FIQH TERKAIT GERHANA
Sesungguhnya peristiwa gerhana adalah fenomena alam yang dikehendaki Allaah Azza wa Jalla sebagai tanda kebesaran dan kekuasaan-Nya.
Allaah Ta’ala berfirman :
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ
“Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.” (QS. Ar-Rahman [55] : 5)
Dari Al-Mughiroh bin Syu’bah, bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى تٙنْكٙشِفٙ
“Matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya, berdo’alah pada Allah, lalu shalatlah hingga gerhana tersebut tersingkap (berakhir).” (HR. Muslim No. 915)
Baik peristiwa gerhana matahari maupun bulan, keduanya bukan terkait mitos dan segala kepercayaan yang berkembang di tengah masyarakat. Dahulu sebagian masyarakat kita meyakini bahwa gerhana terjadi karena ada seorang raksasa yang hendak memakan matahari atau bulan. Keyakinan ini bathil dan tidak boleh diyakini.
A. Terkait Istilah Gerhana Matahari (Kusuf) dan Gerhana Bulan (Khusuf).
Di dalam bahasa Arab, makna kusuf berarti :
الكُسُوفُ : فهو ذهاب ضوء أحد النيرين (الشمس، والقمر) أو بعضه، وتغير إلى سواد.
“Al – Kusuf : Yakni Hilangnya sinar salah satu dari dua cahaya (Matahari dan Bulan) secara penuh atau sebagian. Perubahan nya ini menjadi tampak hitam gelap.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 27/252)
Sebetulnya tidak ada perbedaan antara kusuf maupun khusuf, dimana kedua kata tersebut bisa disematkan untuk gerhana matahari maupun gerhana bulan.
Namun, yang paling shahih menurut ahli lughah serta ahli fiqh dan memang telah masyhur diketahui secara umum bahwa :
– Gerhana Matahari di istilahkan dengan KUSUFUS SYAMS/ كسوف الشمس
– Gerhana Bulan dengan istilah KHUSUFUL QOMAR/ خسوف القمر
(Lisaanul ‘Arab, Hal. 67/Juz 13-14. Huruf Kaf; Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 2/1421)
B. Terkait Amal yang Dikerjakan Saat Gerhana
1. Shalat
Para ulama telah bersepakat bahwa shalat gerhana (baik matahari maupun bulan) adalah disyari’atkan.
Imam Nawawi berkata :
وأجمع العلماء على أنها سنة ومذهب مالك وشافعي وأحمد وجمهور العلماء أنه يسن فعلها جماعة وقال العراقيون فرادى
“Ulama telah berijma’ (bersepakat) bahwa shalat gerhana adalah sunnah. Dan madzhab Maliki, Syafi’I, Ahmad, dan mayoritas ulama menyatakan bahwa disunnahkan pengerjaan shalat gerhana tersebut secara berjamaah. Adapun ulama-ulama Irak memandang cukup sendiri-sendiri saja.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/198)
Dalilnya sama seperti redaksi hadits di atas.
Dari Al-Mughiroh bin Syu’bah, bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى تٙنْكٙشِفٙ
“Matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya, berdo’alah pada Allah, lalu shalatlah hingga gerhana tersebut tersingkap (berakhir).” (HR. Muslim No. 915)
Rakaat bagi shalat gerhana adalah dua rakaat, tiap-tiap rakaat terdapat dua kali ruku’.
Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata :
خسفت الشمس في حياة النبي صلى الله عليه وسلم فخرج إلى المسجد فصف الناس وراءه فكبّر فاقترأ رسول الله صلى الله عليه وسلم قراءة طويلة ثم كبّر فركع ركوعا طويلا ثم قال سمع الله لمن حمده فقام ولم يسجد وقرأ قراءة طويلة هي أدنى من القراءة الأولى ثم كبّر وركع ركوعا طويلا وهو أدنى من الركوع الأول ثم قال سمع الله لمن حمده ربنا ولك الحمد ثم سجد ثم قال في الركعة الآخرة مثل ذلك فاستكمل أربع ركعات في أربع سجدات وانجلت الشمس قبل أن ينصرف
“Terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam. Beliau keluar menuju masjid lalu beliau berdiri dan manusia berbaris di belakangnya. Lalu beliau bertakbir (mulai shalat), dan Rasulullaah membaca surat dengan panjang (lama). Lalu beliau bertakbir dan ruku’ dengan ruku’ yang lama, lalu bangun dan berkata : sami’allaahu liman hamidah.
Beliau berdiri kembali tanpa sujud, lantas beliau membaca lagi dengan panjang yang panjangnya hampir mendekati panjang bacaan pertama, lalu beliau takbir, dan ruku’ dengan ruku’ yang lama yang lamanya hampir mendekati ruku’ yang pertama. Lantas beliau mengucapkan : sami’allaahu liman hamidah rabbana wa lakal hamdu. Kemudian beliau sujud.
Kemudian beliau mengucapkan yang sama pada rakaat terakhir dilakukan seperti itu juga maka sempurna lah empat kali ruku’ pada empat kali sujud. Lalu, matahari nampak kembali sebelum beliau pulang.” (HR. Bukhari No. 1046; Muslim No. 901)
Berarti, kaifiyat shalat gerhana ini dengan cara :
– Rakaat Shalat Gerhana adalah Dua Rakaat
– Rakaat Pertama dua kali ruku’, dan rakaat kedua juga dua kali ruku’, maka dalam shalat gerhana ada empat kali ruku’.
– Urutannya (1). Takbiratul Ihram, (2). Membaca Al-Fatihah, (3). Baca surat yang panjang, lalu ruku’ yang lama (4). Bangun dari ruku’, (5). Membaca Al Fatihah, (6). Membaca surat yang panjang hampir sama dengan yang awal, (7). Lalu ruku’ dengan lama sama seperti awal, (?. lantas sujud. Rakaat kedua kaifiyatnya sama seperti ini. (Kifayatul Akhyar, hal. 155)
Pertanyaannya, apakah boleh shalat sendirian di rumah?
Jika kita melihat hadits di atas, jelas bahwa shalat gerhana dikerjakan secara berjamaah di Masjid. Dan ini yang disunnahkan bagi setiap orang yang mampu menghadirinya. Baik laki-laki maupun perempuan; baik mukim maupun musafir (orang yang sedang dalam perjalanan).
Namun, bagi perempuan yang dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah jika keluar, hendaknya mereka melaksanakan shalat gerhana ini secara munfarid (berkesendirian) di rumah nya masing-masing. Tidak perlu ada khutbah bagi perempuan-perempuan ini. (Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh As-Syafi’I, 1/568)
Kapankah Waktu Pelaksanaannya?
Waktu pelaksanaannya adalah pada saat Gerhana masih berlangsung.
تصلى هذه الصلاة وقت حدوث الكسوف والخسوف
“Shalat ini ditegakkan ketika terjadi gerhana matahari atau bulan.” (Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/552)
Berdasarkan sabda Nabi :
..إذا رأيتموها فادعوا الله وصلوا حتى ينجلي
“.. Jika kalian melihatnya (gerhana) m
aka shalatlah hingga tampak kembali cahaya..” (HR. Bukhari No. 1060)
Bagaimana kah jika mendung menghalangi tampaknya gerhana?
Berkata Imam Nawawi :
ولو كانت الشمس تحت غمام وشك هل كسفت لم يصل بلا خلاف. لأن الأصل عدم الكسوف.
“Seandainya matahari dibalik mendung, dan ragu apakah ada gerhana, maka tidak dilakukan shalat gerhana. Karena hukum asalnya adalah tidak ada gerhana.” (Al-Majmu’, 5/54).
Jadi, di wilayah yang terhalang mendung, tidak disunnahkan shalat gerhana.
2. Khutbah
Sebagian ulama seperti Imam Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad memandang : tidak ada khutbah shalat gerhana. (Bada’i As- Shana’i, 1/282; Mawahib Al Jalil, 2/202; Hasyiyah Ad-Dassuqi, 1/302; Al Mughni, 2/425.)
Sementara Imam Syafi’I dan ulama madzhabnya memandang bahwa shalat gerhana di syari’atkan. Dilakukan setelah shalat dengan dua kali khutbah, diqiyaskan dengan shalat ied. (Fathul Qarib, hal. 13; Al Majmu’, 5/52.)
Imam Nawawi ketika menyebutkan pendapat yang menganjurkan khutbah, beliau mengatakan,
وبه قال جمهور السلف ونقله ابن المنذر عن الجمهور
“Ini merupakan pendapat jumhur salaf (mayoritas ulama salaf), dan dinukil oleh Ibnul Mundzir bahwa ini pendapat jumhur.” (Al-Majmu’, 5/59).
Dalilnya :
Dinyatakan dalam hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan khutbah Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam,
“Setelah Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam selesai shalat, matahari mulai terlihat. Lalu beliau berkhutbah kepada para sahabat. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya. Lalu beliau menyampaikan,
إن الشَّمس و القَمَر آيتانِ مِنْ آيَاتِ الله لاَ تنْخَسِفَانِ لِمَوتِ أحد. وَلاَ لِحَيَاتِهِ. فَإذَا رَأيتمْ ذلك فَادعُوا الله وَكبروا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقوا
Sesungguhnya matahari dan bulan adalah tanda kekuasaan Allah, tidak mengalami gerhana karena kematian orang besar atau karena kelahiran calon orang besar. Jika kalian melihat peristiwa gerhana, perbanyak berdoa kepada Allah, perbanyak takbir, kerjakan shalat, dan perbanyak sedekah.
Lalu beliau mengatakan,
يَا أمةَ مُحمَّد والله مَا مِنْ أحَد أغْيَرُ مِنَ الله سُبْحَانَهُ من أن يَزْنَي عَبْدُهُ أوْ تَزني أمَتُهُ. يَا أمةَ مُحَمد، وَالله لو تَعْلمُونَ مَا أعلم لضَحكْتُمْ قَليلاً وَلَبَكَيتم كثِيرا
Wahai ummat Muhammad, demi Allah, tidak ada dzat yang lebih pencemburu dari pada Allah, melebihi cemburunya kalian ketika budak lelaki dan budak perempuan kalian berzina. Wahai Ummat Muhammad, demi Allah, andai kalian tahu apa yang aku tahu, kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis. (HR. Al-Bukhari No. 1044 & Muslim No. 2127).
Jadi, khutbah shalat gerhana ini sunnah dikerjakan.
3. Mandi
Disunnahkan mandi dikarenakan shalat gerhana ini disyariatkan untuk dikerjakan secara berjamaah, yang itu berarti berkumpulnya manusia. Demi mencegah hal yang tak disukai, disunnahkan bagi setiap orang membersihkan badan terlebih dahulu. (Kifayatul Akhyar, hal. 48)
4. Disunnahkan imam menyeru dengan seruan “As-Shalaatu Jaami’ah”. Bukan dengan Adzan.
Dari Abdullah Ibn Amr radhiyallaahu ‘anhuma, ia berkata :
لمّا كسفت الشمس على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم نودي إن الصلاة جامعة
“Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wasallam telah diserukan : sesungguhnya shalat akan ditegakkan berjamaah.(As Shalaatu Jaami’ah).” (HR. Bukhari No. 1045)
Dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau mengatakan,
أنَّ الشَّمس خَسَفَتْ عَلَى عَهْدِ رَسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَبَعَثَ مُنَادياً يُنَادِي: الصلاَةَ جَامِعَة، فَاجتَمَعُوا. وَتَقَدَّمَ فَكَبرَّ وَصلَّى أربَعَ رَكَعَاتٍ في ركعَتَين وَأربعَ سَجَدَاتٍ.
“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk memanggil jama’ah dengan: ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.” (HR. Muslim No. 901) .
5. Memperbanyak dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan bentuk ketaatan lainnya.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari No. 1044)
Wallahu a’lam.
✍? Ust. Muhammad Rivaldy Abdullah
Pesantren Nashirus Sunnah Mesir