merupakan hasil pengamatan para ulama, yang dimaksudkan sebagai pembatasan atau perkiraan, serta untuk membedakan jika terdapat kasus keluarnya mani dari anak kecil yang belum bisa dianggap baligh secara urf dan kebiasaan. (Kasyifatu as-saja: 75, Dhawabith al-Bulugh Inda al-Fuqaha’:19)

Dalil Ihtilam Sebagai Tanda Baligh

Tedapat banyak dalil, baik dalam Al-Qur’an, Sunah, maupun Ijma’, yang menunjukan bahwa ihtilam merupakan tanda seorang dikatakan baligh. Diantaranya:

Allah ﷻ berfirman:

وَإِذَا بَلَغَ الْأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Dan apabila anak-anakmu telah sampai hulum, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(An-Nuur:59)

Dalam ayat ini Allah memerintahkan agar anak-anak meminta izin (isti’dzan) kepada orang tua mereka (masuk kamar) setelah ihtilam, ini artinya ihtilam tanda dari baligh yang merupakan sebab adanya tuntutan syariat. (Asy-Syairazi, al-Muhadzab: 1/330)

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّغِيرِ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

“Pena diangkat dari tiga orang, yaitu; orang yang tidur hingga terbangun, orang yang masih kecil hingga ia dapat bermimpi (baligh), dan dari orang yang gila hingga berakal.” (HR. Abu Dawud)

Hadist ini menjelaskan bahwa anak kecil tidak dikenai beban syariat hingga ia mengalami ihtilam. Lalu apabila anak tersebut mengalami ihtilam, praktis ia menjadi seorang mukallaf yang dikenai beban syariat. Dari sini bisa dipahami bahwa  Allah ﷻ menjadikan ihtilam iu sebagai pembatas antara masa baligh dan belumnya seorang anak, yang diistilahkan oleh Nabi ﷺ dengan istilah rufi’a al-qalam atau diangkatnya pena. Maka keismpulannya, ihtilam sama dengan baligh. (Dhawabith al-Bulugh Inda al-Fuqaha’:21)

Ihtilam Seorang Wanita

Dalam kitab Safinatunnajah disebutkan bahwa ihtilam bukan hanya tanda balighnya seorang laki-laki, namun juga bagi perempuan. Pendapat ini sesuai dengan sabda Rasulullah ﷺ, Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ummu Salamah, bahwa suatu ketika Ummu Sulaim datang menemui Rasulullah saw seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu pada kebenaran. Jika seorang wanita ihtilam, apakah ia harus mandi?” Kemudian Rasulullah saw menjawab, “Iya, jika ia melihat air (mani).” Maksudnya adalah jika melihat air mani setelah bangun dari tidurnya. [al-Asqalani, Fathul Bari Syarhu Shahih al-Bukhari, 1/388].

Dalam Riwayat lain, Ummu Sulaim pernah bercerita bahwa dia bertanya kepada Nabi ﷺ tentang wanita yang bermimpi (bersenggama) sebagaimana yang terjadi pada seorang lelaki. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Apabila perempuan tersebut bermimpi keluar mani, maka dia wajib mandi.” Ummu Sulaim berkata, “Maka aku menjadi malu karenanya”.

Ummu Sulaim kembali bertanya, “Apakah keluarnya mani memungkinkan pada perempuan?” Nabi bersabda, “Ya (wanita juga keluar mani, kalau dia tidak keluar) maka dari mana terjadi kemiripan (anak dengan ibunya)? Ketahuilah bahwa mani lelaki itu kental dan berwarna putih, sedangkan mani perempuan itu encer dan berwarna kuning. Manapun mani dari salah seorang mereka yang lebih mendominasi atau menang, niscaya kemiripan terjadi karenanya.” (HR. Muslim)

Hadits tersebut jelas menunjukan bahwa seorang wanita juga mengalami ihtilam sebagaimana laki-laki, pun ihtilamnya menjadi tanda akan kebalighannya. Dalam hal ini tidak ada ranah untuk ijtihad, terlebih lagi pendapat yang mengatakan tentang tidak dianggapnya ihtilam wanita sebagai tanda baligh, maka jelas tertolak.

Namun, ulama empat madzhab berselisih pendapat tentang kondisi seperti apa hingga seorang wanita dikatakan ihtilam.

Pertama; wanita dikatakan ihtilam jika keluar air main sampai ke dhahirul farji; yaitu bagian yang nampak dan terlihat jika seorang wanita sedang buang air, ataupun sedang duduk bertumpu pada kedua kaki. Apabila didapati air keluar sampa dhahirul farji, maka dikatakan wanita tersebut telah ihtilam, walaupun air mani tidak sampai keluar dari kemaluan. Pendapat ini adalah pendapat madzhab Hambali dan Hanafi, serta pendapat madzhab syafi’i dengan mengatakan kondisi ini adalah kondisi bagi seorang yang bukan perawan.

Kedua; Apabila keluar air mani sampai bagian luar kemaluan, bukan hanya sampi ke dhahirul farji, karena bagian tersebut masih bagain dalam tubuh. Namun, air mani harus keluar sampai melewati kemaluan, sehingga dapat dihukumi sebagai ihtilam. Pendapat ini adalah madzhab Maliki dan madzhab Syafi’i dengan memberi keterangan; itu sifat ihtilam seorang yang masih perawan.

Ketiga; tidak harus keluar sampai dhahirul farji ataupun melewati kemaluan, cukup seorang wanita merasakan keluarnya air mani, walaupun sebenarnya tidak keluar apapun, itu sudah dihukumi ihtilam. Ini pendapat Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dari Madzhab Hanafi. (Al-Mausuah al-Fiqhiyah : 2/96) Wallahu a’lam.

Bersambung…..

Oleh: Ust. Risdhi ar-Rasyid

About semar galieh

Check Also

Bolehkah Mengakikahi Diri Sendiri Setelah Dewasa?

Fikroh.com – Sebelumnya perlu untuk diketahui, bahwa akikah hukumnya sunah muakadah (sunah yang ditekankan), bukan …